“Silakan pergi dari mansion ini jika itu keputusanmu, tapi jangan membawa Aqila.” ~ Wira Hadinata Brawijaya.
***
Chaca Ayunda, usia 21 tahun, baru saja selesai masa iddahnya di mana suaminya meninggal dunia karena kecelakaan. Kini, ia dihadapi dengan permintaan mertuanya untuk menikah dengan Wira Hadinata Brawijaya, usia 35 tahun, kakak iparnya yang sudah lama menikah dengan ancaman Aqila—anaknya yang baru menginjak usia dua tahun akan diambil hak asuhnya oleh keluarga Brawijaya, jika Chaca menolak menjadi istri kedua Wira.
“Chaca, tolong menikahlah dengan suamiku, aku ikhlas kamu maduku. Dan ... berikanlah satu anak kandung dari suamiku untuk kami. Kamu tahukan kalau rahimku bermasalah. Sudah tujuh tahun kami menikah, tapi aku tak kunjung hamil,” pinta Adelia, istri Wira.
Duka belum usai Chaca rasakan, tapi Chaca dihadapi lagi dengan kenyataan baru, kalau anaknya adalah ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Api Cemburu Mulai Berkobar
“Ditunggu sebentar, Pak Penghulu,” sahut Mama Maryam sembari berdiri sekaligus mengendong Aqila. Ia mendekati meja ijab kabul, kemudian mengalihkan Aqila yang sudah cantik bak princess kepada Wira, dan pria itu menyambutnya. Kedua kaki mungil Aqila bergoyang riang. Bibir mungilnya tersenyum lebar.
“Om.” Seperti biasa Aqila pasti langsung merangkul leher pria itu. Adelia menahan napas melihat pemandangan itu. Hatinya tercabik-cabik, ada rasa iri yang menyeruak, tapi tertahan.
“Adelia, Mama mohon nanti pindah tempat ya,” pinta Mama Maryam begitu lembut tanpa terkesan memerintah, sebelum ia berlalu menjemput menantunya yang lain.
Adelia tidak menjawab, hanya desahan pelan yang terdengar. Kemudian pandangan mata wanita itu ke arah pintu seakan turut menanti kedatangan sang pengantin wanita.
Bik Rahma mengikuti langkah nyonya besarnya masuk ke dalam mansion setelah diminta Mama Maryam untuk mengikutinya. Chaca sendiri sebenarnya sudah diantarkan ke lantai bawah, hanya saja menunggu di ruang tengah. Lagi-lagi ia menitikkan air mata saat kata ‘SAH' terdengar.
“Ya Allah, sesungguhnya apa rencana dibalik ini semuanya? Mengapa aku menikah lagi dengan orang yang tidak mencintaiku? Apakah ini karma buatku karena masa laluku dengan Mas Ezzar?” batin Chaca merintih.
“Chaca, ayo. Suamimu sudah menunggu.” Mama Maryam mengulurkan tangannya dengan tatapan teduhnya.
Bik Rahma terhenyak melihat keponakannya yang begitu cantik, dan sebenarnya memang sangat cantik meski tidak dandan.
Wajah Chaca semakin sedih dibalik wajah cantiknya, dengan tangannya yang gemetaran ia menyambut tangan mama mertuanya. Lalu bersama-sama berjalan menuju taman belakang. Bik Rahma pun turut mendampingi.
“Chaca, terima kasih mau menikah dengan Wira,” bisik Mama Maryam.
Chaca tidak mengerti akan maksud mertuanya, mengapa berterima kasih. Tersenyum pun tak bisa sebagai tanggapannya. Wajahnya seakan kaku, dan memang tidak bahagia.
Wira pandangannya setia ke arah pintu, dibalik wajahnya yang dingin, ada hati yang ketar ketir. Tapi, begitu istri keduanya mulai kelihatan di matanya. Ia lantas berdiri, pandangannya terpukau, dan tak bisa ditutupi perasaan tersebut.
“Aqila ada Mama, tuh,” bisik Wira sembari menunjuk ke arah Chaca yang begitu anggun dalam tiap langkahnya.
“Mama ... Mama!” seru Aqila kegirangan, sembari menggoyangkan kembali kedua kakinya dalam gendongan Wira.
Mata Chaca kembali tergenang air mata, suara yang ia rindukan terdengar. “Aqila, anak Mama,” gumam Chaca dengan suaranya yang tertahan.
Langkah kaki Chaca semakin cepat, hampir saja ia tersandung karena gaunnya sendiri. Yang ia tuju saat ini bukanlah Wira, tapi anaknya yang ada dalam gendongan pria yang kini sah menjadi suaminya.
“Aqila, anak Mama!” Chaca langsung mengecup pipi Aqila meluapkan kerinduannya. Dan tanpa sengaja Wira pun mengecup pipi Chaca.
Tubuh Chaca membeku saat merasa pipinya dicium. Sementara Adelia yang melihat dengan jelas, api cemburunya berkobar. Berat bukan melihat suami sendiri menyentuh wanita lain, meski atas dasar keputusan bersama-sama.
***
Chaca yang masih diam membeku, pipinya masih merasakan hangatnya kecupan Wira. Ia tidak mengerti bagaimana harus merespons. Di satu sisi, hatinya sakit. Di sisi lain, perasaan hangat itu membawa emosi yang rumit. Adelia yang berdiri tak jauh dari mereka, mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dalam hatinya, ia terus berperang dengan kecemburuan yang semakin membuncah. Ia lantas mendekat suaminya.
“Mas Wira, aku harap ini terakhir kali aku melihat hal seperti tadi,” ujar Adelia dengan suara pelan namun penuh tekanan. Ia tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan perasaan getirnya di hadapan semua orang.
Wira menatap istrinya sekilas, lalu berdeham. “Adel, ini hanya spontan. Karena pas Chaca sedang mencium Aqila. Jangan dipikirkan terlalu jauh.”
“Jangan dipikirkan terlalu jauh?” Adelia melirik suaminya tajam. “Mas Wira, aku di sini bukan sekadar boneka pengawas. Aku punya hati, Mas. Dan tadi itu seperti—” Ia berhenti, menelan kalimatnya kembali. Ia tidak ingin mempermalukan dirinya sendiri di depan keluarga besar suaminya.
Mama Maryam yang menyadari ketegangan itu segera angkat bicara. “Adelia, ini hari bahagia. Jangan bawa emosi seperti ini. Kita harus tetap menjaga suasana,” pinta Mama Maryam lembut, mencoba meredakan konflik.
Namun, dalam hati Adelia, kata-kata mamanya itu justru membuatnya semakin kesal. Bahagia? Bahagia untuk siapa? pikirnya. “Semua ini dilakukan secara terpaksa? Dan terpaksa mencoba ikhlas,” batin Adelia terasa sesak.
Sementara itu, Chaca mencoba fokus pada Aqila yang masih dalam pelukannya. Namun, suara hati kecilnya terus berbisik, "Mengapa dia harus menciumku tadi? Apakah itu tulus atau hanya sandiwara untuk mencairkan suasana? Ya Allah, apa yang sebenarnya Engkau rencanakan untuk hidupku ini?"
“Chaca,” panggil Wira, memecah lamunannya.
“Aqila sepertinya sudah nyaman di sini. Bagaimana kalau kita selesaikan prosesi ini dulu?” Ia menatapnya, matanya memancarkan ketegasan.
Chaca terpaksa mengangguk pelan. Dengan berat hati, ia menyerahkan Aqila pada Bik Rahma.
Tangannya gemetar, dan ia tidak berani menatap pria itu terlalu lama. Saat tangannya menyentuh tangan Wira, ada rasa aneh yang mengalir.
Sebuah perasaan asing yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Pria itu memasangkan cincin pernikahan ke jari manisnya sesuai permintaan pak penghulu, kemudian mengecup kening Chaca. Selanjutnya Chaca menandatangani dokumen untuk disahkan secara hukum.
Usai itu, tak lama Wira merangkul pinggang Chaca saat fotografer mau mengambil moments sakral tersebut. “Tersenyumlah, Chaca,” bisik Wira ketika fotografer memberikan aba-aba.
Sayangnya, Chaca tetap diam, tak ada senyuman yang terlukis di bibirnya.
Adelia memperhatikan interaksi itu dengan perasaan teriris. Ia tahu pernikahan ini terjadi atas persetujuannya, tetapi melihat kedekatan suaminya dengan wanita lain tetaplah menyakitkan. “Kenapa aku harus merasakan ini? Bukankah aku yang memintanya?” batinnya menggerutu.
Setelah prosesi selesai, tamu-tamu perlahan mulai meninggalkan taman belakang mansion. Wira berdiri bersama Chaca, menerima ucapan selamat dari para saksi dan keluarga. Adelia memilih untuk berdiri agak menjauh, tidak ingin terlibat terlalu banyak dalam momen itu. Walau hatinya ingin berada di sisi Wira.
Ketika hanya mereka bertiga yang tersisa, Adelia akhirnya membuka suara. “Mas Wira, aku ingin bicara sebentar. Berdua saja.”
Wira menatap Chaca sejenak. “Tunggu di kamar. Aku akan menyusul setelah ini,” pinta Wira tegas, lalu melangkah mengikuti Adelia ke sudut taman.
Adelia menghentikan langkahnya di dekat pohon besar. Ia membalikkan badan, menatap suaminya dengan mata yang penuh luka. “Mas, apa yang sebenarnya ada di pikiranmu? Kenapa aku merasa semuanya tidak seperti yang kita rencanakan?”
“Apa maksudmu, Adel?” tanya Wira dengan nada datar.
“Kamu. Tatapanmu pada Chaca tadi. Cara kamu mencium pipinya, lalu keningnya. Itu bukan sekadar formalitas, Mas. Itu ada rasa. Aku bisa merasakannya. Dan, kamu sudah menyiapkan cincin nikah,” ujarnya, suara Adelia mulai bergetar.
Wira menarik napas panjang. “Adel, aku tidak tahu dari mana pikiran itu datang. Aku menikahi Chaca karena kita ingin anak. Tidak lebih dari itu.”
“Tidak lebih dari itu?” Adelia mendekat, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Lalu kenapa aku merasa sebaliknya? Mas, kalau memang kamu mulai ada perasaan untuk Chaca, aku ingin tahu sekarang juga.”
Wira terdiam. Ia tahu ini bukan saat yang tepat untuk membahas apa yang sebenarnya ia rasakan. Perasaannya sendiri masih bercampur aduk. Namun, ia tidak ingin menyakiti istrinya lebih jauh.
“Adel, aku mencintaimu. Itu tidak akan berubah. Kalau ada hal lain yang kamu rasakan, aku minta maaf. Tapi percayalah, aku tetap suamimu, dan hatiku tetap milikmu.”
Adelia mengangguk pelan, meski hatinya tetap penuh keraguan. Ia berbalik pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Bersambung ... ✍️
lanjut