Seorang CEO yang tak sengaja mendapatkan amanah dari korban kecelakaan yang ditolongnya, untuk menyerahkan cincin pada calon pengantin wanita.
Namun Ia malah diminta Guru dari kedua mempelai tersebut untuk menikah dengan mempelai wanita, yang ditinggal meninggal Dunia oleh calon mempelai pria. Akankah sang CEO menikah dengan mempelai wanita itu? Akankah sang mempelai wanita setuju Menikah dengan sang CEO?
Dan sebuah masalalu yang mempelai wanita itu miliki selalu mengganggu pikirannya. Kekhawatiran yang ia rasakan selalu menghantui pikirannya. Apakah masalalu yang menghantui pikiran mempelai wanita itu?
Cerita ini hanya khayalan Author, jika ada kesamaan tokoh, kejadian itu hanya kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sebutir Debu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21 Tugas Setiap Manusia Muslim
"Tidak pernah kah kamu bisa sopan pada Papa mu ini? Tidak ada orang yang sempurna. Jika kamu pernah melakukan kesalahan, maka Papa pun akan melakukan kesalahan yang sama. Maafkan keegoisan Papa menghalangi masa depan mu karena dendam masalalu Papa."
Pak Erlangga memeluk anak ketiga nya, ketika baru saja ia menampar anak lelaki nya itu dengan tamparan yang tak terlalu kuat. Rani yang melihat dua lelaki yang terpisah karena kehadirannya pun menitikkan air mata.
Dia tak menyangka jika Papa mertua nya akan memaafkan suaminya. Bahkan tatapan mata pak Erlangga pada Rani sambil tubuhnya memeluk Bambang terlihat sangat bersahabat.
Bambang diam tak bergeming mendapat perlakuan diluar dugaan nya. Pak Erlangga melerai pelukan nya dan menatap ke pada Rani. Rani menunduk kan wajahnya karena ia tidak tahu apakah mertua nya menerima dirinya atau meminta dirinya pergi dari hidup sang anak.
"Kamu, Aku tidak akan langsung memaafkan mu."
Suara pak Erlangga terdengar cukup serius.
"Pa...."
Nyonya Lukis bangkit dari duduknya karena khawatir kata-kata suaminya akan memicu emosi dari putra ketiga nya yang tak lain suami dari Rani.
"Mama, duduk lah disana!"
Nyonya lukis terdiam dan kembali duduk karena nada suara suami nya cukup serius.
"Kamu lihat dua wanita yang duduk disana?"
Bambang menggenggam tangan istrinya seolah memberikan keyakinan apapun yang terjadi dia akan tetap ada di sisi sang istri seperti satu tahun yang lalu dimana ia harus keluar dari rumah, perusahaan Pradipta karena masih nekat menikah dengan Rani.
Rani dan Bambang melihat ke arah Nyonya Lukis dan Ayra.
"Dua wanita yang ada di keluarga Pradipta. Satu wanita yang hebat ia menemani perjuangan suami nya dari belum punya apa-apa, hingga kini hidup dalam semua kemewahan dan bibirnya tak pernah mengeluh. Dia tidak pernah merasa lebih hebat dari diriku, walau dia seorang yang bergelar Magister Keuangan dan menikah dengan lelaki yang hanya tamatan SMA."
Pak Erlangga merangkul satu pasang suami istri yang ada dihadapannya nya itu. Kedua tangan pak Erlangga merangkul pundak Rani dan Bambang.
"Dan wanita yang satu itu, dia baru satu hari menjadi wanita di keluarga Pradipta tetapi dia membawa sesuatu yang telah lama tidak aku dan istriku rasakan. Kasih sayang yang tulus, perhatian dan kesopanan kepada orang lain dan orang tua.
Kerendahan hatinya, aku tahu dia pandai ilmu agama karena dia salah satu lulusan terbaik di pesantren nya tapi bibirnya tidak mengeluarkan intimidasi seolah kami adalah penghuni neraka karena kesalahan-kesalahan yang kami lakukan. Kesabarannya mengajarkan aku yang besar dari nama Pradipta ini sadar."
Pak Erlangga menepuk pundak Rani.
"Tidak semua selesai hanya dengan emosi dan keegoisan. Sekarang jadilah salah satu wanita dikeluarga ku, aku lihat kamu punya sebuah kesetiaan. Sama seperti dua wanita yang duduk disana. Karena wanita yang setia adalah kunci kedua untuk membangun kekuatan rumah tangga."
Pak Erlangga membimbing Rani dan Bambang ke arah nyonya Lukis lalu dia menatap Rani. Ia mengamati kehidupan Bambang dan Rani selama mereka tak diakui oleh Pak Erlangga. Rani setia menemani Bambang membangun bisnisnya hingga mampu memiliki ruko.
"Maukah kamu memaafkan lelaki tua yang egois ini karena sudah berkali-kali memisahkan cinta kalian?"
Rani tercekat dan bola matanya yang cantik serta bulu mata yang lentik memerah dan mulai kabur karena terhalang oleh air mata yang menetes.
Rani mengangguk karena tidak mampu berkata-kata. Mimpi yang tak pernah ia bayangkan akan menjadi kenyataan bahwa seorang yang berkali-kali memisahkan nya dengan Bambang bahkan mengusir mereka setelah mereka menikah secara diam-diam.
Pak Erlangga menarik Rani dan Bambang kedalam pelukannya.
"Jadilah pasangan yang menua bersama dan setia satu sama lain."
Tangan Bambang dan Rani seolah merasa bahwa lelaki yang tak pernah bersifat manis itu sedang menunjukan kasih sayangnya pada mereka, seolah merespon ucapan papa mereka dengan mengusap punggung lelaki itu.
"Kalian tidak ingin memeluk mama juga?"
Nyonya Lukis berdiri, ia menyerahkan Raka pada Ayra dan menghampiri anak dan menantunya itu.
Rani dan Bambang memeluk nyonya Lukis bersamaan.
Suasana diruangan itu dipenuhi tangis haru oleh nyonya lukis, Rani dan Bambang terlihat menitikkan air mata. Tangisan bahagia, tangis haru. Namun satu lelaki yang masih diam tak berekspresi dari mode datarnya yaitu Bram.
Lelaki itu hanya melihat pemandangan dihadapan nya dengan senyuman berbeda sedangkan Ayra, ia masih menahan air mata haru melihat kebahagiaan di mata kedua mertuanya dan satu pasang suami istri yang seolah sedang mendapat kan kebahagiaan yang tak terduga pagi ini.
"Bersiaplah, papa dan mama menjemput kalian untuk pulang."
Nyonya Lukis melerai pelukannya.
"Pulang?"
"Ya pulang kerumah kita. mama mau menantu dan anak mama kumpul di satu rumah."
"Tapi ma..."
Bambang seolah tidak ingin kemana-mana karena telah nyaman berada di tempat ini.
"Tidak ada tapi-tapian. ini salah satu syarat kalau papa mau memaafkan kalian berdua."
"Sebesar itu kah dosa kami pada papa hingga harus banyak syarat.!"
"Kamu pikir membawa lari mempelai wanita orang lain di hari pernikahan nya itu tidak membuat dosa? Dan kamu pernah menghamili Rani sebelum menikah itu bukan dosa? Bagaimana Ay apakah papa benar?"
Ayra terdiam karena papanya meminta pendapat kepadanya. Ia melihat sepintas hubungan dikeluarga suami nya ini seperti terbiasa dengan perdebatan. Dan sebuah adab dari anak kepada orang tua tak dimiliki di keluarga suaminya ini.
Ayra menarik napas dalam seolah sedang mempersiapkan jawaban terbaik untuk ia berikan.
"Sesungguhnya kita manusia tak berhak menilai seseorang itu berdosa atau tidak karena itu adalah ranah Allah SWT, pa. Terkait setiap tindakan kita di muka bumi ini maka akan dipertanggung jawabkan oleh diri kita sendiri di hadapan Allah kelak pa.
Tugas kita sesama muslim yang terbaik bukan menyalahkan, mengasingkan apalagi mencela. Tetapi kita mengingatkan, mendoakan juga merangkul nya agar kembali ke jalan yang benar jika ia sedang tersesat.
Salah satu tugas dari setiap manusia muslim adalah melakukan aktifitas-aktifitas yang bermanfaat bagi sesama, diantaranya adalah memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran, saling berwasiat tentang kesabaran, dan saling berwasiat tentang kebenaran."
Ayra tersenyum pada Rani. Rani yang tadi khawatir melihat penampilan berpakaian Ayra merasa jika Ayra akan mengeluarkan kata-kata yang mendukung papa mertuanya namun diluar ekspektasi nya wanita yang terlihat aneh itu malah mengeluarkan kata-kata bijaksana dimana tidak membuat siapapun tersudut kan.
Bambang pun merasa kagum pada sosok istri dari kakak sulungnya itu karena sebuah penjabaran yang membuat papa nya tak mampu berkata-kata lagi dan terlihat pak Erlangga hanya manggut-manggut.
"Kalian lihat salah satu wanita istimewa yang papa maksud. Ia berilmu tapi tak merendahkan , ia berwawasan tapi tak merasa pandai diantara kita yang buta akan ilmu agama ini. Rani, papa mau minum kopi lagi apakah kamu bisa membuatkannya?"
Rani tersenyum bahagia ini adalah sesuatu yang ia tunggu sang ayah mertua mau menatap bahkan berbicara padanya. Rani hanya mengangguk.
"Apa istri mu ini tak bisa berbicara Bams? dari tadi dia hanya mengangguk apakah suara menantu dari anak bungsu ku tidak halal untuk ku Ayra?"
Pak Erlangga menggoda Rani yang dari tadi tak mampu mengeluarkan kata-kata.
Semua yang ada diruangan itu tertawa. Tapi tidak dengan Bram ia hanya menggelengkan kepalanya dengan senyum simpul di bibirnya.
"Dia putra mu Rani?"
Pak Erlangga melihat sosok mungil di pangkuan Ayra yang tadi diberikan oleh nyonya Lukis saat menghampiri Bambang dan Rani.
"Putra kami pa."
Bambang melirik ke pak Erlangga.
"Maaf Rani, papa tak bermaksud kesana. Maksud papa apa dia cucu ku?"
Rani yang dari tadi tak bersuara kini mengeluarkan suara dengan sebuah tangis bahagia di pagi hari ini.
"Iya pa, dia putra ku."
Rani menjawab pertanyaan pak Erlangga diiringi Isak tangis.
soalnya saya banyak kenal orang dari berbagai daerah meskipun pernah mondok, tp tidak sedetail itu tau tentang najis
mau komen keseeell.. ternyata udah ada yg mewakili😆