NovelToon NovelToon
CINTA Di Ujung PISAU

CINTA Di Ujung PISAU

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Mengubah Takdir / Fantasi Wanita
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Nona Rmaa

Elina Widiastuti, dengan rambut sehitam malam yang terurai lembut membingkai wajahnya yang cantik jelita, bukanlah putri seorang bangsawan. Ia hidup sederhana di sebuah rumah kecil yang catnya mulai terkelupas, bersama adik perempuannya, Sophia, yang masih belia, dan kedua orang tuanya. Kehidupan mereka, yang tadinya dipenuhi tawa riang, kini diselimuti bayang-bayang ketakutan. Ketakutan yang berasal dari sosok lelaki yang menyebut dirinya ayah, namun perilakunya jauh dari kata seorang ayah.

Elina pun terjebak di pernikahan tanpa dilandasi rasa cinta, ia pun mendapatkan perlakuan kasar dari orang orang terdekatnya.

bagaimana kelanjutannya?

silahkan membaca dan semoga suka dengan ceritanya.

mohon dukung aku dan beri suportnya karena ini novel pertama aku.
jangan lupa like, komen dan favorit yah 😊
kunjungan kalian sangat berarti buat aku. see you

selamat membaca


see you 😍

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Rmaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29

Mobil mewah itu berhenti di depan gerbang besi hitam yang megah. Elina, gugup dan sedikit gemetar, menatap rumah Axel yang tampak seperti istana dari kejauhan. Rumah itu menjulang tinggi, megah dan menakutkan dalam kesunyiannya. Sean yang tampan namun berwajah datar, hanya diam mengamati. Sean lah yang mengantar Elina ke rumah besar ini atas perintah Axel.

Sean membuka pintu mobil, dan Elina keluar dengan hati berdebar-debar. Ia merasakan tatapan Sean yang dingin dan menilai, membuat rasa gugupnya semakin menjadi. Kemewahan rumah itu terasa mencekam, bukannya menenangkan.

Arsitektur klasik yang elegan, jendela jendela besar yang memancarkan cahaya keemasan, dan taman yang luas bagaikan sebuah kerajaan kecil, namun semua itu terasa dingin dan asing.

Sean membawanya masuk, melewati lorong-lorong panjang yang sunyi. Hanya langkah kaki mereka berdua yang memecah kesunyian. Di dalam, Elina disambut oleh Axel dan Elizabeth, yang menatapnya dengan tatapan dingin yang menusuk. Beberapa pembantu mondar-mandir, menjalankan tugas mereka dengan teliti. Elina merasa seperti boneka yang dibawa ke sebuah pameran, ditatap oleh banyak mata yang menilai tanpa rasa hangat.

Sean, setelah memastikan Elina sudah berada di dalam, pamit pergi dengan senyap. Elina sendirian menghadapi kemegahan yang terasa hampa. Kemewahan yang mengelilinginya tak mampu menutupi rasa canggung dan kesepian yang mencengkeram hatinya.

Ia hanya seorang gadis biasa yang sederhana, tiba-tiba menjadi penghuni istana seorang pria kaya raya yang dingin dan jauh. Axel, dengan segala ketampanannya, tetap terasa begitu jauh, seperti patung yang indah namun tak bernyawa. Elizabet, dengan tatapan tajamnya yang selalu menilai, membuat Elina merasa kecil dan tak berdaya.

Axel memanggil Elina agar segera pergi ke ruangan kerjanya, menyelesaikan sisa sisa perjanjian yang harus disepakati.sore hari ini, rasa tak aman sangat menguasai jiwa Elina.

Setelah makan malam yang menegangkan, Axel memanggil Bi Tuti, kepala pelayan di rumah besar itu. Wajah Bi Tuti yang sudah keriput itu tampak khawatir saat menerima panggilan majikannya. Ia sudah lama bekerja di rumah ini, menyaksikan berbagai drama keluarga Axel, namun tetap saja ia merasa bingung dengan perintah Axel kali ini.

"Bi Tuti" suara Axel dingin dan tanpa ekspresi,

"siapkan kamar untuk Nona Elina. Gunakan kamar sebelah kiri disamping kamar para pelayan yang lama tidak terpakai itu.

Bi Tuti tertegun. Kamar disebelah kiri? Itu kamar yang sudah bertahun-tahun kosong, berdebu, dan gelap. Ia tahu, biasanya pasangan suami istri tidur bersama di kamar utama. Namun, ia tidak berani mempertanyakan perintah Axel. Ia hanya seorang pelayan, tidak punya tempat untuk menentang keinginan majikannya.

"Baik, Tuan Muda," jawab Bi Tuti lirih, suaranya sedikit gemetar. Ia membungkuk hormat, lalu berbalik dan melangkah pergi dengan hati yang penuh pertanyaan. Ia menghela napas panjang.

"Kenapa Tuan Muda bersikeras memberikan kamar terpisah untuk Nona Elina? Apakah ada masalah antara mereka?" bi Tuti bermonolog.ia tidak tahu, dan ia tidak berani bertanya.

Sepanjang perjalanan menuju kamar tersebut, Bi Tuti memikirkan perintah Axel. Ia membuka pintu kamar yang sudah lama tertutup rapat. Debu tebal menyelimuti seluruh ruangan. Bau apek dan lembab memenuhi hidungnya. Jelas, kamar ini butuh pembersihan besar-besaran.

Bi Tuti menghela napas panjang. Ia mulai membersihkan kamar itu dengan hati-hati, membersihkan debu, mengganti sprei, dan menata bantal dengan rapi. Ia bekerja dengan hati yang berat, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia hanya bisa berdoa agar Nona Elina baik-baik saja. Ia merasa iba pada Elina, gadis muda yang harus tinggal di rumah besar yang terasa dingin dan sepi ini.

Setelah bi tuti menyelesaikan pekerjaannya, Elina masuk ke kamar yang telah dibersihkan. Kamar itu cukup besar, namun tetap terasa dingin dan sunyi. Bau apek yang masih sedikit tersisa mengingatkan Elina pada kesunyian yang mencekam di rumah besar ini. bi Tuti mengikutinya, membawa beberapa barang keperluan Elina.

"Nona Elina, kalau ada yang dibutuhkan, panggil saja saya" kata Bi Tuti dengan lembut, berusaha memecah kesunyian yang mencekam. Ia meletakkan barang-barang itu di atas meja rias, lalu menatap Elina yang masih berdiri di dekat jendela, memandang taman yang luas namun terasa hampa.

Elina hanya mengangguk kecil, tanpa menatap bi Tuti. Sikapnya masih tertutup, sedikit menjauh. Ia tidak ingin menceritakan masalahnya pada siapapun,meskipun kebaikan hati bi Tuti terasa nyata.

"Nona Elina terlihat lelah," lanjut bi Tuti, mencoba memulai percakapan.

"Istirahatlah. Jangan terlalu memikirkan semuanya."

Elina kembali mengangguk, lalu berjalan menuju ranjang yang tertata rapi. Ia duduk di tepi ranjang, tangannya menggenggam kain seprai yang lembut. Ia masih terdiam, pikirannya melayang entah ke mana.

"Kalau Nona Elina butuh teman bicara, saya selalu ada," kata Bi Tuti lagi, suaranya penuh empati. Ia mengerti, meskipun tidak tahu persis apa yang terjadi, bahwa Elina sedang berjuang sendirian di tengah kesunyian dan kesedihan.

Elina masih terdiam. Ia tidak menjawab, namun matanya berkaca-kaca. Bi Tuti melihatnya, hatinya terenyuh. Ia tidak bisa berbuat banyak, hanya bisa memberikan dukungan dan doa.

"Saya permisi nona" kata Bi Tuti, dengan hati yang berat. Ia tahu, Elina butuh waktu untuk sendiri. Ia keluar dari kamar, meninggalkan Elina sendirian dalam keheningan yang mencekam. Namun, di balik kesunyian itu, ada harapan kecil yang menyala dalam hati bi Tuti. Ia berharap, suatu hari nanti, Elina akan menemukan kekuatan untuk membuka hatinya dan menceritakan semuanya.

Setelah Bi Tuti pergi, Elina mengambil ponselnya. Ia butuh seseorang untuk diajak bicara, seseorang yang mengerti dan bisa diandalkan. Ia membuka kontak dan menemukan nama Luna, sahabatnya dekatnya.Dengan ragu, ia menekan tombol panggilan. beberapa saat kemudian, suara Luna terdengar di seberang sana, penuh dengan kehangatan yang kontras dengan dinginnya kamar Elina.

"Elina? bagaimana kabarmu? Suaramu terdengar lesu" tanya Luna begitu khawatir, langsung menangkap perubahan nada suara Elina.

Elina terdiam sejenak, air mata mengancam untuk jatuh. Ia tak bisa lagi menyembunyikan semuanya.

"Lun... aku... aku membutuhkanmu"

Luna langsung mengerti.

"Ceritakan semuanya padaku, Lin. Aku ada di sini untukmu."

Elina menceritakan semuanya pada Luna, mulai dari kedatangannya di rumah besar Axel yang megah namun dingin, perlakuan dingin Axel, sikap Elizabet yang acuh, hingga kesunyian yang mencekam di sekitarnya. Ia menangis tersedu-sedu, melepaskan semua beban yang selama ini ia pendam sendiri.

Luna mendengarkan dengan sabar, sesekali memberikan kata-kata hiburan. Setelah Elina selesai bercerita, Luna terdiam sejenak, mencerna semua yang telah diceritakan Elina.

"Lin" kata Luna dengan suara lembut namun tegas,

"kamu harus sabar aku tau Kamu kuat, Lin. Aku tahu kamu bisa melewati ini semua.ini demi Sophia. lagian ini hanya dua tahun"

Luna mengingatkan Elina akan kekuatan dan kemampuannya. untuk tidak menyerah pada keadaan.

"Aku akan selalu ada untukmu. Lin," kata Luna dengan penuh keyakinan.

"Kita akan menghadapi ini bersama-sama."

Mendengar kata-kata Luna, Elina merasa sedikit lebih tenang. Dukungan dari sahabatnya memberikan kekuatan baru baginya. Ia masih merasa takut dan sedih, namun ia tidak lagi merasa sendirian. Ia tahu, ia memiliki Luna, dan itu sudah cukup untuk memberinya kekuatan untuk menghadapi semuanya.

Lanjut yah

Dukung aku denga like komen dan favorit. biar aku semangat. ✌

See you 😊

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!