Pada abad ke-19, seorang saudagar China yang kaya raya membawa serta istri dan anaknya menetap di Indonesia. Salah satu anak mereka, Jian An, tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan berwibawa. Ketika ia dewasa, orang tuanya menjodohkannya dengan seorang bangsawan Jawa bernama Banyu Janitra.
Pada malam pertama mereka sebagai suami istri, Banyu Janitra ditemukan tewas secara misterius. Banyak yang menduga bahwa Jian Anlah yang membunuhnya, meskipun dia bersikeras tidak bersalah.
Namun, nasib buruk menghampirinya. Jian An tertangkap oleh orang tidak dikenal dan dimasukkan ke dalam sumur tua. berenang di permukaan air sumur yang kini tidak lagi berada di abad ke-19. Ia telah dipindahkan ke kota S, tahun 2024. Dalam kebingungannya, Jian An harus menghadapi dunia yang jauh berbeda dari yang ia kenal, berusaha menemukan jawaban atas misteri kematian suaminya dan mencari cara untuk kembali ke masa lalu yang penuh dengan penyesalan dan rahasia yang belum terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03
Pembicaraan yang datar itu berlalu begitu saja, tanpa meninggalkan kesan mendalam di hati Jian An. Ia masih merasa terasing, berusaha meredam rasa kecewa yang membuncah di dalam dirinya. Namun, bagi Banyu Janitra, percakapan itu lebih ringan. Meskipun tak ada chemistry yang mencuat, senyum tipis yang terukir di wajahnya menunjukkan bahwa ia merasa sedikit lebih nyaman, seolah ada secercah harapan bahwa pertemuan itu bisa membawa hubungan yang lebih baik ke depannya. Tapi Jian An tidak merasakannya—baginya, ini hanyalah bagian dari jalan yang ia harus lewati karena kehendak orang tuanya.
Mereka berjalan kembali ke rumah dengan langkah yang lebih lambat. Jian An sesekali melirik Banyu, yang tampaknya masih berpikir tentang pertemuan tadi. Meskipun ia tidak bisa mengungkapkan apa yang ada di pikirannya, Jian An tahu bahwa perjodohan ini bukanlah hal yang bisa ia pilih. Semuanya sudah diputuskan, bukan hanya oleh ibu dan ayahnya, tetapi juga oleh ibu tiri Banyu, yang jelas memiliki peran besar dalam mengatur segalanya.
Ibu tiri Banyu, yang begitu menginginkan pernikahan ini segera terlaksana, tampaknya memiliki alasan yang lebih pribadi dalam memilih Jian An sebagai calon istri untuk anak lelakinya. Dari sejak pertemuan pertama, jelas terlihat bahwa ibu tiri Banyu sangat menyetujui pilihan ini. Ia sering memuji keluarga Jian yang terpandang dan kaya, serta menekankan bahwa pernikahan ini akan membawa keuntungan bagi kedua keluarga. Namun, ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiran Jian An tentang alasan sebenarnya ibu tiri Banyu mendorong pernikahan ini dengan begitu tergesa-gesa.
Mungkin ibu tiri Banyu melihat Jian An sebagai simbol kemewahan dan status, atau mungkin ada alasan lebih dalam lagi yang tak terungkapkan. Jian An merasa bahwa ia hanyalah pion dalam permainan yang lebih besar, sebuah langkah untuk memperkuat posisi Banyu dan keluarganya di mata masyarakat. Namun, ia tak bisa mengungkapkan ketidaknyamanan itu, karena dengan begitu banyak orang yang terlibat, perasaan pribadinya terasa begitu tidak penting.
Banyu sendiri tampaknya tidak sepenuhnya menyadari betapa tergesa-gesanya pernikahan ini diatur. Meski ia mengetahui bahwa ibu tirinya memiliki pengaruh besar, ia tidak benar-benar memahami alasan di baliknya. Ia tahu bahwa perjodohan ini adalah sebuah kewajiban yang harus dijalani, tetapi ia merasa ada kekosongan yang mengisi hatinya—perasaan tidak sepenuhnya siap untuk menikahi seseorang yang bahkan baru dikenalnya. Ia sering kali berpikir, apa yang sebetulnya ibu tirinya cari dengan memilih seorang gadis Tionghoa seperti Jian An?
Banyu menatap langit yang mulai gelap, berpikir tentang masa depan yang sepertinya sudah diputuskan untuknya. "Aku hanya ingin membuat semua orang bahagia," gumamnya, meskipun kata-kata itu terasa lebih sebagai penghiburan diri daripada kenyataan.
Jian An menoleh ke arahnya, merasa sebuah ikatan yang tak terucapkan di antara mereka berdua. Mereka berdua terjebak dalam keputusan yang bukan milik mereka. Namun, di tengah semuanya, Jian An tak bisa menahan rasa gelisah yang semakin menghantuinya. Ia tahu, di dalam dirinya, ada sesuatu yang lebih dari sekadar apa yang dilihat oleh orang lain, sesuatu yang belum ditemukan, sesuatu yang lebih daripada sekadar ikatan pernikahan yang diatur.
Ketika mereka kembali ke rumah besar keluarga Jian, suasana malam terasa lebih sunyi. Meskipun keluarga besar Banyu masih berada di sana, Jian An merasa seperti terpisah dari semua itu. Ia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan meskipun tidak ada yang mengungkapkan perasaan sejati mereka, hatinya terasa semakin berat.
Setelah pertemuan itu, suasana semakin tegang. Keluarga Jian An dan keluarga Banyu Janitra sepakat untuk segera melangsungkan pernikahan mereka pada malam Jenar, malam purnama di minggu pertama bulan depan. Keputusan itu diumumkan dengan cepat dan tegas, seolah-olah waktu tidak memberi mereka kesempatan untuk berpikir lebih lama. Semua serba terburu-buru, dan meskipun Jian An tidak bisa menahan perasaannya, ia tahu bahwa ini adalah hal yang sudah diputuskan. Tidak ada lagi ruang bagi keraguan atau penolakan.
Pernikahan yang direncanakan pada malam purnama itu memiliki makna simbolis yang kuat, terutama dalam budaya Jawa, di mana purnama dianggap sebagai waktu yang penuh berkah dan kemakmuran. Keluarga Banyu sangat menghargai tradisi tersebut, dan bagi mereka, pernikahan pada malam Jenar bukan hanya sebuah kebetulan, tetapi juga cara untuk memulai kehidupan baru yang penuh harapan.
Jian An merasa bingung, hatinya terperangkap di antara kewajiban yang dituntut oleh orang tuanya dan keinginannya yang lain. Ia tahu bahwa pernikahan ini tidak hanya mengubah hidupnya, tetapi juga kehidupan keluarganya. Bagaimanapun juga, pernikahan ini adalah jalan untuk menyatukan dua keluarga besar yang berpengaruh—dan Jian An menjadi pusat dari semuanya.
Di sisi lain, Banyu Janitra, meskipun merasa sedikit tertekan dengan pernikahan yang terencana ini, tidak bisa mengungkapkan ketidaknyamanannya. Ia tahu bahwa ini adalah tanggung jawabnya, dan ia mencoba menerima kenyataan bahwa ia harus menjalani pernikahan ini meski ia belum sepenuhnya mengenal Jian An. Keluarganya, terutama ibu tirinya, sudah menetapkan semuanya, dan ia merasa tak banyak bisa dilakukan untuk mengubah jalan yang sudah digariskan.
Pada malam Jenar yang semakin mendekat, persiapan pernikahan pun berjalan dengan cepat. Rumah keluarga Jian An dipenuhi dengan keramaian, para pekerja sibuk menyiapkan segala hal yang dibutuhkan, dari dekorasi hingga makanan. Tenda besar dan indah dipasang di halaman rumah, sementara para undangan mulai berdatangan dari berbagai penjuru.
Jian An sering kali melangkah keluar untuk menghirup udara malam, merasa seolah-olah ia bisa menghindari kenyataan hanya dengan bersembunyi di balik kegelapan malam. Namun, setiap langkahnya membawa dia lebih dekat pada takdir yang sudah diatur untuknya. Ia tak bisa menghindari pernikahan yang akan berlangsung, namun di dalam hatinya, ia masih berharap ada jalan lain yang bisa membawa kebebasan.
Pernikahan itu bukan hanya tentang dua individu yang bersatu, tetapi juga tentang dua dunia yang berbeda dunia Jian An yang penuh dengan desain dan seni, dan dunia Banyu yang penuh dengan tradisi dan tanggung jawab. Sebuah pertarungan batin yang tak terlihat sedang terjadi dalam diri keduanya, namun pada malam Jenar nanti, semuanya akan terlihat jelas, tak peduli seberapa besar mereka berusaha menahannya.
Pada akhirnya, pernikahan ini akan menjadi titik awal dari perjalanan yang tak terduga bagi Jian An dan Banyu Janitra, dengan rahasia dan kenyataan yang akan segera terungkap di malam yang penuh cahaya bulan itu.
Pesta pernikahan di abad ke-19 Jawa berlangsung dalam kemegahan yang memukau, menciptakan suasana yang penuh dengan aura mistis dan tradisi yang kental. Di malam Jenar yang cerah, halaman rumah keluarga besar Banyu dipenuhi dengan tenda putih berornamen emas, menggantungkan kain-kain sutra yang berkilau tertimpa sinar purnama. Di sepanjang jalan menuju pelaminan, lampu-lampu minyak terpasang rapi, memberikan penerangan lembut yang menambah kemegahan suasana. Suara gamelan yang lembut mengalun, menambah kesan magis di malam yang sakral itu, sementara para tamu yang berpakaian adat Jawa duduk dengan tertib di sepanjang kursi yang sudah disusun rapi.
Tata rias pengantin membuat Jian An tampak berbeda dari biasanya. Kain batik bermotif halus yang menutupi tubuhnya bersatu dengan kebaya yang dihiasi bordiran emas yang rumit, sementara hiasan di rambutnya, terdiri dari bunga melati yang wangi dan kipas emas, menambah pesona wajah cantiknya yang dihiasi riasan tradisional. Di sampingnya, Banyu Janitra tampak gagah dengan pakaian adat khas bangsawan Jawa—beskap hitam berlapis emas dan blangkon yang terpasang rapi di kepalanya. Namun, di balik pakaian megah dan upacara yang sakral itu, ada rasa canggung di wajah mereka, perasaan yang tak bisa disembunyikan.
Seiring dengan berlangsungnya upacara pernikahan, para tamu memuji pasangan pengantin yang tampak begitu anggun di pelaminan. Juru rias dan para pendeta memimpin doa, sementara para kerabat dan saudara dari kedua keluarga mulai memberikan persembahan dalam bentuk nasi tumpeng yang dihiasi dengan lauk-pauk yang melambangkan berkah. Suara gamelan mengalun semakin merdu, sementara para tamu, yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, berdiri untuk memberi penghormatan pada pasangan pengantin yang kini tengah menjalani upacara pernikahan mereka.
Tak lama setelah acara janji pernikahan selesai, para tamu menyaksikan tarian tradisional yang dilakukan oleh para penari wanita, yang mengenakan pakaian adat penuh warna dengan gerakan yang penuh kelembutan dan keselarasan. Tarian itu, yang penuh dengan makna, seolah menggambarkan perjalanan hidup baru yang akan dijalani oleh pasangan pengantin. Dalam keriuhan dan keindahan pesta itu, Jian An tak bisa menahan perasaan hampa yang mulai menyelusup dalam hatinya. Ia tahu bahwa malam ini adalah awal dari segalanya, namun di balik kemegahan dan suasana yang terkesan sempurna, ada sebuah rahasia yang bersembunyi, menanti untuk terungkap.
Meski semua tampak berjalan dengan lancar, suasana hati Jian An dan Banyu Janitra tidak secerah purnama yang menerangi malam itu. Masing-masing dari mereka membawa perasaan yang tersembunyi, perasaan yang hanya mereka mengerti. Namun, dalam pesta pernikahan yang megah ini, mereka harus mengenakan topeng yang tak bisa dilepaskan.