Mardo, pemuda yang dulu cuma hobi mancing, kini terpaksa 'mancing' makhluk gaib demi pekerjaan baru yang absurd. Kontrak kerjanya bersama Dea, seorang Ratu Kuntilanak Merah yang lebih sering dandan daripada tidur, mewajibkan Mardo untuk berlatih pedang, membaca buku tua, dan bertemu makhluk gaib yang kadang lebih aneh daripada teman-temannya sendiri.
Apa sebenarnya pekerjaan aneh yang membuat Mardo terjun ke dunia gaib penuh risiko ini? Yang pasti, pekerjaan ini mengajarkan Mardo satu hal: setiap pekerjaan harus dijalani dengan sepenuh hati, atau setidaknya dengan sedikit keberanian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riva Armis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31: Kuda dan Topengnya
Begitu gue hampir sampai ke tempat Dea yang lagi beli sate, ada yang menepuk pundak gue dari belakang! Seseorang dengan wajah bertopeng tepat berdiri di hadapan gue. Topeng itu mempunyai sepasang bola mata besar berwarna hitam, segaris kumis yang melengkung ke atas serta bibir selebar telinga.
"Ikut kami sekarang!" katanya.
Tangan gue ditarik kencang banget oleh tangannya yang berwarna oranye.
"M-mohon m-maaf ... k-ke mana, ya!?"
Dia gak menjawab. Gue diseret begitu aja menuju seekor kuda berwarna cokelat.
"Ini manusianya, Mbah. Dia yang tadi membuat frekuensi kita terganggu."
Aneh banget, dia ngomong sama kuda!? Anehnya lagi, kuda itu tampak mengerti!
"Baik, Mbah. Kami akan segera menangkap temannya juga."
Gue kemudian didorong ke sebuah bak sampah. Sialan! Kuda itu cuma diam dan seakan terus mengawasi gue. Orang bertopeng tadi mengambil barang-barang belanjaan gue, termasuk aksesoris yang baru gue beli. Waktu memegang kalung, dia langsung menutupi matanya dengan kedua tangan. Gak lama kemudian, gue mencium bau bunga mawar beserta segumpal asap merahnya Dea. Asap itu masuk lewat hidung gue, lalu gue mendengar suara Dea.
"Tunggu sinyal dari aku, lalu kita langsung kabur!"
Sinyal apaan!? Lalu, sebuah pedang yang dibalut asap merah jatuh dari langit dan menancap di samping kaki gue. Orang bertopeng tadi melepas barang-barang gue dan langsung berposisi siaga saat menatap langit. Dea dengan asap merahnya jatuh kayak meteor menghantam orang bertopeng itu! Gue segera mengambil pedang dan berlari ke samping Dea.
"Yang mana sinyalnya!?" tanya gue.
"Yang ini!"
Dea membuat tangan gue bergerak sendiri, kemudian melepaskan tebasan ke arah topeng pria itu. Tiba-tiba, kuda berwarna cokelat tadi menyepak gelombang tebasan gue dengan kaki belakangnya! Anjir! Kayak sapi! Pria bertopeng itu kembali bangkit, dan bersiap menyerang kami.
"Lari, Do!"
Gue memungut belanjaan gue, lalu kami lari sekencang mungkin! Pertanyaannya adalah, mau lari ke mana!? Ketika mendekati pedagang tombak yang tadi, tenyata juga ada orang bertopeng lainnya yang sudah menghadang kami! Dan di tangannya, tombak yang tadi gagal gue patahin berdiri tegak menghadang kami!
Tangan gue sudah bisa gue kendaliin lagi, dan gue tahu kalau gue harus nyoba sekali lagi matahin tombak itu! Pedang dan tombak berbenturan setelah terjangan gue! Untungnya, kali ini pedang yang gue pakai gak patah. Dea berbelok ke arah lain ketika sadar kalau orang bertopeng di belakang hampir menangkapnya. Gue terpental ke belakang, begitu juga orang bertopeng itu. Ketika sebelumnya gue menebas tombak itu, gue menyadari kalau tombak itu emang mampu menahan hantaman kuat. Gue rasa itu dikarenakan bahan utamanya menggunakan kayu spesial yang unik.
Seperti sebatang pohon yang hidup, dia akan memulihkan diri dan menutup lukanya jika diberi waktu. Jadi menurut gue, sekali hantaman kuat gak akan membuatnya patah. Melainkan sayatan-sayatan kecil dalam waktu yang sangat cepatlah yang bisa mengoyaknya! Gue jenius banget!
Untuk itu, gue harus menebasnya secepat mungkin, sebanyak mungkin, sampai gue berhasil! Gue teringat dengan serangan duri yang dibuat Dea waktu di kantor. Kecil, banyak, dan susah dihindari. Dan gak tahu gimana caranya, gue harus membuat gelombang tebasan sebanyak itu juga kali ini.
Apa yang bisa nandingin kecepatan sebuah gelombang udara? Cahaya! Itu dia! Gue butuh cahaya buat mengantarkan gelombang kejut dari pedang gue. Di samping kiri gue, Dea dan orang bertopeng satunya saling kirim serangan. Gawat! Gue harus cepat-cepat bantuin Dea! Ketika melihat sepasang bola mata hitam di topeng mereka, juga teringat kejadian sebelumnya di mana dia kayak kesilauan setelah melihat kalung yang baru gue beli, barulah gue ngerti kenapa kalung itu di tangan gue sekarang! Aha! Anjir! Kenapa gue jadi cerdas banget di alam gaib ini!?
Gue langsung memakai kalung itu. Liontin bola matanya menyala dengan warna kuning! Gelang hitam pemberian Mery sekali lagi bikin gue kaget setelah ikutan menyala juga! Gue menarik napas panjang, bersiap dengan 10 tebasan beruntun dalam satu detik! Yang penting yakin aja dulu!
Orang bertopeng di depan gue, memutar-mutar tombaknya dengan lincah. Dengan semua tenaga yang gue punya, gue mulai mengirim tebasan-tebasan ke orang itu. Anjir! Jangankan 10 tebasan dalam satu detik, baru 3 tebasan aja gue sudah ngabisin 30 detik! Tangan gue pegal, napas gue habis, dan gue cuma ditolong keberuntungan waktu tombak dia mengarah ke perut gue dan meleset!
Kayaknya emang gue belum bisa memakai pedang dengan baik, deh. Di samping, Dea menghantam topeng orang itu, tapi cuma bikin dia terpental! Kalau aja ada Sulay, gue yakin dia bisa mecahin topengnya. Waktu gue lengah, punggung gue kena hantam tombak! Untung gak ketusuk! Gue jatuh ke tanah, dan Dea teriak manggil nama gue.
"Do!"
Karena juga lengah sebentar, Dea juga kena tinju di pipinya oleh tangan oranye orang itu! Dalam keadaan terpojok, gue mendengar suara langkah kaki kuda dari belakang! Sialan! Gak keren banget kalau gue sama Dea dikalahin sama kuda doang!
Kuda itu melompat! Mati, nih gue! Ternyata kudanya malah menendang topeng orang di depan gue! Suara retakannya gurih banget! Waktu gue mencoba segera bangkit, gue melihat kuda yang tadi mengawasi gue sedang ditunggangi seseorang. Dia turun dari kuda itu, mengambil alih tombak yang terlepas, lalu memukul kaki orang itu dengan keras!
Kudanya berlari ke arah lawan Dea, melakukan hal yang sama lalu menahan kakinya dengan telapaknya. Dea langsung terbang ke arah gue yang mencoba bangkit.
"Kamu gak apa-apa, kan, Do!?"
"Gak apa-apa, kok. P-pipi kamu!?"
Gue menyentuh pipinya, ada memar di sana.
"Gak sakit, kok. Gak apa-apa."
Seseorang yang tadi menunggangi kuda, berpaling ke arah kami sambil tersenyum. Dari blangkonnya aja, gue langsung sadar kalau dia adalah orang yang tadi beli sisir kami! Mbah Kusno!
"Makasih, Mbah Kusno," kata Dea.
"Mendingan kalian berdua cepat pergi sebelum si kuda itu sadar kembali."
Dia menunjukkan sisir itu, lalu menatap rambut si kuda yang terlihat baru aja disisir. Jadi itu fungsinya!? Buat nyisirin kuda!? Dea mengeluarkan asap merahnya, membuat lingkaran portal dan dengan cepat menarik tangan gue. Anjir! Gue gak sempat ngambil pedangnya karena lebih mentingin belanjaan gue. Udara segar dan cahaya matahari sore menyambut kami. Kami sudah kembali ke padang ilalang.
"Dea ...."
Saking senangnya bisa kembali setelah hampir mati, gue memeluk Dea. Tubuhnya ternyata gak sedingin yang gue kira.
"Tenang, Do ... udah gak ada apa-apa lagi. Yuk, kita balik ke rumah."
Gue langsung minum air putih banyak banget sesampainya di rumah ketika langit telah gelap, sementara Dea masuk ke kamar mandi. Gue menaruh semua barang belanjaan di kamar kecuali anting-anting buat Dea. Karena lama gue nungguin dia keluar kamar mandi, jadinya gue bikin kopi aja. Waktu kopi gue tinggal seperempat gelas, akhirnya Dea keluar juga. Dea keluar dengan penampilan baru. Gue bisa melihat beberapa kelopak bunga mawar berjatuhan dari kakinya. Dia mengenakan baju rajut berwarna merah dengan celana hitam pendek di atas lutut, serta kuku yang dicat merah muda.
"Jangan dilihatin gitu, dong! Aku malu!”