Naidim, Widy dan Grady adalah teman dekat sejak berada di bangku SMP dan SMA. Mereka memiliki banyak kesamaan dan selalu ada satu sama lain. Namun, saat memilih jurusan kuliah, mereka mengambil jalan yang berbeda. Widy memilih jurusan teknik, sedangkan Naidim lebih tertarik pada bidang pendidikan keolahragaan. Perbedaan minat dan lingkungan membuat hubungan mereka renggang. Widy yang selama ini diam-diam menyukai Naidim merasa sangat kehilangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widyel Edles, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Celah Yang Tertaut Kembali
Seiring berjalannya waktu, Naidim semakin dekat dengan teman teman yang baru itu baik perempuan atau laki-laki. Mereka sering terlihat bersama, tertawa lepas, dan terlihat sangat bahagia.
Widy mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, tapi rasa cemburu dan sakit hati selalu menghantuinya. Ia merasa ditinggalkan dan tidak berarti. Pertemuan-pertemuan yang tadinya membuatnya bersemangat, kini terasa seperti siksaan.
Widy menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke luar jendela. Dulu, ia dan Naidim bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Mereka berbagi segalanya, dari suka duka hingga rahasia terdalam. Namun, kini jarak di antara mereka terasa semakin lebar.
Widy menggigit bibirnya, berusaha menahan perasaan yang mulai menyeruak. Kenangan-kenangan bersama Naidim seolah menghantui pikirannya. Dulu, obrolan mereka tak pernah habis, dari hal-hal kecil seperti memilih rasa es krim sampai mimpi-mimpi besar tentang masa depan. Sekarang, bahkan ucapan "halo" pun terasa mustahil.
Ia mencoba membuka ponselnya, menggulir akun media sosial Naidim. Foto-foto terbaru pria itu terlihat bahagia, dikelilingi teman-teman baru yang wajahnya tak dikenalnya. Ada tawa di sana, tapi Widy tidak bisa menemukan dirinya di antara senyuman itu. Hatinya terasa sesak.
"Haruskah aku menghubunginya duluan?” pikirnya, ragu-ragu. Jari-jarinya mengetik pesan, namun dihapus lagi sebelum sempat terkirim. Ini bukan pertama kalinya ia mencoba. Setiap kali, ada rasa takut yang menahan takut kalau semuanya sudah terlalu terlambat.
Tiba-tiba, suara notifikasi ponsel membuatnya terlonjak. Sebuah pesan masuk. Dengan cepat, ia membuka layar, berharap mungkin itu Naidim. Tapi ternyata hanya grup keluarga yang membahas liburan.
Widy menutup matanya, menghela napas panjang lagi. Ia tahu, jika ingin memperbaiki hubungan, ia harus berani melangkah lebih dulu. Tapi bagaimana jika Naidim tak lagi peduli? Bagaimana jika, dalam dunianya yang baru, Widy hanyalah bagian dari masa lalu? Namun, di balik keraguan itu, ada satu suara kecil di hatinya yang terus berkata, "Kalau kau tidak mencoba, kau tidak akan pernah tahu."
Malam semakin larut, tapi pikiran Widy terus menggelayut. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, menatap layar ponsel yang redup. Rasanya, dunia luar begitu jauh dan dingin. Akhirnya, dengan napas berat, ia kembali membuka aplikasi chat. Kali ini, tanpa terlalu banyak berpikir, ia mengetik pesan sederhana.
"Hai, Naidim. Gimana kabarnya? Lama nggak ngobrol. Aku cuma kepikiran aja, semoga kamu baik-baik di sana."
Pesan itu terhenti di layar. Jempolnya melayang-layang di atas tombol "kirim". Sekali lagi, keraguan menyerang. Ia teringat momen-momen terakhir mereka berbicara. Dingin, hambar, seperti dua orang asing yang kebetulan saling mengenal. Tapi, kalau terus begini, ia tahu tak akan ada yang berubah.Dengan setengah keberanian dan setengah keputusasaan, Widy akhirnya menekan "kirim". Seketika dadanya berdebar-debar. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan. Akankah Naidim membalas? Atau justru mengabaikannya?
Widy menunggu, tapi tak ada notifikasi apa pun. Lama-kelamaan, harapannya mulai meredup. "Mungkin memang sudah nggak ada lagi yang bisa diselamatkan," gumamnya pelan. Ia meletakkan ponselnya di meja dan memutuskan untuk tidur, meski matanya tak juga terpejam.
Namun, di tengah malam yang hening, suara notifikasi akhirnya berbunyi. Widy membuka matanya dengan cepat, hatinya langsung diliputi rasa cemas dan penasaran. Ia meraih ponsel dan melihat satu pesan masuk
"Hai, Widy. Aku baik. Kamu gimana? Maaf lama nggak kabar-kabaran. Aku kangen ngobrol sama kamu."
Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat Widy tersenyum kecil. Di balik pesan itu, ada harapan baru
bahwa mungkin, jarak di antara mereka bisa dijembatani kembali.
Widy membaca pesan itu berulang-ulang, seolah memastikan bahwa matanya tidak salah. Hatinya terasa hangat, tapi juga dipenuhi rasa gugup. Ia tak ingin terlalu berharap, namun juga tak bisa menahan senyum yang perlahan muncul di wajahnya.
Dengan hati-hati, ia mengetik balasan.
"Aku baik, kok. Senang banget dengar kabar kamu. Akhir-akhir ini aku sering kepikiran masa-masa dulu, waktu kita masih sering bareng. Gimana kesibukan kamu sekarang?"
Pesan itu terkirim, dan Widy kembali terjebak dalam penantian. Namun kali ini, ia merasa sedikit lebih ringan. Ada sesuatu yang kembali menyala sebuah koneksi kecil yang selama ini ia kira telah padam.
Tak butuh waktu lama, balasan dari Naidim datang.
"Sama, Wid. Aku juga sering inget kita dulu. Akhir-akhir kadang ngerasa ada yang kurang. Kamu apa kabar? Masih suka nulis itu?"
Pertanyaan itu membawa Widy kembali ke kenangan mereka. Naidim selalu mendukung hobinya, bahkan pernah ikut membantu ketika ia kehabisan ide. Widy tersenyum, mengingat betapa mereka dulu begitu saling melengkapi.
"Masih, kok. Aku lagi bikin beberapa cerpen gitu. Kangen rasanya ngobrol sama kamu soal hal-hal kecil kayak gini," balasnya dengan jujur.
Naidim merespons dengan cepat, seperti dulu saat mereka masih dekat.
"Aku juga kangen, Wid. Kalau kamu sempat, gimana kalau kita ketemu sepulang sekolah besok? Kayaknya udah terlalu lama kita nggak ngobrol langsung."
Widy tertegun membaca ajakan itu. Hatinya berdebar lagi, tapi kali ini lebih karena antusiasme daripada cemas.
"Boleh banget!" tulisnya, mencoba terdengar santai meskipun ia merasa seperti ingin melompat kegirangan.
Malam itu, mereka terus bertukar pesan, membicarakan rencana pertemuan dan mengenang masa lalu. Perlahan, jarak yang dulu terasa lebar kini mulai menyempit. Di ujung percakapan, Widy merasa ada secercah harapan baru, bahwa persahabatan mereka belum benar-benar hilang dan mungkin, sesuatu yang lebih besar bisa tumbuh di antaranya.
Hari pertemuan itu akhirnya tiba. Di kepalanya, ada seribu pikiran berseliweran apa yang akan mereka bicarakan? Akankah canggung, atau justru mengalir seperti dulu?
Saat Naidim tiba, ia melihat Widy sudah duduk di salah satu sudut kursi panjang tempat duduk favorit mereka, menatap layar ponselnya dengan ekspresi santai. Rambutnya sedikit lebih pendek dari terakhir kali mereka bertemu, tapi senyum khasnya tetap sama.
“Widy!” panggil Naidim begitu melihatnya masuk. Ia melambaikan tangan, membuat Widy merasa sedikit lebih rileks.
"Hei,” jawab Widy sambil tersenyum, lalu duduk di kursi di sampingnya.
“Udah lama nunggu?”
“Eggak kok. Aku malah sempat mikir kamu bakal batalin,” Widy bercanda, meski ada sedikit kekhawatiran di nada suaranya.
Naidim tertawa kecil.
“Aku nggak akan batalin kok”
Percakapan mereka dimulai dengan pelan, membahas hal-hal sederhana seperti kabar, pelajaran sekolah, dan kehidupan sehari-hari. Tapi perlahan, pembicaraan itu semakin dalam. Mereka mulai mengingat kenangan lama, dari kejadian-kejadian konyol saat sekolah hingga mimpi-mimpi yang pernah mereka bagi.
“Aku kangen banget masa-masa itu,” kata Naidim tiba-tiba, menatap Widy dengan serius.
“Kita selalu punya waktu buat ngobrol, buat saling dukung. Aku nggak tahu kenapa kita bisa sejauh ini.” Widy menunduk, merasakan ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
“Aku juga, Dim. Mungkin… kita terlalu sibuk sama dunia masing-masing dan ego kita juga. Tapi aku nggak pernah lupa sama kamu. Sama sekali.”
Naidim tersenyum kecil, lalu menghela napas. “Mungkin ini salahku juga. Aku harusnya nggak biarin jarak itu ada. Tapi aku senang banget kita bisa ketemu lagi. Rasanya kayak… semua yang hilang pelan-pelan kembali.”
Percakapan itu berlanjut hingga sore. Widy merasa seperti menemukan kembali bagian dirinya yang sempat hilang. Saat mereka keluar dari area sekolah, matahari mulai terbenam, mewarnai langit dengan semburat jingga yang hangat.
“Thanks, Wid, udah mau datang,” kata Naidim sambil berjalan di sampingnya.
“Thanks juga udah ngajak ketemu. Aku senang bisa ngobrol sama kamu lagi,” jawab Widy, tulus. Mereka berhenti di depan tempat parkir, saling berpandangan sejenak. Di antara mereka, ada keheningan yang penuh makna, seolah kata-kata tak lagi cukup untuk menggambarkan perasaan yang ada.
“Wid,” Naidim memanggil pelan, “kalau kita coba mulai lagi, pelan-pelan, kamu mau nggak?”
Pertanyaan itu membuat Widy terdiam. Ia tahu apa yang dimaksud Naidim. Hatinya berdebar, tapi ia juga merasa tenang. Dengan senyum kecil, ia mengangguk. “Aku mau, Dim. Pelan-pelan.”
Di bawah langit senja, mereka berdiri berdua, memulai kembali sesuatu yang pernah hilang. Tidak ada yang tahu ke mana perjalanan ini akan membawa mereka, tapi satu hal pasti mereka tak lagi berjalan sendiri.
jika berkenan mampir juga dikarya baruku trimakasih😊