Terpaksa menikah karena persoalan resleting yang tersangkut pada rambut seorang gadis bernama Laras ketika Polisi Intel itu sedang melaksanakan tugas mengejar pengedar narkoba. Polisi Intel itu menyembunyikan identitasnya dari sang Istri, ia mengaku sebagai seorang Ojol. Karena gagal menyelesaikan tugasnya. Aliando Putra Perdana hendak dipindah tugaskan ke Papua.
Tanpa Ali sadari, ia sengaja dikirim ke sana oleh sang Ayah demi menghindari fitnah kejam dari oknum polisi yang menyalahgunakan kekuasan. Ada mafia dalam institusi kepolisian. Ternyata, kasus narkoba berhubungan erat dengan perdagangan manusia yang dilakukan oleh oknum polisi di tempat Aliando bertugas.
Ingat! Bukan cerita komedi, bukan pula dark romance. Selamat menikmati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pilips, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suami Kamu Polisi
Sore berkabut ketika itu. Aliando baru saja kembali setelah mengantar Pak Kapolda pulang dengan selamat.
Laras duduk di bawah pohon sambil makan es kul kul.
Aliando memarkir mobil avanza hitam tersebut tepat di depan Laras. Ketika Ali turun, dengan belagu dia memakan es krim yang dipegang oleh Laras.
Slurppp.
Mulut Laras menganga. “Ih …, apaan deh, Mas?”
“Nanti kamu ingusan, loh. Ayo masuk.” Ali meraih lengan istrinya. Pria itu menenteng sebuah kantongan berisikan makanan. Kali ini bukan papeda loh, yaaa.
Tapi, ada delapan pasang mata yang tengah memperhatikan mereka. Para pembunuh bayaran suruhan Polisi berjam tangan royalex itu datang ke rumah Honai. Tempat Ali dan Laras tinggal.
“Hm, baunya enak,” ucap Laras tersenyum senang ketika menuangkan makanan ke atas piring.
“Semua wanita sama, ya? Seneng kalo dibawain makanan,” kata Ali bahagia.
Suara gaduh pun terdengar dari luar. Ketika Ali membuka pintu hendak memeriksa keadaan. Sabetan parang nyaris mengenai bahunya.
Untung saja Aliando memiliki respon tubuh yang cepat. Pria berkulit putih wajah oppa korea itu menghindar lalu menangkap pergelangan tangan penjahat.
Parang itu jatuh ke lantai. Laras segera berteriak histeris. “Astagah! Pemandangan apa lagi, ini?!”
“Laras! Kunci pintunya!” Aliando segera keluar. Baku hantam tak terelakkan.
Laras yang ketakutan hampir terkencing kencing segera menelfon seorang TNI kenalannya. Namun, sial. Nomor itu tidak aktif. “Agh! Padahal ini masih sore!”
Diluar sana, Aliando bertarung dengan tangan kosong. Pistolnya masih berada dalam koper, tidak sempat ia kelurkan, takut jika Laras melihat senjatanya.
“Siapa kalian?!” Sambil tubuhnya meliuk menghindari serangan brutal. Aliando segera salto ketika seorang bertubuh gempal mau menusuk pungungnya dengan belati.
“Babi kiriman dari mana kau?” ejeknya ditengah gempuran serangan bertubi tubi. Karena Aliando jago karate, tidak semudah itu dia bisa dikalahkan.
“Satu lawan empat? Apa kalian banci?! Aliando kembali memprovokasi lawannya. Bukan karena ia sok jagoan, melainkan, ketika lawan menjadi emosi, serangannya akan tidak stabil sehingga ia mudah membaca gerakan sang lawan.
Keempat penjahat bayaran bertopeng itu saling pandang ketika tak ada satu pun serangan dari mereka yang kena.
Si Tinggi mengode si Gempal. Meminta untuk membagi formasi. Gempal kemudian keluar dari tim penyerangan Ali. Ternyata, ia menuju ke tempat Laras.
Aliando menyadari itu. Ketika ia hendak ikut menyusul si Gempal. Kakinya ditendang oleh si Tinggi.
Buukkk!
Ali terjatuh dan tepat saat itu, sebuah balok menghantam perutnya. “Aghhh!” keluh Ali. Tapi, bukan berarti ia menyerah begitu saja dan membiarkan dirinya dihajar habis habisan. Aliando segera bangkit, gantian menendang kaki kedua lawan.
Kembali sambil memasang kuda-kuda. Aliando melirik si Gempal yang sudah berada di depan pintu rumah Honai. Kelihatan ingin mendobrak tapi pintu itu cukup kuat.
“Tahan Laras, tunggu aku ke sana,” gumamnya.
Ketiga orang itu kembali menyerang dengan brutal. Benar apa yang Ali pikirkan, gerakan lawannya menjadi tidak beraturan seperti di awal.
Langkah yang bagus. Polisi Intel itu melancarkan aksinya. Di dekat pohon sana, ada sebuah tali. Segera ia mengambil dan melemparkannya pada ketiga lawannya.
Entah bagaimana caranya, dengan lincah tubuh Aliando mengelilingi mereka bertiga. Ikatan tercipta, ia hubungkan ikatan itu ke batang pohon raksasa. “Kena kalian!”
Saat Ali merasa kalau jeratan tali sudah cukup kuat. Ia segera berlari kencang menuju Laras. Terlihat pintu sudah terbuka. Ketika Ali masuk ke dalam, Laras dan si Gempal tidak ada.
“Kemana mereka?” Suami Laras berlari lagi ke arah belakang. Sesuai dugaan, Laras tengah terduduk jatuh di dekat kebun bambu.
Cepat cepat Aliando menuju istrinya. Karena si Gempal nampak seperti orang tolol, dia tidak sadar jika Ali datang dari arah belakang kemudian menendang pantat berisinya.
Brukkk!
Takkk!
Bammm!
Benjol dan lebam ada di mana mana. Si Gempal pun pingsan. Inilah kesempatan emas bagi Ali untuk membawa kabur istrinya.
“Laras, ayo bangun!” Ali mengangkat pinggul istrinya yang nampak ketakutan setengah mati. Saat ia bantu Laras berjalan, polisi intel itu mencium sesuatu.
Hidung Ali bergerak mencari sumber bau. “Hem, baunya tidak asing.”
“Apa? Mau ngeledek aku?” Wanita itu sontak menangis.
Ketika Ali melihat ke bawah, celana istrinya basah, ia kencing!
“Pantas ada bau pesing!” ungkit Aliando. Namun, ini bukan waktunya untuk mengejek istri cengengnya. Pria itu segera menaikkan istrinya ke belakang punggung. Aliando membawanya lari masuk ke dalam hutan.
Terlalu bahaya jika lewat jalan seperti biasa, kita tidak pernah tahu berapa banyak orang yang dikirim untuk mencelakakan mereka berdua.
“Ini pasti ulah Baskara!” Aliando suudzon pada saudara angkatnya. Ia terus berlari membawa Laras menjauh dari sana.
Tanpa Ali sadari kalau dirinya sudah menyebut nama yang familiar di kuping Laras. Wanita itu segera bertanya. “Mas, sebut siapa tadi?”
Napas Ali tersengal karena berlari. “Baskara, huh …, huh …, kenapa?”
“Mas kenal kak Bass?!”
Aliando menutup matanya rapat, seketika ia mencerca dirinya dalam hati. “Hah? Apa maksudmu?” pura pura bersandiwara lagi.
“Baskara, polisi itu, Mas Al, kenal?”
“Tidak, Laras. Mas mengenal Baskara yang lain. Sudahlah, kamu jangan memikirkan orang lain saat ini. Kita sedang dalam bahaya, tahu!”
Wanita itu terdiam. Makin kencang ia memeluk leher suminya. Langit mulai gelap sebentar lagi mereka bertemu dengan malam.
“Mas …, kapan kita ketemu jalanan?”
“Apa ini bukan jalanan, Laras?”
“Ini hutan, Mas!”
“Tapi kita masih bisa jalan dan berlari, berarti ini juga jalanan!” Tidak salah dan tidak juga benar.
Aliando melihat sebuah cahaya bergerak cepat. Ya! Sepertinya itu lampu kendaran yang melintasi jalan raya.
“Lihat, Ras! Kita menemukan jalan.”
“Ayo, Mas! Cepat lari yang kencang.” Tepuk Laras pada pundak suaminya seolah ia sedang menunggangi kuda balap.
Pada akhirnya, mereka sampai di jalan raya utama selama berlari 30 menit. Napas Aliando terasa mau habis.
Namun, sebuah mobil yang ia kenali berhenti di depannya. “Naik!” seru Baskara.
“Kamu?!” Mata Ali memicing penuh curiga. Laras turun dari pundaknya dan segera memastikan jika ia melihat kak Baskara.
“Kak? Ini kak Baskara? Benar, ‘kan?”
“Iya, Laras. Masuk cepat, kakak mau menyelematkan kamu,” ujar Baskara menawarkan tangannya.
Tapi, Aliando menarik tubuh Laras dengan cepat. “Jangan dipercaya!”
Laras menoleh, hidungnya kembang kempis. “Tapi kak Bass mau nolongin kita, Mas!”
“Kamu sadar gak, Laras?! Dia tiba-tiba datang disaat kita lagi dikejar penjahat? Apa kamu tidak merasa curiga sedikit pun?!” Aliando menendang pintu mobil yang terbuka. “Pasti lo yang udah kirim para pembunuh itu. Iya, ‘kan!”
“Jaga mulut lo! Asal lo tahu …, gue sebenarnya gak mau jemput lo, bangsat! Papi yang nyuruh gue!”
Mata Laras melebar seperti piring. “Papi? Kalian bersaudara?”
“Saudara angkat!” jawab Baskara berteriak.
“Mas, ini ada apa sih, sebenarnya?” tanya Laras keringatan mencari jawaban. Kepalanya semakin berputar.
Pertanyaannya harus terjeda sebab segerombolan orang datang dari arah belakang membawa parang dan obor sedang menuju mereka.
“Sial!” geram Aliando dan segera menarik Laras berlari menjauh. Ia hendak membawa Laras masuk kembali ke dalam hutan di sebelah kiri. Namun, Baskara menghentikannya dengan menghadang mereka menggunakan mobil.
“Naik sekarang atau kalian berdua mati!”
“Gue gak percaya sama lo!” ungkap Aliando bersikeras mempertahankan kecurigannya.
“Baskara segera mengeluarkan ponselnya, menambah volume pada ponsel. Suara yang sangat Aliando kenali terdengar jelas.
“Nak! Ikut Baskara, cepat!”
Ya, itu dari Papanya, Abraham. Pria berkulit putih berwajah oppa korea itu sempat membatu. Karena Baskara gregerat. Ia turun dari mobil lalu menampar pipi Ali.
Plakkk!
“Woy! Naik cepetan!” Pintu belakang dibuka kasar oleh Baskara. Aliando segera naik bersama Laras. Mobil yang dikemudikan Baskara melaju kencang meninggalkan semua penjahat bayaran yang hendak membunuh mereka.
Ali berpindah ke samping kemudi dengan lincah. Ia tatap Baskara lekat. “Jujur …, apa yang terjadi?”
“Ada yang mau bunuh lo,” jawab Baskara sambil mengemudi seperti kesetanan. Ia juga degdegan saat ini. Bagaimana jika anak buah seseorang itu menanti mereka di berbagai jalanan?
“Siapa? Perjelas?!” bentak Aliando frustasi.
“Ya mana gue tahu, bangsat! Gue cuma disuruh Papi buat jemput lo!”
Lagi dan lagi, Laras dibuat seperti orang tolol. Wanita itu memburu jawaban sekarang juga. Karena kesal, ia jambak rambut suaminya. “Mas!”
“Aduh! Laras …, kamu apa-apan, sih?!”
“Mas jelasin sekarang juga atau aku cerain, Mas!”
“Kamu mau penjelasan apa, Laras?!”
“Semuanya yang Mas sembunyiin!”
Baskara kesal, gregetan, dan memang suka ikut campur. Sekarang, dia yang menjawab, “suami kamu polisi intel, Laras! Aku saudara angkat si Tolol ini!”
“Apa?!” beo Laras tidak percaya.
Sementara Aliando sedang berjuang melepaskan cengkraman tangan Laras yang menjambak rambutnya sambil ia sumpah serapai saudara angkatnya. “Sialan kau Bass, dasar ember!