Kaivan, anak konglomerat, pria dingin yang tak pernah mengenal cinta, mengalami kecelakaan yang membuatnya hanyut ke sungai dan kehilangan penglihatannya. Ia diselamatkan oleh Airin, bunga desa yang mandiri dan pemberani. Namun, kehidupan Airin tak lepas dari ancaman Wongso, juragan kaya yang terobsesi pada kecantikannya meski telah memiliki tiga istri. Demi melindungi dirinya dari kejaran Wongso, Airin nekat menikahi Kaivan tanpa tahu identitas aslinya.
Kehidupan pasangan itu tak berjalan mulus. Wongso, yang tak terima, berusaha mencelakai Kaivan dan membuangnya ke sungai, memisahkan mereka.
Waktu berlalu, Airin dan Kaivan bertemu kembali. Namun, penampilan Kaivan telah berubah drastis, hingga Airin tak yakin bahwa pria di hadapannya adalah suaminya. Kaivan ingin tahu kesetiaan Airin, memutuskan mengujinya berpura-pura belum mengenal Airin.
Akankah Airin tetap setia pada Kaivan meski banyak pria mendekatinya? Apakah Kaivan akan mengakui Airin sebagai istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Kabar Wongso
Suasana di lapangan kecil desa mulai berubah. Beberapa warga mengangguk setuju, yang lain tampak merenung.
Pak Suryo melanjutkan, suaranya semakin bersemangat. "Saudara-saudara, Wongso tidak sekuat yang kita bayangkan. Kita hanya kalah karena kita memilih diam. Tapi kalau kita bersatu, saling membantu, Wongso dan anak buahnya tak akan bisa lagi menindas kita. Mulai sekarang, saya ingin kalian semua melapor jika ada yang ditindas atau melihat saudara kita ditindas. Kita akan bergerak bersama-sama!"
Sorakan kecil mulai terdengar dari kerumunan warga. Semangat mereka perlahan terbangun.
"Jangan takut!" seru Pak Suryo. "Jika Wongso dan anak buahnya berani mengganggu satu dari kita, maka mereka harus berhadapan dengan kita semua. Kita punya kekuatan kalau kita bersatu. Dan Wongso, sebesar apa pun kekuasaannya, tidak akan mampu melawan seluruh desa ini!"
Sorakan semakin keras, warga mulai merasakan keberanian yang baru. Mereka saling berbisik, mengungkapkan dukungan mereka.
Namun, di sudut lapangan, Wongso berdiri di bawah bayangan pohon, mendengarkan semua ini dengan rahang mengatup rapat. Amarahnya membara, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Jika ia mencoba bertindak sekarang, ia tahu warga yang berkumpul di sana bisa saja langsung menyerangnya.
"Dasar Pak Suryo," gumam Wongso, mengepalkan tangan. "Berani-beraninya dia memengaruhi warga untuk melawan aku. Ini belum selesai."
Sementara itu, Pak Suryo menutup pidatonya. "Ingat, saudara-saudara, kita bukan orang yang lemah. Kita hanya harus saling mendukung. Kalau kita bersatu, Wongso tidak akan bisa menindas kita lagi. Sekarang waktunya kita bangkit!"
Sorakan warga kembali menggema, penuh semangat dan keberanian yang baru. Wongso akhirnya pergi meninggalkan tempat itu dengan wajah geram, menyadari bahwa posisinya di desa mulai goyah.
***
Pagi itu, setelah selesai memasak sarapan dan mengurus suaminya, Airin menata barang-barang yang baru saja diantarkan dari kota. Kotak-kotak berisi gula, beras, mie instan, minyak goreng, hingga jajanan kecil berjejer di ruang depan yang kini telah ia sulap menjadi toko kelontong sederhana. Ia tampak bersemangat mengatur rak kayu yang dipesannya dari tukang di desa beberapa hari lalu bersama nenek Asih.
“Menurut Nenek, bagaimana? Apakah toko ini cukup menarik untuk warga desa?” tanya Airin sambil memasang harga di beberapa barang.
Nenek Asih yang duduk di kursi dekat pintu memerhatikan rak-rak itu. “Cukup bagus, Airin. Tapi kau perlu lebih cermat menentukan barang apa yang paling sering dicari. Jangan terlalu banyak stok barang yang jarang dibeli, nanti uangmu bisa macet di situ.”
Airin mengangguk, mencoba memahami nasihat neneknya. “Kalau begitu, barang apa yang harus selalu ada di sini, Nek?”
“Beras, gula, minyak goreng, telur. Itu yang utama. Kalau bisa, tambahkan sabun, deterjen, dan kebutuhan dapur lain. Jajanan juga penting, tapi jangan terlalu banyak dulu. Lihat saja nanti apa yang paling laku,” kata Nenek Asih sambil tersenyum tipis.
Airin tersenyum kecil, mengatur beberapa bungkus mie instan di rak depan. “Semoga toko ini bisa membantu perekonomian kita, Nek. Kak Ivan sudah banyak membantu, sekarang giliranku.”
Nenek Asih mengangguk pelan. “Kau gadis yang tangguh, Rin. Nenek yakin Ivan pun bangga padamu.”
Langkah Kaivan terdengar perlahan dari arah kamar, mendekat ke ruang tamu. Ia muncul di pintu, mengenakan kaos longgar dan celana santai. Matanya sedikit menyipit, jelas masih kesulitan menangkap detail di depannya. “Apa yang kalian bicarakan?” tanyanya dengan suara datar, nada rendahnya tetap terdengar penuh perhatian meski tanpa emosi yang kentara.
Airin menoleh, memperhatikan pria itu dengan cermat. Ia ragu sejenak sebelum menjawab, “Kami sedang membahas toko ini, Kak. Aku ingin memastikan semuanya berjalan lancar.” Suaranya terdengar pelan, sedikit gugup, sambil beranjak berdiri untuk membantunya mendekat ke meja.
Setelah Airin membantunya duduk, Kaivan membuka suara. “Selama kau bisa mengelolanya, aku tidak keberatan,” katanya singkat. Ia mengusap pelipisnya, masih terlihat menyesuaikan dengan kondisi penglihatannya yang belum pulih sepenuhnya.
Airin menatapnya ragu, lalu memberanikan diri berkata, “Kalau aku membutuhkan sesuatu, aku akan bilang padamu, Kak.”
Kaivan mengangguk, wajahnya tetap dingin. “Bagus kalau begitu.”
Airin menghela napas lega, melanjutkan pekerjaannya dengan hati yang lebih ringan. Di balik sikap datar Kaivan, ia merasakan sedikit dukungan, meskipun tidak terucap dengan jelas.
***
Pagi itu, toko kelontong Airin mulai ramai dengan beberapa pelanggan pertama. Sambil mengatur rak dan menata barang, Airin melayani mereka dengan senyum ramah. Di tengah kesibukannya, seorang ibu paruh baya yang dikenal suka bergosip masuk ke toko. Wajahnya cerah, dan suaranya langsung memenuhi ruangan begitu ia melangkah mendekati meja kasir.
"Eh, Airin, kamu udah dengar kabar soal Juragan Wongso?" tanyanya dengan nada penuh antusias sambil membuka tas kainnya, mengambil beberapa barang belanja.
Airin, yang sedang menyusun beberapa barang di rak, menoleh dengan alis sedikit terangkat. "Belum, Bu. Ada apa memangnya?" tanyanya sopan, mencoba tetap ramah meski dalam hati merasa enggan mendengar nama pria itu disebut-sebut lagi.
Ibu itu langsung mendekat, seperti tak ingin ada orang yang ketinggalan mendengar beritanya. "Kemarin sore, dia kecelakaan waktu pulang dari kota. Katanya sekarang dirawat di rumah sakit. Saya dengar luka-lukanya cukup serius."
Airin terdiam sejenak, tangannya berhenti menyusun barang. Meski berusaha terlihat biasa saja, batinnya bergejolak. Ada perasaan lega karena setidaknya pria itu tidak akan bisa mengganggunya untuk sementara. Tapi di sisi lain, rasa simpatinya sebagai sesama manusia tetap muncul.
"Oh, begitu ya... semoga cepat sembuh," jawabnya pendek, mencoba menjaga nada suaranya tetap netral.
Namun, ibu itu tidak berhenti di situ. Ia mengangguk sambil melanjutkan, nadanya semakin bersemangat. "Iya, Rin. Mungkin ini karma, ya, soalnya dia 'kan suka menindas orang. Termasuk kamu, 'kan? Semua orang tahu gimana dia ngotot sama kamu dulu. Padahal istrinya udah tiga, cantik-cantik pula. Eh, masih aja ngejar kamu. Nggak ingat umur!"
Airin tersenyum kecil, lebih karena merasa tak nyaman daripada setuju. Ia tidak ingin ikut membicarakan Wongso lebih jauh, tapi kata-kata itu seperti pisau yang mengingatkannya pada masa-masa sulit dulu.
"Ya, yang penting sekarang saya aman, Bu," katanya pelan, mencoba mengakhiri pembicaraan.
Ibu itu mengangguk puas. "Bener, Rin. Kalau dia masih di rumah sakit, paling nggak untuk sementara kamu bisa bernapas lega. Kalau dia sehat lagi, ya siapa tahu dia kapok! Eh, nggak usah dipikirin lah, Rin. Yang penting kamu sama suamimu sekarang udah hidup tenang, ya?"
Airin hanya mengangguk sambil melanjutkan pekerjaannya. Tapi dalam hati, ia tahu Wongso bukan tipe orang yang menyerah begitu saja. Bahkan dengan kondisinya sekarang, ia merasa firasat buruk yang mengintai tak akan benar-benar hilang.
Ibu-ibu itu kembali melanjutkan pembicaraannya dengan nada yang sedikit lebih pelan, tetapi masih cukup keras untuk menarik perhatian beberapa pelanggan lain di toko. "Tapi sayang sekali, Airin," katanya, sambil melirik ke arah beberapa orang yang tengah memilih barang di rak. "Kamu sampai harus menikah dengan pria buta karena ulah Wongso."
Airin tersentak mendengar ucapan itu. Ia tak menyadari, Kaivan yang tadi hendak pergi ke depan toko seketika berhenti ketika mendengar perkataan ibu-ibu itu. Ia berdiri di dekat pintu belakang toko, diam tanpa suara. Tubuhnya menegang, jemarinya perlahan mengepal.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Thour.
awas lho Airin.... diam-diam tingkahmu bikin Ivan lama-lama tegang berdiri loh . Kaivan tentu laki-laki normal lama-lama pasti akan merasakan yang anu-anu 🤭🤭😂😂😂
mungkinkah Ivan akan segera mengungkapkan perasaannya , dan mungkinkah Airin akan segera di unboxing oleh Ivan .
ditunggu selalu up selanjutnya kak Nana ...
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
aduuh sakit perut ku ngebayangin harus tetap tenang disaat hati sedang kacau balau 😆😆😆
pagi pagi di suguhkan pemandangan yang indah ya Kaivan...
hati hati ada yang bangun 😆😆😆😆
maaf ya Airin.... Ivan masih ingin di manja kamu makanya dia masih berpura-pura buta .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
Sebaiknya kaivan lg lama2 memberitahukan kabar baik istrimu dan nenekmu krn airin dan nenek asih sangat tulus dan ikhlas jgn ragukan lg mereka...
Kaivan sangat terpesona kecantikan airin yg alami,,,baik hati sangat tulus dan ikhlas dan dgn telaten merawat kaivan...
Bagus airin minta pendapat suamimu dulu pasti suami akan memberikan solusinya dan keluarnya dan kaivan merasa dihargai sm istrinya....
Lanjut thor........
jgn lm lm..ksh kjutannya .takutny airin jd slh phm pas tau yg sbnrny.
semoga kejutan nya gak keduluan juragan Wongso