Fahira Hidayati tak pernah menyangka akan terjebak begitu jauh dalam perasaannya kini. Berawal dari pandangan mata yang cukup lama pada suatu hari dengan seorang ustadz yang sudah dua tahun ini mengajarnya. Sudah dua tahun tapi semuanya mulai berbeda ketika tatapan tak sengaja itu. Dua mata yang tiba-tiba saling berpandangan dan seperti ada magnet, baik dia maupun ustdz itu seperti tak mau memalingkan pandangan satu sama lainnya. Tatapan itu semakin kuat sehingga getarannya membuat jantungnya berdegup kencang. Semuanya tiba-tiba terasa begitu indah. Sekeliling yang sebelumnya terdengar riuh dengan suara-suara santri yang sedang mengaji, tiba-tiba saja dalam sekejap menjadi sepi. Seperti sedang tak ada seorangpun di dekatnya. Hanya mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalu LHS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#4
Air mata Zulaikha kembali mengalir deras. Bukan karna sakitnya tamparan tangan Ustadz Pahlevi . Baginya, tamparan itu tidak ada apa-apanya. Walaupun didorong kemarahan yang sangat dari Ustadz Pahlevi. Tapi yang lebih menyakitkan dan mungkin tidak akan pernah ia lupakan adalah tamparan itu merupakan simbol kekasaran suaminya selama berumah tangga dengannya. Apalagi, ini adalah pertama kalinya ia menerima tamparan dari seseorang. Bahkan ayahnya sekalipun sangat menghindari dari memukul anak-anaknya. Saat Ustadz Pahlevi melamarnya pun, ayahnya berkali-kali mewanti-wanti Ustadz Pahlevi untuk tidak main tangan ketika ada masalah dengan istrinya kelak.
Zulaikha berlari meninggalkan Ustadz Pahlevi yang terlihat menundukkan kepala menyesali perbuatannya. Dia hanya menoleh sebentar ketika suara pintu kamar terdengar dibanting keras.
"Ayah,," terdengar suara Winda dari arah luar rumah. Tak berapa lama kemudian, Winda berlarian masuk ke ruang tamu. Di tangannya sebungkus coklat.Tubuhnya yang mungil ia hempaskan manja di atas pangkuan Ustadz Pahlevi. Ustadz Pahlevi berusaha memperlihatkan senyum riangnya kepada Winda. Bahkan ia berusaha membangkitkan rasa geli di perut Winda dengan menggelitik perutnya. Sesekali ia melirik ke arah kamar. Hatinya mulai gelisah. Sebentar lagi Winda akan menanyakan ibunya. Sedangkan Zulaikha saat ini pasti sedang sesenggukan di dalam kamarnya. Hal itu tentu akan menimbulkan pertanyaan untuk Winda.
Ustadz Pahlevi mendesah panjang. Setelah berpikir beberapa saat, ia memutuskan membawa Winda keluar. Ia berharap, saat kembali nanti suasana akan menjadi sedikit lebih tenang.
****
Amelia mendesah pendek ketika melihat Fahira Hidayati dalam posisi membenamkan wajahnya di kedua tangannya yang dilipat di atas meja. Sejak pelajaran pertama sampai jam istirahat tadi, Fahira Hidayati tidak pernah terlihat keluar dari ruangan kelasnya. Fahira Hidayati menggeleng-gelengkan kepalanya ketika sesekali terdengar dengkuran dari mulut Fahira Hidayati yang sedang lelap dalam tidurnya.
Amelia duduk di samping Fahira Hidayati. Ia melihat jam di tangannya. Masih tinggal lima belas menit lagi waktu istirahat akan berakhir. Ia jadi tak tega jika harus membangunkannya. Tapi ia juga merasa kesepian kalau harus menghabiskan waktu istirahat tanpa Fahira Hidayati. Hanya Fahira Hidayati teman ngobrol yang nyambung dengannya. Selain pintar memposisikan diri sebagai pendengar yang baik, nasehat-nasehat maupun jalan keluar dari mulut Fahira Hidayati selalu membuatnya merasa tenang. Orang yang belum mengenalnya dengan baik, tentu akan menganggap Fahira Hidayati adalah sosok pendiam dan menutup diri. Tapi jika sudah bersama orang yang sangat dikenalnya, sosok Fahira Hidayati akan berbeda seratus persen. Walaupun berbeda kamar di pondok, ia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar Fahira Hidayati.
Baru kali ini ia melihat Fahira Hidayati tidur di kelas senyenyak itu. Tadi malam. Sebelum bel waktu tidur dibunyikan, ia sempat menengok ke kamar Fahira Hidayati. Tapi waktu itu ia menganggap Fahira Hidayati sudah tidur.Sebab ia melihat Fahira Hidayati sedang berbaring denga menyembunyikan seluruh tubuhnya dalam selimutnya. Tapi melihat wajahnya yang pucat tadi pagi ketika berangkat sekolah, ia yakin tadi malam sahabatnya itu tidak tidur. Dia mulai bertanya-tanya sendiri tentang masalah yang mungkin sedang dihadapi Fahira Hidayati. Dan jika benar ada masalah, tentunya ia akan sangat kecewa karna Fahira Hidayati tidak bercerita kepadanya.
Amelia mendesah pendek sembari tersenyum ketika sesekali terdengar dengkuran kecil dari Fahira Hidayati.
Amelia menyandarkan tubuhnya di kursi. Ia melirik ke arah dua buku yang ada di laci meja. Ia lalu mengambil salah satu buku dan mulai membukanya. Ia kembali tersenyum ketika membuka lembaran pertama dari buku itu, ia menemukan tulisan dengan abjad besar. "FAHIRA DAN AMELIA, SAHABAT SELAMANYA". Di lembaran berikut, ia menemukan beberapa puisi karangan Fahira Hidayati. Selebihnya adalah catatan-catatan materi pelajaran. Tapi ada tulisan kecil dan nyaris tidak bisa dibaca, yang membuat Amelia penasaran. Tulisan Arab Melayu dan lumayan panjang. Karna penasaran, Amelia lebih mendekatkan buku itu dan berusaha agar bisa membacanya.
"Ya, Allah. Hamba tidak butuh apa-apa. Hamba butuh isyarat dari-Mu bahwa aku bisa memilikinya. Bukankah tidak ada yang mustahil buat-Mu. Jika kelak Kau mengabulkan doaku, dengarkan nazarku, ya, Allah. Aku akan berpuasa tiga bulan berturut-turut."
Amelia memijat matanya berkali-kali. Terlalu fokus dam dekat ketika membaca tulisan itu, membuat matanya perih dan berair. Tapi ia masih penasaran dengan satu tulisan yang jauh lebih kecil dari tulisan di atasnya.
Amelia mendesah kesal. Dia kesulitan membaca tulisan pegon itu. Namun karna penasaran, ia terus berusaha agar bisa membacanya hingga pada akhirnya ia harus segera meletakkan kembali buku itu ke dalam laci meja, ketika tubuh Fahira Hidayati bergerak.
Fahira Hidayati membuka matanya perlahan. Beberapa kali ia terlihat menutup mulutnya dengan telapak tangan kirinya saat menguap. Kepalanya pun terasa pusing dan berat. Fahira Hidayati menoleh ketika pundaknya seperti dipegang seseorang. Dia belum sadar Amelia sedari tadi tersenyum menggelengkan kepala di sampingnya.
"Amel?" kata Fahira Hidayati setengah kaget ketika mendapati tiba-tiba Amelia ada di sampingnya. Amelia hanya tersenyum.
"Sejak kapan kamu di sini," sambung Fahira Hidayati dengan wajah mengerut.
"Sekitar lima belas menit yang lalu," jawab Amelia
"Lima belas menit yang lalu? Tapi kenapa kamu gak bangunkan aku?" kata Fahira Hidayati dengan nada terdengar sedikit kesal. Ia melirik ke arah dua buka di dalam laci. Ia memperhatikan posisi kedua buku itu. Tadi sebelum tidur, ia sempat menulis beberapa kalimat rahasia hasil tak tidurnya sepanjang malam tadi malam. Sepertinya tidak ada yang berubah. Tapi mengingat Amelia adalah orang yang selalu penasaran dengan isi buku siapapun, ia mulai tak nyaman. Tapi ia segera menenangkan dirinya. Dia berharap, kalaupun Amelia sudah membuka bukunya, dia tidak akan tertarik tulisan pegon super kecil yang ia buat. Atau Amelia tidak akan pernah bisa membacanya.
Lain halnya dengan Amelia. Melihat ekspresi kaget Fahira Hidayati saat mengarahkan pandangannya ke arah laci meja, ia semakin curiga. Ada rahasia di balik pucatnya wajah sahabatnya itu. Dia yakin. Tadi malam Fahira Hidayati tidak tidur memikirkan sesuatu yang sangat penting. Dan sesuatu yang penting itu ada di dalam tulisan pegon itu.
Amelia mendesah panjang. Ia meraih ujung jilbab Fahira Hidayati dan mengusapkannya ke bibir Fahira Hidayati.
"Lihat, air liurmu masih nempel," kata Amelia. Sontak Fahira Hidayati menutup mulutnya dengan kedua tangannya dan bersembunyi di balik mejanya. Melihat itu, Amelia tertawa terpingkal-pingkal.
"Kena prank...,kena prank...," katanya sambil bangkit dari tempat duduknya dan segera menjauh dari Fahira Hidayati. Mengetahui Amelia hanya mempermainkannya, Fahira Hidayati ikut bangkit dan berlarian mengejar Amelia.