Ganti judul: Bunda Rein-Menikah dengan Ayah sahabat ku
"Rein, pliss jadi bunda gue ya!!" Rengek Ami pada Rein sang sahabat.
"Gue nggak mau!" jawab Rein.
"Ayolah Rein, lo tega banget sama gue!"
"Bodo amat. Pokok nya, gue nggak mau!!" tukas Rein, lalu pergi meninggalkan Ami yang mencebik kesal.
"Pokoknya Lo harus jadi bunda gue, dan jadi istri daddy gue. Titik nggak pake koma!" ujarnya lalu menyusul Rein.
Ayo bacaa dan dukung karya iniii....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mey(◕દ◕), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
"Rein, cincin apa tuh?"
Deg
Jantung Rein berpacu dengan cepat dua kali lipat dari biasanya. Wanita itu bahkan menelan ludah gugup, saat mendapatkan pertanyaan itu.
"Mm..Anu ini cincin-!"
"Itu cincin dari daddy!" Di seberang sana Ami mematung dengan bibir terbuka.
Untuk beberapa saat, wanita itu masih memproses apa yang Davin ucapakan, hingga detik berikutnya terdengar suara pekikan keras.
"What!??" Teriak Ami sambil menatap layar ponselnya dengan serius, mencoba memperhatikan cincin di jari manis Rein, yang sedang berusaha menyembunyikan jari nya.
"Nggak usah alay!" Celetuk Davin sambil menatap anak nya malas.
Ami menggeleng tak habis pikir dengan daddy nya dan Rein. "Pokoknya besok Ami pulang! Titik!" Cetus Ami dan langsung mematikan panggilan itu.
***
"Ami, pasti marah mas?" Ucap Rein, membuat Davin yang sedang memeluk nya menoleh.
"Marah kenapa?" tanya balik Davin sambil mengecup pundak Rein.
"Karena kita nggak kasih tau dia," Rein tampak memikirkan reaksi Ami saat bertemu dengan nya. Meskipun Ami sangat ingin ia menjadi ibu sambung nya, tapi bisa saja kan wanita itu berubah pikiran.
"Nggak usah di pikirin, sekarang kita tidur aja, aku mau peluk." Rein langsung melotot.
Baru ingin menyampaikan protes nya, Rein terpaksa berhenti karena Davin langsung berucap.
"Nggak ada penolakan!"
Dengan sekali sentak, Davin mengangkat Rein ala bridal style. Membuat wanita itu memekik kaget dengan tangan yang langsung ia kalung kan pada leher Davin.
Sesampainya di kamar, Davin segera menurunkan Rein di atas sofa kamar. "Aku mau mandi?" Ucap Rein yang di balas gelengan tegas oleh Davin.
"Udah malam, ganti baju aja ya?" Balas nya lembut, seraya merapikan anak rambut Rein.
"Iya-iya."
Davin kembali menahan Rein saat wanita itu akan melangkah keluar. "Mau ke mana?" Tanya nya.
"Ambil baju," Davin kembali menggeleng dan meminta Rein untuk tetap duduk pada sofa.
***
"Mas Davin apa-apa'an coba, ngasih baju kaya gini!" Gerutu Rein sambil menatap dirinya di pantulan kaca kamar mandi.
Rein terus menarik kemeja putih yang membungkus tubuh indah nya. Kemeja besar Davin membuat tubuh Rein seolah tertelan, dan lagi kemeja itu hanya sebatas lutut. Membuat kaki jenjang Rein terekspos dengan jelas.
"Sayang, udah belum?" Rein menatap pintu kamar mandi dengan perasaan gugup. Ini sudah kesekian kalinya ia mendengar suara Davin yang menanyakan apakah ia sudah selesai atau belum. Dengan perasaan gugup, Rein melangkah keluar, dalam hati nya ia berdoa semoga ia bisa selamat dari terkaman harimau ganas yang berada di balik pintu itu.
Ceklek
Rein menyembulkan kepalanya keluar, untuk melihat sekeliling kamar yang tampak sunyi. "Kemana dia?" gumam nya pelan, saat tidak mendapati Davin.
Rein yang merasa ini kesempatan bagus, dengan tergesa membuka pintu dan melangkah cepat menuju kasur king size milik Davin. Namun terlambat, Rein terkejut bukan main saat sebuah tangan melingkar indah di perut nya.
"Huh! Lama!" Rein menelan ludah nya ketika nafas hangat Davin menerpa lehernya.
"M-mas dari mana?" tanya Rein terbata. Ia seperti maling yang habis tertangkap mencuri.
"Nungguin kamu. Aku mau peluk sambil tidur," gumam Davin menjawab pertanyaan Rein.
Wanita itu tiba-tiba merasa bersalah karena sudah mengulur waktu, ketika mata nya tak sengaja menatap wajah Davin yang tampak kelelahan di kaca. Ia merutuki pikiran nya yang sangat liar.
"Maaf. Ayo kita tidur?" Ajak nya sambil mengusap tangan pria itu.
"Hmm."
Rein sudah berbaring di ikuti Davin yang langsung menelungkup kan wajah nya di belahan dada Rein sambil mencari posisi yang nyaman.
Tak lama kemudian ia mendengar dengkuran halus, membuat nya tersenyum kecil.
"Good night, mas." Satu kecupan manis Rein sematkan di kening Davin, membuat pria itu tersenyum kecil.
***
Ami memandang kedua orang yang duduk di hadapan nya ini dengan wajah serius.
Ia menelisik kedua nya dengan memicingkan mata membuat Davin memutar bola matanya malas. "Kamu tuh ngapain sih? Daddy sibuk loh ini!" Davin bertanya.
Bagaimana tidak, mereka sudah duduk berhadapan seperti ini sekitar 1 jam karena sidang dadakan yang Ami buat. Namun tidak ada tanda-tanda bahwa Ami akan bertanya atau melakukan hal lain nya.
Rein menghela nafas sambil menatap Ami. "Kamu mau tanya apa?" Ia sebenarnya gugup di tatap Ami seintens itu.
Ami menatap kedua nya lalu menghela nafas panjang. "IHH KALIAN KOK NGGAK KASIH TAU AKU?" pekik nya keras sambil merengek.
"Bun, jahat banget sama anak mu yang paling cantik ini!" Gerutunya sambil berdiri kemudian duduk di tengah-tengah Davin dan Rein.
Davin dan Rein masih diam berusaha memproses apa yang baru saja terjadi. Kedua nya mengira Ami akan mengamuk, ternyata itu hanya kekhawatiran berlebihan mereka saja.
Untuk Ami jangan di tanya seberapa senang nya dia. Tentu saja sangat senang, ini adalah hari yang di tunggu-tunggu oleh nya.
"Jadi, kalian kapan nikah?" tanya Ami sambil menggandeng kedua nya dengan raut senang.
Rein menatap Davin agar pria itu menjawab pertanyaan sang putri. "Secepatnya." Jawab Davin sambil mengelus rambut Ami.
"Bagus-bagus. Ami udah nggak sabar pengen punya adik." Ucap nya semangat. Ia tidak menyadari wajah Rein yang sudah seperti kepiting rebus. Lain lagi dengan Davin, ia malah bersemangat mendengar ucapan Ami.
"Tenang aja, mau adik berapa? 10, 20 atau 50?" Tanya nya terlalu bersemangat.
Ami dan Rein sontak berpandangan, kedua nya kemudian menatap Davin yang masih tersenyum sendiri.
"Di kira kucing kali ya!" Gumam kedua nya ngeri.
***
Davin kembali menggerjapkan matanya, sambil menatap seorang wanita yang kini berdiri di depan nya. Seolah memastikan wanita itu nyata atau hanya halusinasi nya saja.
Aura wanita itu sangat positif. Davin terpaku menatap seorang wanita yang menggenakan sebuah dress putih semata kaki dan sebuah rangkain bunga yang menghiasi rambut nya.
"Halo mas, apa kabar?" Suara lembut wanita itu membuat Davin mengucek matanya.
"Carissa...!" Gumam nya tak percaya.
"Iya ini aku, mas apa kabar?" Tanya nya lagi sambil tersenyum.
Davin melangkah mendekati Carissa, tangan nya terangkat menyentuh pipi tirus itu. Tak sadar air mata nya terjatuh, membuat Carissa menggeleng pelan.
"Jangan nangis, mas harus bahagia," Kalimat itu terdengar seperti bisikan, membuat Davin semakin mengeratkan genggaman nya.
Davin sangat merindukan wanita ini. "Kangen," cicit nya sambil menatap Carissa sendu.
"Aku tahu, tapi sekarang sudah ada dia yang bisa selalu ada untuk mas sama Ami, jadi jangan sedih lagi." Ucap Carissa sambil mengelus rahang tegas Davin.
Davin mengangguk kemudian memeluk Carissa erat, seakan takut jika pelukan itu terlepas maka wanita itu akan meninggalkan nya.
"Dia baik, aku setuju kalau dia jadi bunda untuk Ami. Mas boleh nikah sama dia."
Bayangan Carissa perlahan memudar dengan suara seperti bisikan yang mengalun indah di
telinga Davin.
Davin menatap Bayangkan Carissa yang sudah sepenuhnya hilang. Senyum wanita itu masih terekam jelas di ingatan nya.
"Mas, ayo bangun...," Davin perlahan membuka kedua matanya.
Rein yang sedari tadi khawatir akan keadaan Davin langsung bernafas lega, ketika Davin membuka matanya.
"Mas, baik-baik aja?" Tanya Rein sambil memegang tangan Davin.
Davin mengangguk kemudian menatap Rein. Kata-kata terakhir Carissa kembali terngiang.
"Dia baik, aku setuju kalau dia jadi bunda untuk Ami. Mas boleh nikah sama dia."
Pria itu tersenyum manis, membuat Rein bergidik ngeri. Dari kata-kata itu terlihat jelas bahwa Carissa merestui ia menikah dengan Rein.
"Kita nikah secepatnya...," Final Davin semangat.
TBC....