Dua kali gagal menikah, Davira Istari kerapkali digunjing sebagai perawan tua lantaran di usianya yang tak lagi muda, Davira belum kunjung menikah.
Berusaha untuk tidak memedulikannya, Davira tetap fokus pada karirnya sebagai guru dan penulis. Bertemu dengan anak-anak yang lucu nan menggemaskan membuatnya sedikit lupa akan masalah hidup yang menderanya. Sedangkan menulis adalah salah satu caranya mengobati traumanya akan pria dan pernikahan.
Namun, kesehariannya mendadak berubah saat bertemu Zein Al-Malik Danishwara — seorang anak didiknya yang tampan dan lucu. Suatu hari, Zein memintanya jadi Ibu. Dan kehidupannya berubah drastis saat Kavindra Al-Malik Danishwara — Ayah Zein meminangnya.
"Terimalah pinanganku! Kadang jodoh datang beserta anaknya."
•••
Mohon dengan sangat untuk tidak boomlike karya ini. Author lebih menghargai mereka yang membaca dibanding cuma kasih like tanpa baca. Sayangi jempolmu. 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MIPPP 32 — Jangan Mendendam
"Kenapa, Ma? Kok kelihatan kesal begitu?"
Zul merasa heran dengan sikap ibunya yang ketika pulang terlihat cemberut padahal saat berangkat, Zara terlihat sangat senang dan antusias sekali.
Zara yang bermuka masam, memandang sang putra dengan kesal. “Mama sangat kesal, Zul!” serunya dengan sedikit menyentak.
Zul mengambil duduk tepat di samping Zara, mengusap bahunya pelan berharap bisa menenangkan rasa kesal sang ibu meski barang sedikit.
“Iya, Zul tahu Mama sedang kesal. Tapi karena apa? Jangan bilang kalau Mama kesal lantaran teman-teman sosialita Mama beli berlian baru dan Mama belum punya?”
“Bukaaan, bukan itu! Semua ini gara-gara Davira si perempuan sial itu!” sentaknya menepuk lengan Zul yang berada di bahunya.
Mendengar nama Davira disebut, raut muka Zul langsung berubah seketika. Ada gurat kesedihan yang bercampur dengan penyesalan di sana. Dan sayangnya, Zara tak menyadari perubahan ekspresi putranya itu.
“Kamu tahu, Zul? Perempuan sial itu ternyata menjadi menantunya Karina! Ya ampun, Mama benar-benar gak habis pikir kenapa perempuan itu bisa menjadi menantu utama keluarga Danishwara yang paling terkenal.”
“Padahal biasanya Karina itu selalu membela mama dan memihak mama, tapi kali ini ia mempermalukan mama di depan teman-teman yang lain hanya karena perempuan itu! Ya ampun, mama benar-benar kesal!”
Zul masih mendengarkan cerita Zara mengenai Davira. Dari apa yang Zul pahami tentang ibunya, Zara pasti melakukan sesuatu hal yang membuatnya berakhir dipermalukan.
“Zul! Kamu dengar tidak?”
Zul mengangguk, “Dengar. Ma. Zul dengar kok semua cerita Mama yang menjelek-jelekkan Davira itu.”
“Beruntung kamu tidak jadi menikahi perempuan sial itu, Nak. Jika tidak, bisa-bisa mama naik darah setiap hari!”
Zul menghela napas panjang beberapa kali, jujur saja, ia merasa lelah dengan kebencian ibunya terhadap Davira itu. Padahal menurutnya, Davira adalah perempuan baik yang jarang ia temui.
“Tapi Zul malah merasa menyesal karena gagal menikahi perempuan baik seperti Davira, Ma.” Zul mengangkat pandangannya dan memandang sang ibu dengan tatapan sendu.
“Kamu ini sudah gila, ya? Lupakan perempuan mandul itu! Dia sama sekali tidak pantas bersamamu!” teriak Zara, rasa kesalnya kembali memuncak.
“Benar, tapi bukan Davira yang tidak pantas untuk Zul, Ma. Melainkan Zul yang tidak pantas untuk menikahi Davira. Tapi sekarang Zul merasa bersyukur karena Davira menemukan pria yang lebih baik dariku.”
Zara bangkit dari duduknya, menunjuk-nunjuk Zul dengan penuh amarah. “Kamu ini pasti sudah gila, Zul! Apa, sih yang sebenarnya kamu pikirkan? Huh?!”
“Sudahlah, Ma. Mulai sekarang sebaiknya Mama jangan ganggu Davira lagi, apalagi sampai menghinanya perempuan mandul atau perempuan sial begitu. Tidak baik menyimpan kebencian terlalu dalam, Ma.”
“Kamu berani menasihati ibumu sendiri sekarang, Zul? Kamu juga ingin membela perempuan sial itu? Iya, begitu?!” sentak Zara tak suka dengan sikap Zul padanya sekarang.
“Zul berkata seperti ini demi kebaikan Mama juga. Jangan sampai Mama hancur oleh kebencian Mama sendiri. Lagipula, Davira tidak melakukan hal yang jahat kepada Mama, kan?”
Setelah mengatakan hal itu, Zul langsung berjalan menjauhi sang ibu, tak mau lagi berdebat ataupun mendebat sang ibu hanya karena satu hal yang sudah berlalu.
Namun, Zara masih saja merasa kesal. Giginya bergemeletuk saking kesalnya, tangannya terkepal kuat, memandang punggung sang putra yang menjauh darinya.
•••
Saat malam akhirnya datang, Kavindra yang baru pulang bekerja itu berjalan dengan tergesa menaiki undakan tangga, tak sabar untuk menemui Davira setelah mendengar cerita dari Karina. Diabaikannya rasa lelah itu demi memastikan perasaan istrinya baik-baik saja.
“Sayang? Aku dengar dari Mama ….” Kavindra terhenti di depan pintu saat mendapati Davira tengah bercerita bersama Zein.
Kedua orang itu sontak menoleh, Zein yang lebih dulu bangkit dan memeluk Kavindra dengan erat. “Papa!”
“Mas pasti capek, mau mandi dulu?” tawar Davira penuh perhatian. “Kalau mau mandi biar aku siapkan air hangat.”
“Papa sebaiknya mandi, soalnya Papa bau. Kata Mama kalau belum mandi gak boleh tidur bersama,” kata Zein yang lugu.
Mendengar ucapan polos anaknya, kedua mata Kavindra membelalak seketika. Pikirannya mulai berpikir hal yang tidak-tidak, jangan sampai kejadian di mana ia harus tidur di luar terulang lagi.
Davira terkekeh pelan, sebentar lagi mereka pasti akan mulai berdebat lagi. Memilih pergi untuk menyiapkan air hangat, Davira meninggalkan mereka berdua di sana.
Kavindra mendelik. "Oke, deh. Papa mandi sekarang, ya. Tapi Zein harus janji dulu, malam ini Zein harus tidur sendiri, oke?”
Zein langsung cemberut. “Papa curang! Mana boleh begitu? Sekarang kan Mama Davira miliki kita berdua. Papa mau ingkar janji, ya?”
Kavindra menggeleng kuat. “Mana ada Papa ingkar janji, pria selalu menepati janjinya. Yang Papa maksud Zein harus tidur sendiri itu supaya Zein semakin berani.”
“Zein berani kok tidur sendiri. Tapi Zein maunya tidur sama Mama Davira, Pa. Zein kangen banget sama Mama Davira.” Dengan kecerdasannya, Zein mulai menunjukkan sikap manjanya, semata agar Kavindra luluh dibuatnya.
“Tetap tidak bisa, Zein harus belajar mandiri mulai dari sekarang,” kata Kavindra tegas, membuat anak kecil itu melipat kedua tangannya di depan dada.
Anak kecil itu cemberut sambil membalikkan badan, enggan menatap sang ayah. Bersamaan dengan itu, Davira baru saja selesai menyiapkan air hangat untuk Kavindra mandi.
“Mas, air hangatnya sudah siap, ya.” Davira memberitahu. Pandangannya beralih pada Zein yang masam sambil melipat tangan di dada.
“Zein kenapa, Mas?” tanyanya pada Kavindra yang sudah siap untuk beranjak ke kamar mandi. Namun pria itu mengedikkan bahu, pura-pura tak tahu.
Davira beralih kepada Zein, meraih bahu anak kecil itu. “Zein kenapa, Nak? Kok mukanya masam gitu?”
“Mama, masa kata papa, Zein gak boleh tidur sama Mama Davira. Papa jahat, ya, Ma?”
“Oh ternyata karena itu. Sini, sini, biar Mama jelaskan, ya. Tapi sebelumnya, coba kasih Mama senyum Zein dulu yang paling manis, mana senyumnya anak Mama yang tampan?”
Mau tak mau, Zein pun menuruti perkataan Davira, anak kecil itu mengulas senyumnya dan mengikuti Davira untk duduk di sofa.
“Zein tahu tidak, Nak? Beberapa larangan kadang bermaksud baik,” kata Davira lembut seraya memangku Zein.
Mata anak kecil itu tampak mengerjap, belum mengerti dengan apa yang Davira bicarakan. “Zein gak paham, Ma.”
Davira tersenyum. “Maksudnya, kalau papa atau mama, atau bahkan grandma dan grandpa melarang Zein untuk melakukan sesuatu, itu artinya kami ingin yang terbaik untuk Zein.”
Zein tampak berpikir sejenak. “Ooo kayak tadi yang papa bilang, ya?”
“Papa bilang apa tadi sama Zein?”
“Papa bilang Zein gak boleh tidur sama mama, Zein harus tidur sendiri biar Zein jadi anak yang berani,” kata Zein menjelaskan.
“Nah itu dia, jadi Zein sudah tahu, ya, kenapa papa melarang Zein tidur sama mama? Bukan karena papa jahat, ya?” tanya Davira, menunggu respons anak kecil itu.
Zein terlihat mengangguk paham. “Iya, Mama. Zein paham sekarang. Tapi, kalau Zein minta dibacakan dongeng sebelum tidur boleh, kan, Ma?” tanyanya berusaha bernegosiasi.
Dan tentu saja Daira mengangguk. “Boleh, dong. Yuk kita ke kamar Zein. Anak tampan Mama ini mau dibacakan cerita apa?” tanya Davira sambil mengajak Zein pergi ke kamarnya.