Saat keadilan sudah tumpul, saat hukum tak lagi mampu bekerja, maka dia akan menciptakan keadilannya sendiri.
Dikhianati, diusir dari rumah sendiri, hidupnya yang berat bertambah berat ketika ujian menimpa anak semata wayangnya.
Viona mencari keadilan, tapi hukum tak mampu berbicara. Ia diam seribu bahasa, menutup mata dan telinga rapat-rapat.
Viona tak memerlukan mereka untuk menghukum orang-orang jahat. Dia menghukum dengan caranya sendiri.
Bagaimana kisah balas dendam Viona, seorang ibu tunggal yang memiliki identitas tersembunyi itu?
Yuk, ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 1
Kerasnya kehidupan kota, tidak membuatnya menyerah begitu saja. Pahit ditelannya seorang diri, demi memberikan kehidupan manis untuk si buah hati. Pekerjaan kasar pun ia lakukan untuk mencukupi kebutuhan anak semata wayangnya itu.
Dia Viona, seorang ibu tunggal yang berjuang melawan kerasnya kehidupan. Tak kenal lelah, tak kenal waktu dia bekerja demi mempertahankan senyum Merlia--anak semata wayangnya.
****
"Viona! Tolong, bersihkan toilet guru terlebih dahulu, ya! Biar Merlia yang membersihkan toilet anak-anak, akan ada kunjungan hari ini," titah kepala sekolah SMA Guna Bhakti kepada Viona saat hendak membersihkan toilet bersama anaknya.
Viona mengangguk tanpa banyak bicara, ia mendatangi sang putri yang turut bekerja membantunya di sekolah tersebut. Merlia harus melakukan itu agar tetap bisa bersekolah.
"Lia, Ibu harus membersihkan toilet guru. Jika sudah selesai sebaiknya kau segera pergi menuju kelas. Tak perlu menunggu Ibu," pamit Viona sembari mengusap kepala putrinya.
Entah mengapa, ia merasa berat membiarkan Merlia bekerja sendirian. Padahal, mereka berada di tempat yang sama.
"Baik, Bu. Ibu tidak perlu khawatir," katanya sambil tersenyum manis. Senyum yang selama ini hanya dia tunjukkan kepada sang ibu.
"Berhati-hatilah! Jika sesuatu terjadi kau harus berteriak atau berlari mendatangi Ibu. Kau mengerti?" ingat Viona sembari menggenggam tangan putrinya.
Merlia menganggukkan kepala pasti, mereka berpisah. Keadaan sekolah masih sepi, belum banyak siswa yang datang. Hal itu dilakukan oleh ibu dan anak setiap hari. Datang lebih awal untuk membersihkan lingkungan sekolah.
Merlia menoleh ke belakang, ia merasa beberapa pasang mata sedang mengawasi. Tak ada siapapun yang terlihat.
"Mungkin hanya perasaanku saja. Sudahlah, sebaiknya aku segera bekerja," katanya seraya berjalan menuju lorong kamar mandi siswa untuk dibersihkan.
Sekali lagi, Merlia merasakan kehadiran beberapa orang. Ia menghentikan langkah, menoleh ke belakang. Tetap sepi, tak ada siapapun di sana karena belum ada siswa yang datang.
Merlia menghela napas, melanjutkan langkah menuju gudang penyimpanan alat-alat kebersihan. Ia menggantung tas di sana, mengambil alat pel dan ember, kemudian pergi menuju toilet.
"Tidak boleh mengeluh, aku harus semangat!" katanya menyemangati diri sendiri.
Ia tersenyum saat bayangan kerja keras Viona melintas dalam ingatan. Tak hanya membersihkan kamar mandi, Merlia pun menyapu halaman sekolah.
"Merlia!" panggil seseorang dari teras kelas saat melihat Merlia sedang membersihkan bagian depan toilet.
Gadis itu tersenyum, melambaikan tangan saja. Kemudian buru-buru melanjutkan pekerjaan untuk menemui temannya itu. Hanya gadis itu yang berteman dengannya, sedangkan yang lain merasa jijik harus berada dekat dengan petugas kebersihan sekolah seperti Merlia.
"Desi! Kenapa kau kemari? Aku belum menyelesaikan pekerjaanku," tanya Merlia mendatangi Desi setelah membersihkan toilet. Dengan membawa sapu lidi di tangan, ia akan menyapu halaman sekolah.
"Hari ini, aku mau izin. Ada keperluan bersama orang tuaku di luar kota. Jadi, aku tidak sekolah. Kau jangan dekat-dekat dengan mereka! Apapun yang mereka katakan, kau sebaiknya menghindar. Aku hanya ingin mengatakan ini kepadamu. Kau harus berhati-hati, Merlia," ucap Desi sedikit berbisik di telinga Merlia.
Gadis berkulit sawo matang itu tertegun. Selama ini dia selalu ingin bergabung dengan kelompok populer di sekolah agar bisa mengikuti kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Namun, tak pernah ada respon dari ketua gang tersebut. Merlia selalu dijadikan kacung oleh mereka sebagai syarat untuk bergabung.
Melakukan banyak pekerjaan, tapi terkadang Desi datang dan membawa Merlia pergi menjauh dari mereka.
"Mereka?" Dahi Merlia mengernyit, menatap bingung pada Desi.
"Iya, mereka!" Desi menegaskan, raut wajahnya tidak main-main. Serius dan ada sesuatu yang besar tersembunyi di sana.
"Baiklah, kali ini aku akan mendengar mu," ucap Merlia, keduanya duduk di bangku taman sekolah sebelum lanjut melakukan pekerjaan.
Desi berpamitan kepadanya saat melihat dua sosok paruh baya dengan penampilan berkelas keluar dari ruang kepala sekolah. Ia berlari sambil melambaikan tangan pada Merlia. Memperingati gadis itu sekali lagi dengan sebuah isyarat agar menjauh.
Merlia berdiri turut melambai, sambil tersenyum ia mengangguk kecil. Lalu, melanjutkan pekerjaannya menyapu halaman sekolah. Keadaan kembali hening, pukul enam tiga puluh pagi. Bunyi gerbang dibuka terdengar sampai ke tempatnya.
Merlia mengangkat wajah, menatap lorong kelas yang kosong. Suasana pagi itu terasa berbeda, padahal hal tersebut sudah biasa bagi dirinya. Ia melilau ke segala arah, tak ada siapapun. Di mana ibunya?
"Ibu!" Merlia membuang sapu dan berlari mencari ibunya ke gedung lain. Gedung khusus untuk para guru yang dipisahkan aula pertemuan.
Merlia berlari melewati lorong panjang kelas-kelas yang berderet. Entah mengapa hari itu semua siswa datang terlambat. Tak satu pun yang datang pagi sehingga sekolah menjadi menyeramkan. Ada ketakutan yang memenuhi ruang hatinya, Merlia berkali-kali menatap ke belakang seolah-olah sedang dikejar beberapa orang.
"Merlia!"
Sebuah panggilan cukup keras menghentak tubuh Merlia. Sontak langkahnya terhenti, ia membeku di tengah-tengah lorong yang panjang nan sepi itu. Desiran angin terasa seperti rayuan maut sang pencabut nyawa. Tirai-tirai kelas yang berterbangan, selayaknya kain yang akan membungkus tubuhnya.
"Ibu!" Suara Merlia bergetar, terlebih saat perlahan-lahan muncul beberapa bayangan dari balik dinding di ujung lorong. Kakinya gemetar, seluruh tubuhnya tak dapat digerakkan.
"Tidak! Aku tidak ingin ikut dengan kalian!" lirih Merlia seraya mencoba menggerakkan kedua kaki untuk mundur ke belakang.
Tangannya meraba-raba mencari pegangan, matanya tak berkedip mengawasi sosok-sosok yang muncul dengan wajah menyeramkan itu.
"Tidak!" Merlia menggelengkan kepala, terus mencoba untuk pergi menghindari mereka.
Ia berbalik dan mengayuh kaki dengan cepat, tapi ketakutan membuatnya lemah. Sesuatu mencengkeram pergelangan tangan Merlia, membuatnya tak dapat berkutik. Ia dibanting cukup keras hingga kepalanya membentur lantai.
"Argh!" Merlia menjerit memegangi kepalanya yang berdenyut.
Samar ia melihat sosok itu menyeringai dengan kejam. Tangannya yang panjang dengan kuku-kuku yang mencuat tajam. Merlia menggeleng, menangis tanpa suara.
Namun, tangan panjang itu menarik kerah bajunya, menyeretnya di sepanjang lorong dan membanting tubuh Merlia di dalam sebuah bangunan terbengkalai.
"Argh! Di mana ini?" Merlia membuka mata, menatap sekitar. Tak ada siapapun di sana selain dirinya sendiri.
"Hei!" Ia berteriak, berdiri tertatih mencoba meraih pintu.
"Buka!" Merlia berteriak sembari menggerakkan gagang pintu yang terkunci.
"Buka! Siapapun di sana, kumohon buka pintunya!" Teriakan Merlia menggema di kesunyian.
Brak!
Ia tersentak saat sebuah suara keras terdengar dari belakang tubuh. Merlia berbalik, lagi-lagi tidak ada apapun di sana. Ia kembali kepada pintu, mencoba membukanya.
"Ibu! Tolong Lia, Ibu! Ibu!" Merlia memanggil-manggil ibunya, tapi tak ada sahutan.
Entah di mana dia berada saat ini, ia sendiri tidak tahu.
"IBU!"
Apa yang terjadi pada Merlia?
****
Selamat datang di novel terbaruku, selamat membaca.
kyknya Peni yg terakhir.. buat jackpot bapaknya.. si mantan Viona..!! 👻👻👻