Di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tebal sepanjang tahun, Ardan, seorang pemuda pendiam dan penyendiri, menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran misteri setelah menerima surat aneh yang berisi frasa, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya." Dengan rasa penasaran yang membakar, ia mulai menyelidiki masa lalunya, hanya untuk menemukan pintu menuju dunia paralel yang gelap—dunia di mana bayangan seseorang dapat berbicara, mengkhianati, bahkan mencintai.
Namun, dunia itu tidak ramah. Ardan harus menghadapi versi dirinya yang lebih kuat, lebih kejam, dan tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Dalam perjalanan ini, ia belajar bahwa cinta dan pengkhianatan sering kali berjalan beriringan, dan terkadang, untuk menemukan jati diri, ia harus kehilangan segalanya.
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARIRU EFFENDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Bayangan di Balik Pintu
Ardan menatap jejak kaki berdarah itu, jantungnya berdebar kencang. Lorong yang tadi hanya terasa seperti perangkap misterius kini berubah menjadi penjara penuh tekanan. Ada sesuatu yang mengikuti jejak itu dari balik kegelapan. Sesuatu yang bahkan bayangannya pun sulit dipahami.
“Ini bukan hanya ujian. Ini seperti... peringatan,” gumamnya sambil menggenggam lentera lebih erat.
Dengan hati-hati, Ardan melangkah mengikuti jejak itu. Setiap langkah terasa seperti memasuki dunia baru, seolah lorong itu berubah bentuk setiap kali ia bergerak maju. Dindingnya yang dulu dipenuhi ukiran batu kini dihiasi coretan liar, seperti pesan-pesan putus asa dari seseorang yang terjebak.
"Berhenti sebelum terlambat."
"Kegelapan tidak akan melepaskanmu."
"Pengkhianat tak pantas hidup."
Tulisan-tulisan itu menggigilkan tulangnya. Namun, tekad Ardan semakin kuat. Ia tahu, berhenti bukanlah pilihan. Setiap langkah semakin mendekatkan dirinya pada kebenaran yang telah lama tersembunyi.
---
Cahaya di Balik Kegelapan
Jejak kaki itu berhenti di depan sebuah pintu besar, berbeda dari pintu-pintu sebelumnya. Pintu ini tampak hidup. Ukirannya bergerak perlahan, membentuk pola-pola yang terus berubah, seolah sedang berkomunikasi.
Ardan menyentuh permukaannya. Pintu itu dingin seperti es, namun saat ia mendorongnya, pintu itu terbuka tanpa suara.
Di baliknya, sebuah ruangan yang luas terbentang, diterangi oleh cahaya biru samar yang memancar dari kristal besar di tengahnya. Kristal itu tampak seperti hati yang berdenyut, setiap detaknya mengirimkan gelombang energi ke seluruh ruangan.
Di depan kristal itu, berdiri sosok berkerudung hitam. Tingginya menjulang, dengan aura kegelapan yang menyelimuti tubuhnya. Sosok itu memegang tongkat panjang dengan ujung berbentuk tengkorak yang berkilauan.
"Sudah sampai sejauh ini, Ardan?" suara sosok itu terdengar seperti ribuan suara berbicara sekaligus, menggema di seluruh ruangan.
"Siapa kau?" tanya Ardan, berusaha menjaga suaranya tetap tegas meskipun tangannya gemetar.
"Aku adalah penjaga dari apa yang kau cari. Namun, jawab dulu pertanyaanku: untuk apa kau melangkah sejauh ini? Apa yang sebenarnya kau inginkan?"
Pertanyaan itu menusuk pikiran Ardan. Ia berpikir sejenak, mencoba merangkai jawaban yang tepat. Namun, sebelum ia bisa berbicara, sosok itu melanjutkan, "Kau menginginkan kebenaran, tetapi kau bahkan tidak tahu apa kebenaran itu. Kau mencari sesuatu yang mungkin seharusnya tetap tersembunyi."
"Aku ingin mengetahui siapa yang mengkhianati aku, siapa yang menghancurkan semua yang kupunya," jawab Ardan akhirnya, suaranya penuh kemarahan.
Sosok itu tertawa pelan. "Pengkhianatan itu, Ardan, berasal dari dirimu sendiri."
---
Bayangan Diri
Ruangan itu tiba-tiba berubah. Kristal biru itu lenyap, dan sosok berkerudung menghilang, digantikan oleh cermin besar yang memantulkan bayangan Ardan. Namun, bayangan itu bukanlah dirinya yang biasa.
Bayangan itu memiliki mata merah yang menyala, dengan senyuman licik yang penuh ejekan. Tubuhnya penuh luka seperti bekas pertempuran.
"Jadi, kau akhirnya melihatku," kata bayangan itu, suaranya terdengar seperti versi lebih dalam dari suara Ardan sendiri.
"Apa ini? Apa maksudnya?" tanya Ardan, bingung.
"Aku adalah bagian darimu yang selalu kau hindari. Bagian yang kau sembunyikan di balik topeng keberanian dan tekadmu. Aku adalah ketakutanmu, kebencianmu, dan semua keputusan salah yang pernah kau buat."
Ardan menggelengkan kepala. "Tidak, ini tidak mungkin. Aku tidak seperti itu!"
Bayangan itu tertawa keras. "Benarkah? Lalu kenapa kau ada di sini? Kau mencari kebenaran, tapi kau tidak bisa menghadapi siapa dirimu sebenarnya."
Bayangan itu mendekat, dan tiba-tiba dunia di sekelilingnya berubah menjadi kilasan-kilasan masa lalu—momen-momen di mana Ardan gagal, di mana ia membuat keputusan buruk, di mana ia mengkhianati orang-orang terdekatnya demi tujuan pribadinya.
"Kau tidak mencari siapa yang mengkhianatimu, Ardan," kata bayangan itu, suaranya lebih tenang namun penuh ketegasan. "Kau mencari alasan untuk memaafkan dirimu sendiri."
---
Kembali ke Kegelapan
Ardan terjatuh ke lantai, merasa seperti kehilangan semua kekuatan. Kilasan-kilasan itu terus berputar di pikirannya, menekan dadanya seperti beban yang tak tertahankan.
Namun, di tengah rasa putus asanya, ia mendengar suara lembut—suara Selina.
"Ardan, bangkitlah. Kau tidak bisa menyerah sekarang. Kau lebih dari apa yang kau lihat dalam bayangan itu."
Suara itu mengembalikan sedikit kekuatannya. Ardan berdiri, meskipun tubuhnya gemetar. Ia menatap bayangannya sendiri dengan keberanian yang baru ditemukan.
"Aku mungkin telah membuat kesalahan, mungkin aku pernah mengkhianati diriku sendiri," katanya dengan tegas. "Tapi itu bukan berarti aku akan berhenti di sini."
Bayangan itu tersenyum kecil, lalu memudar perlahan. "Kalau begitu, buktikan,Ardan. Tunjukkan bahwa kau pantas melanjutkan perjalanan ini."
Saat bayangan itu lenyap, ruangan itu kembali menjadi lorong sempit yang dipenuhi ukiran. Lentera di tangan Ardan kembali menyala terang, memberikan kehangatan yang terasa menenangkan.
Namun, di ujung lorong, ada pintu lain yang menunggunya. Kali ini, pintu itu tidak tampak seperti ancaman, melainkan undangan.
Ardan tahu, perjalanan ini belum selesai. Tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit lebih kuat, sedikit lebih yakin akan dirinya sendiri.
Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju pintu itu, siap menghadapi apa pun yang menunggunya di baliknya.