Layaknya matahari dan bulan yang saling bertemu disaat pergantian petang dan malam, namun tidak pernah saling berdampingan indah di langit angkasa, seperti itulah kita, dekat, saling mengenal, tapi tidak pernah ditakdirkan untuk bersama.
Aku akan selalu mencintaimu layaknya bulan yang selalu menemani bintang di langit malam. Diantara ribuan bintang di langit malam, mungkin aku tidak akan pernah terlihat olehmu, karena terhalau oleh gemerlapnya cahaya bintang yang indah nan memikat hati itu.
Aku memiliki seorang kekasih saat ini, dia sangat baik padaku, dan kita berencana untuk menikah, tetapi mengapa hatiku terasa pilu mendengar kabar kepergianmu lagi.
Bertahun-tahun lamanya aku menunggu kedatanganmu, namun hubungan kita yang dulu sedekat bulan dan bintang di langit malam, justru menjadi se-asing bulan dan matahari.
Kisah kita bahkan harus usai, sebelum sempat dimulai, hanya karena jarak yang memisahkan kita selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Roshni Bright, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berduka
Ibu Aisyah berbisik pada Aisyah “Apa tadi Kamu melihat Ji-hyeon lagi?” tanya Ibunya.
“Iya Bu, tadi Ji-hyeon bilang, kalau Dia mencintaiku,” jawab Aisyah.
“Lalu Kamu mengiyakannya?” tanya Ibunya.
“Iya,” jawab Aisyah.
“Seharusnya jangan Kamu jawab “iya” Aisyah!”
“Memangnya kenapa Bu? Aisyah juga reflek jawab itu.”
“Ibu takut, Ji-hyeon nantinya malah membawa Kamu untuk ikut bersamanya.”
“Ikut bersamanya? Maksud Ibu, ikut mati gitu?”
“Iya!”
“Maut udah ada yang menentukan Ibu, Ibu gak usah percaya yang kayak gitu ya!”
“Ya tapi Aisyah... Kamu ngomong sama Ji-hyeon seperti itu disaat jasad Dia belum dikuburkan.”
“Ya namanya juga reflek Bu!”
“Hm.. Ya sudah kalau begitu, semoga saja tidak terjadi sesuatu yang buruk menimpamu ya, Aisyah!”
“Iya Bu!”
Aisyah dan Ibunya, ikut ke pemakaman Ji-hyeon.
“Aisyah, ayok pulang Nak!” ajak Ibunya mengelus pundak Aisyah.
“Tidak Bu! Aisyah masih pengen di sini, Ibu kalau mau pulang, pulang saja duluan, nanti Aisyah nyusul,” jawab Aisyah tersenyum menatap Ibunya.
“Ya sudah kalau seperti itu, Ibu pulang ya Nak! Kamu pulangnya jangan malam-malam ya Nak!”
“Iya Bu!” jawab Aisyah tersenyum menganggukkan kepala.
Ibu Aisyah pulang terlebih dahulu meninggalkan Aisyah yang masih ingin berada di samping makam Ji-hyeon.
Aisyah duduk dan tersenyum mengelus nisan Ji-hyeon “Sekarang, Kamu sudah tidak perlu merasakan rasa sakit lagi, Kamu udah bahagia di sana, tapi aku yang berduka, karena orang yang sangat aku tunggu kedatangannya, justru sudah ditunggu oleh Yang Maha Kuasa untuk dijemput kembali pada-Nya ...”
“... Semoga Kamu tenang di alam sana ya! Aku akan selalu mendoakanmu di sini. Walaupun semua orang menilaimu buruk, tapi tidak denganku, Kamu seperti itu karena Keluargamu yang hancur,” ucap Aisyah mengingat masa-masa menyakitkan Ji-hyeon yang pernah Ia lihat di depan matanya.
“Dasar anak nakal! mau Lu apa sih? Tawuran mulu! bolos mulu! Mau jadi apa Lu? Mau jadi sampah? pokoknya Lu harus mau sekolah di Kampung yang gak ada akses internetnya, biar pikiran Lu itu gak kayak gitu terus!” ucap Ayahnya menampar Ji-hyeon.
“Apa hak Lu ngatur gw? Bukannya Lu udah punya Keluarga baru? Istri baru? Anak baru? Lu baik sama Keluarga gw cuma untuk menyakiti Kami lagi! Lu kembali ke rumah Dia melupakan gw dan Jolie! ..."
“... Di pikiran Lu itu, anak Lu ya cuma anak dari PELAKOR itu! Lu beralasan kalau Lu memberikan nafkah untuk Kami, oke! Karena saat itu uang dari Lu ditahan oleh Nenek, tapi sekarang?
“... Sekarang apa? Lu cuma pulang untuk sumpah serapah anak-anak Lu! Lu selalu dengan entengnya ngatain Kami bahasa BINATANG!
“... Lu dengan entengnya nyumpahin Keluarga Lu sendiri untuk MATI! Cuma karena Wanita murahan dan Kedua Anaknya itu!” jawab Ji-hyeon yang emosi, hingga wajahnya memerah dan urat di lehernya terlihat jelas.
“Dasar! anak kurang ajar ya Lu!” ucap Jidan menampar pipi Ji-hyeon hingga memerah.
“Tampar terus tampar! Sampai kapanpun, gw gak bakal mau mengakui Lu sebagai Bapak gw! Karena apa? Karena Wanita itu dan Anaknya yang sudah menghancurkan kebahagiaan Keluarga gw! Kalau gw kurang ajar sama Lu, lantas sebutan apa yang pantas untuk Pria seperti Lu itu?”
Jidan menarik Ji-hyeon dan mendorongnya, hingga kepalanya berdarah, karena terbentur dinding.
Ji-hyeon memegang kepalanya, dan melihat tetesan darah di tangannya.
“Darah ini suatu saat akan bersaksi di Akhirat nanti, betapa jahatnya Lu sama Keluarga Lu sendiri!” ucap Ji-hyeon.
“Lu lihat! Lihat Anak Lu! Lu kasih makan apa tuh Anak? Sampai jadi anak kurang ajar kayak gitu!” ucap Jidan menunjuk Ji-hyeon dan menatap Karissa.
“Seharusnya Kamu menyadari kesalahan mu Mas! Bukan malah terus berbuat seperti itu pada Keluarga Kamu! Ji-hyeon butuh kasih sayang seorang Ayah Mas! Begitupun dengan Jolie! ...”
“... Mereka berdua juga anak Kamu, darah daging Kamu! Tapi mengapa yang Kamu urus dengan baik, hanya anak dari selingkuhan Kamu itu? awal Kamu pulang ke rumah, Kamu bilang, kalau Kamu sudah menceraikan Dia, tapi apa kenyataannya Mas? ...”
“... Kamu belum menceraikan Dia, Kamu pulang ke rumah disaat Kamu sedang bertengkar dengan selingkuhan Kamu! Kamu hanya menjadikan Kami sebagai pelarian demi Wanita kedua itu!” ucap Karissa meneteskan airmatanya dan menunjuk ke sembarang arah.
“Kamu juga sama saja seperti Dia!” ucap Jidan kesal dan menarik rambut Karissa ke belakang.
Jidan menarik rambut Karissa ke belakang dan membenturkan kepalanya berulangkali ke dinding.
Ji-hyeon dan Jolie berusaha menghentikannya, namun Mereka juga ikut menjadi sasaran empuk Jidan.
Darah terus mengalir dari kepala Karissa, hingga Karissa tak sadarkan diri.
Jidan melepas Karissa dan menendangnya beberapa kali, begitupun dengan Ji-hyeon dan Jolie.
Jidan bahkan meludahi Keluarganya dan pergi begitu saja meninggalkan Mereka.
Aisyah yang sedari tadi menyaksikan nampak syok dengan apa yang terjadi pada Keluarga Ji-hyeon.
Aisyah langsung pergi dari persembunyiannya sebelum Jidan melihatnya.
Setelah memastikan posisinya aman, Aisyah langsung memanggil warga untuk meminta bantuan mengantarkan Ji-hyeon, Jolie, dan Ibunya ke rumah sakit.
Aisyah menghampiri Ji-hyeon dan Ji-hyeon langsung memeluknya.
“Aku tahu apa yang Kamu rasakan saat ini, Kamu istirahat dulu ya, aku temenin,” ucap Aisyah tersenyum mengelus kepala Ji-hyeon.
“Terima kasih! Terima kasih telah menolongku dan Keluargaku, Aisyah!” ucap Ji-hyeon tersenyum menganggukkan kepala.
“Iya, sama-sama, ya udah, Kamu istirahat dulu aja, biar cepat pulih,” ucap Aisyah tersenyum mengelus tangan Ji-hyeon.
“Iya!” jawab Ji-hyeon tersenyum menganggukkan kepala.
Kembali pada masa kini, Aisyah nampak sangat bersedih mengingat saat itu.
“Sejak saat itu, aku tidak pernah melihatmu lagi, hingga akhirnya aku mendapatkan kabar dari tetangga sekitar, jika Kamu pindah sekolah ke Kampung ...”
“... Saat aku mendengar kabar itu, aku merasa sangat terpukul, tapi pasti Kamu juga lebih terpukul daripada aku. Aku selalu berdoa, semoga takdir kembali menyatukan Kita ...”
“... Aku selalu teringat akan janjimu yang akan kembali lagi nantinya padaku, jika sampai jarak memisahkan Kita, “Aku janji sama Kamu, aku akan kembali lagi pada Kamu, disaat jarak memisahkan Kita, aku berjanji, aku tidak akan membiarkan hubungan Kita asing terlalu lama,” ucap Ji-hyeon tersenyum menggenggam tangan Aisyah.
“Kamu masih mengingatnya tidak? Aku selalu mengingat setiap perkataanmu dulu padaku. Masa-masa indah Kita. Oh iya, aku belum sempat mengucapkan “terima kasih” secara langsung padamu, makasih ya, makasih Kamu udah menguatkan aku disaat Nenekku meninggal dunia ...”
“... cuma Kamu satu-satunya temanku yang hadir pada saat itu, dan terima kasih, karena Kamu sudah meminjamkan aku laptop milikmu pada saat aku sidang PKL, kalau bukan atas dasar bantuan darimu, mungkin saat ini, aku masih belum lulus kuliah, atau justru putus kuliah, karena laptop milikku rusak pada saat itu, makasih ya!” ucap Aisyah tersenyum mengelus nisan Ji-hyeon.