Sebuah kecelakaan merenggut pengelihatannya. Dia merupakan dokter berbakat yang memiliki kecerdasan tinggi, tampan dan ramah menjadi pemarah.
Beberapa perawat yang dipekerjakan selalu menyerah setiap satu pekan bekerja.
Gistara, gadis yang baru lulus dari akademi keperawatan melamar, dengan gaji tinggi yang ditawarkan dia begitu bersemangat. Hampir menyerah karena tempramen si dokter, namun Gista maju terus pantang mundur.
" Pergi, adanya kamu nggak akan buatku bisa melihat lagi!"
" Haah, ya ya ya terserah saja. Yang penting saya kerja dapet gaji. Jadi terserah Anda mau bilang apa."
Bagaimna sabarnya Gista menghadapi pasien pertamanya ini?
Apakah si dokter akan bisa kembali melihat?
Lalu, sebenarnya teka-teki apa dibalik kecelakaan yang dialami si dokter?
Baca yuk!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dokter dan Perawat 29
" Maksud lo freak, dia aneh gitu? Anehnya gimana Vic?"
Obrolan mereka menjadi serius. Entah itu yang namanya kebetulan atau memang sudah takdir, tapi memang Victor tadi secara tiba-tiba diminta untuk bekerja di departemen bedah. Memang dia termasuk anak baru dan belum jelas dimana ia akan ditempatkan. Sehingga dirinya masih kesana kemari mengikuti perintah.
Victor yang mendapat cerita tentang Eida pun secara langsung bisa mengamati wanita itu. Seperti citranya, Eida memang doktor yang baik. Namun ada yang membuat Victor merasa aneh dengan dokter wanita itu.
Eida, dokter itu terkadang tiba-tiba menyingkir saat dapat panggilan telepon. Ekspresi wajahnya kadang senang tapi terkadang kesal. Dan tadi menjelang pulang, Victor juga melihat Eida pulang secara mencurigakan.
" Ya kali di lagi marahan ma cowoknya makanya kesel pas ditelpon. Kalau soal pulang, apanya coba yang mencurigakan. Aah lo mah, gue udah serius-serius coba, ternyata cuma gitu doang. Vic, sumpah, lo udah buang waktu berharga gue."
" Ish ini anak, beneran dia tuh aneh tahu. Nih ya, pas pulang dia tuh selalu nengok gitu ke belakang. Kayak takut diikutin gitu lho. Beneran gerak-geriknya tuh aneh tau nggak Gis."
Gista termenung sejenak. Dia kembali mencerna setiap apa yang dikatakan oleh Victor. Gista paham betul sifat dari temannya itu. Victor tidak akan kukuh begitu jika dia tidak yakin.
Hal ini tentu harus lebih lagi untuk diamati. Meskipun Gista sangat yakin bahwa Alex akan melakukan pengawasan, namun tidak ada salahnya untuk mencocokkannya dengan pengamatan Victor.
" Apa bener Gis, kalau Dokter Eida yang ngelakuin itu ke Dokter Han?"
" Saat ini Dokter Eida berada dalam posisi terduga, dan statusnya belum naik sebagai tersangka karena kita juga belum punya bukti konkret terlibatnya orang itu. Aah iya, gue juga belum tanya soal cctv, tapi mobil yang digunakan Dokter Han malam itu beneran bersih. Nggak ada bekas diotak-atik. Tapi gue beneran curiga soal tuh mobil."
Victor mengacak rambutnya dengan sangat kasar. Seketika kepalanya berdenyut memikirkan hal tersebut. Dia adalah perawat, dan memikirkan hal yang diluar keahliannya sungguh membuatnya kesulitan.
" Gud berasa main detektif canon eh conan. Buset deh, puyeng seriusan. Gue pulang dulu lah ya. Pala gue beneran pusing. Gini aja, besok semoga gue masih ada di sana. Gue awasin lagi dah tuh orang."
" Oke, pulang gih. Muka lo pucet Vic hahaha."
Victor membuang nafasnya kasar, dia benar-benar langsung pulang saat Gista bicara demikian.
Sepulangnya Voctor, Gista kembali termenung. Dia mencoba memikirkan semua kemungkinan dan juga menelaah kira-kira alibi apa yang dipakai Eida sampai nekat berbuat seperti itu.
Selain Eida mungkin bisa saja ada orang lain. Dan kemungkinan itu juga bisa digunakan sebagai preferensi dalam pengungkapan kasus ini.
Acara yang akan diselenggarakan esok, Gista yakin akan menjadi salah satu awal mula dari orang-orang yanh tidak menyukai Han muncul. Meskipun tidak akan terlihat dalam sekali coba, tapi Gista punya keyakinan dari hal itu akan terkuak.
" Gis, apa yang Ibu dengar nggak salah kan?"
" I-ibu ... ."
Gista sungguh lupa. Pembicaraan yang ia lakukan dengan Victor seharusnya tidak boleh terdengar oleh Danti. Gista tidak ingin ibunya jadi kepikiran.
" Bu, aku cuma mau bantu Dokter Han aja kok."
" Tapi, itu bahaya Gis. Kalau terjadi apa-apa sama kamu gimana. Gis, Ibu mohon jangan terlibat dalam hal yang membahayakan."
Degh!
Dada Gista berdebar sangat hebat. Jantungnya berdegup dengan cepat. Diluar dugaan, Danti bicara demikian. Gista pikir ibunya akan mendukungnya dalam apa yang ia lakukan ini.
Apalagi pembicaraan tempo hari tentang bagimana harus bersikap baik dan bersikap positif terhadap orang lain yang tengah berada dalam situasi seperti Hanuel. Tapi siapa sangka Danti akan meminta Gista untuk tidak terlibat.
" Ibu, Gista cuma mau bantu Pak Han. Kecelakaan yang dialami Pak Han terjadi karena seseorang. Orang jahat itu harus dapat hukuman yanh setimpal. Dia harus membayar kejahatannya Bu."
" Jika benar seperti itu, pasti pihak berwajib akan menyelidiki. Kamu nggak usah ikutan-ikutan Gista."
" Tapi Bu, aku juga nggak yang gimana-gimana. Aku cuma ngasih pendapat aja, ngasih masukan."
" Gista!"
Degh
Gista tercengang, sekian lamanya dia tidak pernah mendengar Danti mengucapkan namanya dengan suara keras dan tinggi, tapi baru saja Danti melalukan itu. Tangan Gista mengepal erat, dia menahan perasaannya. Dia mencoba tidak meluapkan emosi yang saat ini timbul.
" Ya Bu, Gista akan lakuin apa yang Ibu bilang. Ya udah Ibu istirahat, aku juga mau istirahat. Besok aku harus berangkat lebih baik. Ibu jangan lupa minum obatnya ya. Selamat malam Bu."
Tap tap tap
Cekleeek
Klaak
Gista mengucapkan semuanya tadi dengan tersenyum. Namun ketika sampai di kamarnya, senyumnya itu langsung hilang.
Gadis itu menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, ia lalu menekan dadanya yang masih berdebar hebat. Ingin rasanya Gista bertanya mengapa ibunya bersikap demikian. Namun Gista memilih untuk tidak melakukannya. Dia tidak ingin Danti kembali drop dan sakit.
Kondisi tubuh Danti tidak baik, dan Gista tidak ingin ibunya kembali terbaring sakit. Maka dari itu Gista memilih untuk menekan perasaannya.
" Ibu kenapa gitu ya? Mungkin ibu lagi sensitif. Haah next time kayaknya alu nggak boleh ngomongin hal itu di depan ibu."
Gista memejamkan matanya. Rasa lelahnya bertambah kali lipat sekarang. Dan tanpa ia sadari dia tertidur bahkan dalam posisi yang tidak nyaman.
Sedangkan di kamar lain tepatnya di kamar Danti, wanita paruh baya itu tengah tergugu. Ia merasa bersalah karena bicara dengan keras terhadap putrinya.
" Ibu cuma nggak mau kamu kerepotan sendiri Gis. Kamu kayak almarhum Bapakmu yang nggak bisa lihat orang diperlakukan nggak adil. Tapi pada akhirnya bapak kamu sama sekali nggak dapat keadilan. Ibu cuma mau kamu menjalani kehidupan yang biasa-biasa aja Gis. Jangan menonjol, biar kamu nggak ditargetin sama siapapun. Hidup ibu nggak bakalan lama, entah bagaimana nanti kamu kedepannya."
TBC
Lanjuut