Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan tak terduga dibawah atap Warkop.
Rehan melangkah cepat menembus hujan deras yang turun begitu tiba-tiba. Ia baru saja selesai bekerja di laboratorium Pak Seno dan berencana langsung pulang ke kosannya. Namun, cuaca tak mendukung. Langit yang semula cerah tiba-tiba gelap, disertai angin kencang yang menderu, dan kemudian hujan turun begitu saja, membuatnya terjebak di tengah jalan.
Menatap langit yang semakin gelap, Rehan memutuskan untuk mencari tempat berteduh. Di seberang jalan, ada sebuah warkop kecil yang terlihat cukup nyaman. Dengan sedikit enggan, dia menyeberang dan masuk ke dalam warkop itu. Suasana hangat langsung menyambutnya, dan aroma kopi yang menggoda segera menyergap hidungnya.
Beberapa orang tampak sibuk berbincang di meja mereka, beberapa lainnya asyik dengan laptop. Rehan memilih meja kosong di pojok, jauh dari keramaian, dan duduk dengan perlahan. Ia membuka tas dan meletakkan barang-barangnya di atas meja. Dengan napas yang agak berat, ia menatap jendela. Hujan yang terus turun membuatnya merasa sedikit tenang, meskipun ia tak pernah mengerti mengapa hujan selalu membuatnya berpikir begitu banyak hal.
Tiba-tiba, seorang pelayan datang menghampirinya. Seorang perempuan muda dengan rambut panjang yang rapi, mengenakan apron biru muda. Dia tersenyum ramah. “Selamat malam, Mas. Mau pesan apa?”
Rehan menoleh ke arahnya dan merasa sedikit canggung. Ia belum terlalu terbiasa berbicara dengan orang yang tidak dikenalnya, apalagi di tempat umum seperti ini. “Ah, kopi hitam aja. Panas.”
Pelayan itu mengangguk dan segera pergi menuju dapur untuk menyiapkan pesanan. Rehan kembali menatap hujan yang mengguyur luar warkop. Begitu banyak hal yang ia pikirkan, tetapi semuanya terasa kabur dan tidak jelas. Ia selalu mengandalkan logika dan sains dalam hidupnya, tapi kali ini ada sesuatu yang membuatnya ragu, meskipun ia tak bisa menjelaskan apa itu.
Tak lama kemudian, pelayan tersebut kembali dengan secangkir kopi di tangannya. Ia meletakkan kopi itu dengan hati-hati di atas meja dan tersenyum lagi. “Kopi panasnya, Mas.”
“Terima kasih,” jawab Rehan, sambil sedikit mengangguk. Meski suasana di dalam warkop cukup ramai, Rehan merasa aneh—perempuan itu sepertinya tidak terburu-buru dan lebih memilih berbicara dengan lembut, berbeda dengan pelayan di tempat lain yang lebih sering hanya menyelesaikan tugasnya. Ada semacam ketenangan dalam dirinya yang membuat Rehan merasa sedikit lebih nyaman, meski ia tak mengerti mengapa.
Dinda—seperti yang tertulis di nametag-nya—melihat Rehan sejenak, lalu bertanya, “Mas sering ke sini, ya?”
Rehan terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia belum mengenal perempuan ini, dan jelas bahwa ini adalah pertama kalinya dia datang ke warkop ini. “Baru pertama kali sih,” jawab Rehan dengan ragu, mencoba mencari cara untuk melanjutkan percakapan yang sedikit canggung ini. “Soalnya... hujan. Biasanya kalau hujan, gue nggak pernah pulang langsung ke kosan.”
“Oh, jadi lo baru nemu tempat ini ya? Untung hujan deras banget, jadi bisa istirahat dulu di sini,” Dinda berkata dengan ringan, mencoba membuat suasana lebih santai.
Rehan hanya mengangguk. “Iya, emang. Hujan di Jakarta, nggak bisa ditebak.”
Dinda tersenyum. “Iya, kadang datang tiba-tiba. Kalau lo mikir-mikir, hujan itu kayak... kehidupan yang nggak bisa diprediksi, ya? Muncul tiba-tiba dan nggak ada yang tahu kapan berhenti.”
Rehan merasa sedikit terkejut dengan pernyataan Dinda. Biasanya orang akan mengeluh tentang hujan, atau sekadar berbicara tentang cuaca yang buruk. Tapi Dinda malah berbicara tentang hujan seolah-olah itu bagian dari kehidupan yang lebih dalam. Mungkin ini hanya cara dia berbasa-basi, tapi ada sesuatu yang membuat Rehan tertarik untuk mendengar lebih lanjut.
“Hujan ya, bisa dibilang nggak bisa diprediksi. Tapi ya, kan semuanya bisa dijelaskan dengan sains, bukan?” jawab Rehan, berusaha mengalihkan pembicaraan kembali ke jalur yang lebih familiar baginya.
Dinda tertawa kecil, tampaknya tidak terkejut dengan jawaban tersebut. “Ah, lo ini orang yang logis banget, ya? Semua harus ada penjelasan ilmiahnya. Gue sih percaya kalau ada hal-hal yang nggak bisa dijelaskan gitu aja. Kaya perasaan... cinta, misalnya.”
Rehan menatap Dinda dengan agak bingung. “Cinta? Itu kan cuma reaksi kimia di otak. Dopamin, serotonin, oksitosin... semuanya ada penjelasannya.”
Dinda mengangguk pelan. “Iya, mungkin itu bagian dari penjelasan fisiknya. Tapi kadang, kan, ada hal-hal yang nggak bisa dijelaskan cuma dengan reaksi kimia. Perasaan itu kan... lebih dari sekadar reaksi yang bisa dijabarkan.”
Rehan mendengarkan dengan seksama, meski dalam hatinya ia masih merasa sedikit bingung. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa segala sesuatu, termasuk perasaan, bisa dijelaskan dengan logika atau ilmu pengetahuan. Tapi, percakapan ini membuatnya mempertanyakan hal-hal yang selama ini ia anggap pasti.
“Apa maksud lo... perasaan itu nggak bisa dijelaskan sama logika?” tanya Rehan, berusaha memahami lebih dalam.
Dinda tersenyum, senyum yang cukup bijaksana. “Ya, nggak selalu, Mas. Terkadang, perasaan itu datang tanpa kita tahu kenapa. Dan mungkin itu yang bikin orang jadi percaya dengan cinta. Meskipun mungkin nggak ada bukti ilmiahnya.”
Rehan terdiam, merenung sejenak. Percakapan itu terus berputar di kepalanya meski Dinda sudah kembali melayani pelanggan lain. Ia merasa ada ketegangan dalam dirinya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sesuatu yang sulit dijelaskan, sesuatu yang berada di luar jangkauan logikanya.
Setelah beberapa menit, Rehan memutuskan untuk meninggalkan warkop. Ia membayar kopi yang ia pesan dan segera keluar, berlari kecil ke arah kosannya yang tak jauh dari situ. Namun, meskipun ia sudah berada di jalanan yang basah, pikirannya tetap terjebak pada percakapan singkat dengan Dinda. Perasaan yang aneh itu, yang sejak tadi ia coba tafsirkan, masih menggantung.
Dan satu hal yang kini mengganggu pikirannya—apakah benar cinta hanya bisa dijelaskan dengan sains, atau mungkin, ada sesuatu yang lebih dari itu?