Please, Zielle. Jangan kepikiran itu sekarang!
Gue pura-pura cek keadaan Asta, merapikan selimutnya biar kelihatan sibuk. Tiba-tiba, Anan muncul dari sisi lain kasur. Gue lihat dia sambil mengeluarkan sepatu.
"Lo lagi ngapain, sih?" tanya gue, tapi dia diam saja, malah lanjut melepas sepatu terus mulai buka kancing kemejanya. "Anan!"
"Lo kira gue bakal pulang dalam keadaan kayak begini?" Dia pasang muka memelas, bikin napas gue hampir berhenti. "Lagian, enggak baik buat lo tidur sendirian sama cowok."
"Oh, jadi baiknya gue tidur sama dua cowok sekaligus, gitu?"
Anan mengabaikan omongan gue dan melepas kemejanya.
Ya ampun, Pangeran, tolonglah!
Pipi gue langsung panas, merah kayak tomat. Ternyata dia punya tato lain di bagian bawah perut dan di sisi kiri dadanya. Tangan dia mulai ke arah kancing celananya.
"Stop! Jangan! Kalau lo lepas celana, lo tidur di lantai!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Latihan Sepak Bola
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
"Apa lo bilang, lo habis ngapain?"
Niria sahabat gue dari kecil, hampir semprot muka gue sama minuman sodanya. Kita lagi di kafe paling terkenal di kota.
"Yaps, persis kayak yang lo dengar." Gue mengeluh sambil main-main sama sedotan di jus jeruk gue.
Niria langsung kasih senyum lebar kayak baru menang lotre. Rambutnya yang hitam jatuh di sisi mukanya, tipe rambut yang kalau enggak di-styling pun juga tetap kelihatan keren. Bikin gue iri.
Niria sudah bareng gue dari dulu, persahabatan kita mulai dari taman kanak-kanak, waktu dia mencoloki pensil ke kuping gue. Iya, memang awal yang enggak biasa buat pertemanan, tapi memang begitu kita, enggak umum dan kadang suka agak gila.
Meski begitu, kita saling melengkapi satu sama lain. Kalau itu bukan persahabatan sejati, gue enggak tahu lagi apa namanya.
Niria masih senyum-senyum bego. "Kenapa sih lo kelihatan lesu banget soal ini? Kita ngomong in Anan,loh, cinta terpendam lo dari umur tujuh atau delapan, kan?"
"Gue, kan, udah bilang gimana dia nge-chat."
"Tapi dia nge-chat lo duluan, Zielle. Akhirnya Dia ngomong sama lo, dia notice kalau lo ada di dunia ini. Itu udah awal yang bagus, jauh lebih baik daripada lo cuma ngeliatin dia dari jauh kayak penguntit."
"Gue bukan penguntit!"
Niria langsung pelototi gue. "Serius, lo? Mau ngelak dari gue yang udah sering pergokin lo ngintipin dia?"
"Ya enggaklah, itu, kan, cuma kebetulan aja gue lihat dia dari jauh waktu gue lagi... jalan-jalan."
"Jalan-jalan atau ngumpet di balik semak?"
"Udahlah." Gue percepat topiknya, soalnya enggak menguntungkan buat gue. "Lo tuh harus bantu gue cari cara biar dia enggak pakai Wi-Fi gue lagi, gue enggak mau dia menang terus."
"Kenapa enggak lo ganti password-nya?"
"Biar dia hack passwordnya lagi? Enggak, makasih."
Niria keluarkan bedak-Nya dan mengaca, sambil merapikan rambutnya. "Jujur aja, gue gak tahu harus bilang apa, say. Gimana kalau kita minta bantuan Bison?"
"Lo bercanda? Niria, namanya Bion, gak pake 's'."
"Sama aja." Dia keluarkan lipstik dan mulai mewarnai bibirnya dengan merah mencolok. "Dia jago soal komputer kan? Paling gak, dia paling pintar di kelas kita."
"Seriusan lo harus dandan di sini? Kita enggak lagi di rumah lo," kata gue, walaupun sudah tahu itu sia-sia. "Dan ya, kayanya dia mengerti soal gituan, dia kan bantuin Pram buat proyek komputernya."
"Tuh, kan, gue selalu kasih solusi buat lo." Niria masukan makeup-nya dan berdiri. Gue baru mau ngomong, tapi dia langsung lanjutkan, "Malah, lo mau tahu, gak, apa saran gue buat lo?"
"Apa?"
"Ya, lo itu cuma buang-buang waktu aja, benaran, deh."
"Soalnya dia tuh..." balas gue menghela napas, "Sempurna banget."
Niria mengacuhkan jawaban gue. "Gue mau ke kamar mandi, bentar ya."
Dia pergi sambil bikin beberapa cowok memperhatikan dia pas melewati meja mereka. Niria memang jago banget dandan, ditambah lagi badannya yang ramping dan tinggi. Gue bisa bilang, sahabat gue ini salah satu cewek paling cakep di sekolah.
Gue mainkan sedotan gue, sambil habiskan jus jeruk. Panasnya gila-gilaan, tapi gue suka. Gue enggak mau musim liburan semester ini kelar, soalnya itu berarti sekolah mulai masuk lagi, dan jujur saja, gue agak takut di tahun terakhir di sekolah.
Pikiran gue kembali ke Anan, dan gue keingat lagi suara dan senyum sombongnya tadi malam. Gue sadar kalau dia sebenarnya bukan orang baik.
Dunia ini aneh, kalau gue lihat, dia itu benar-benar dingin dan orang yang perfeksionis buat melakukan apa pun. Serius, dia itu kayak robot yang enggak bisa merasakan apa-apa. Gue sih berharap saja gue salah, kali aja dia sebenarnya punya sisi lembut atau manis di dalamnya, ya, kan?
Alarm HP gue bunyi, dan gue cek: Jadwal latihan sepak bola.
Senyum gue langsung mengembang. Semua orang sudah tahu kalau tiap Selasa dan Kamis jam lima sore, tim sepak bola SMA Anan latihan di lapangan dekat rumah gue.
Gue simpan HP di tas dan bayar bill-nya. Gue langsung menyender di tembok depan kamar mandi menunggu Niria. Menginjak-injak kaki enggak sabar sampai akhirnya sahabat gue itu nongol juga.
Dia angkat alis, “Gue kira kita bakal makan di sini.”
“Latihan bola,” jawab gue sambil senyum.
“Ohhh, lo mau ninggalin gue di sini buat ngelihat cowok-cowok ganteng, yang main bola sambil telanjang dada, ya?” ketusnya. Tapi gue tahu dia cuma bercanda.
“Mau ikut, enggak?”
“Ogah ah, ngintip dari jauh, sih, bukan gaya gue. Gue lebih suka dekati langsung, lo tahu itu kan?” Dia julingkan mata.
“Jangan pamer dong, kan, lo udah pengalaman,” kata gue cemberut.
“Ya udah, kalau begitu lo jangan jadi perawan terus, dong,” ejek dia sambil keluarkan lidah.
“Bisa jadi gue udah enggak, loh,” Balas gue.
“Yah, jangan, dong. Harusnya lo simpan aja tuh buat cinta pertama lo.”
“Niria. Gue enggak nyimpen apa-apa buat dia, ya!”
Dia malah melirik ke arah lain sambil senyum. “Ya, udah deh, sana gih. Gue enggak mau ngerusak kesempatan lo lihat dia tanpa baju gara-gara gue.”
“Dia enggak pernah buka baju juga kali!” balas gue lirih.
Niria ketawa. “Dia udah bikin lo mabuk kepayang gitu ya, cewek nakal.”
“Niria!”
“Oke, gue diam. Udah sana gih. Kita makan lagi lain kali, santai aja.”
Pipi gue langsung panas.
Gue keluar dari kafe dan jalan ke arah lapangan. Memang Niria itu gila, omongannya suka bikin gue salah tingkah. Walaupun gue belum punya pengalaman soal cowok, tapi gue tahu sedikit-sedikit apa yang perlu gue lakukan.
Begitu sampai di lapangan, gue beli es nanas favorit gue. Terus gue pakai kacamata hitam, tarik hoodie buat tutupi rambut, dan duduk di tribune depan lapangan bola buat nikmati pemandangan. Di sana cuma ada gue sama empat cewek lain. Cowok-cowok mulai masuk ke lapangan buat pemanasan.
Walaupun ini tim sepak bola dari sekolah elite Anan, mereka tetap latihan di sini. Anan sendiri lagi lari-lari keliling lapangan, pakai celana pendek hitam sama kaus hijau dengan angka 05 di punggungnya. Rambut hitamnya bergerak terkena angin pas dia lari. Gue memperhatikan dia sambil senyum-senyum sendiri, sampai lupa kejadian semalam.
Dia keren banget!
Pas latihan selesai, tiba-tiba langit menggelegar dengan petir, dan hujan langsung terjun tanpa aba-aba. Tetesan air dingin menyentuh gue. Gue mengomel dalam hati sambil tarik hoodie lebih rapat di kepala, buru-buru lari turun dari tribune, lewat tempat parkir, soalnya cowok-cowok sudah mau keluar, dan gue bisa ketahuan sama Anan.
Pas gue berusaha buat keluar dari sana, gue menabrak seseorang. "Au!" Gue pegang hidung sambil mengangkat kepala.
Ternyata yang gue tabrak itu salah satu pemain, cowok tinggi kulitnya gelap, matanya terang, kayak aktor FTV. "Lo enggak apa-apa?"
Gue mengangguk dan ngeloyor begitu saja. Terus, tiba-tiba gue dengar suara yang sudah gue kenal sejak semalam.
"Ngapain lo berdiri di sini kehujanan?" Gue dengar Anan ngomong ke cowok yang gue tabrak barusan di belakang gue.
"Gue ketabrak cewek aneh, pakai kacamata hitam padahal hujan," kata si cowok itu.
“Aneh apanya, aneh nenek moyang lo!” gumam gue dalam hati, sambil dengar respons Anan lewat hujan.
Gue jalan secepat mungkin, dan menghembuskan napas lega pas melihat gerbang keluar lapangan. Gue belok kanan buat jalan pulang.
Hujan makin deras, tapi gue enggak menemukan tempat buat berteduh, bahkan halte bus sekalipun enggak ada.
Tiba-tiba gue dengar suara ramai-ramai, dan refleks langsung masuk ke gang. Gue menempel ke tembok dan nekat mengintip ke jalan. Ternyata Anan lagi mengobrol sama beberapa teman satu timnya, dan mereka semua pakai payung.
Harusnya tadi gue cek dulu ramalan cuaca!
"Yakin enggak mau ikut sama kita?"
Cowok yang tadi gue tabrak, dia bertanya. Anan geleng-geleng kepala, "Enggak, gue ada urusan di rumah." Teman-temannya pun pergi, dan Anan malah diam di situ, berdiri di tengah hujan, kayak lagi menunggu sesuatu.
Gue menyipitkan mata, mengernyit penasaran, dia lagi menunggu apa ,sih?
Anan akhirnya mulai jalan, tapi dia malah enggak mengarah ke rumahnya, melainkan ke arah yang berlawanan.
Apa dia bohong ke teman-temannya?
Gue malah ambil keputusan bodoh, gue ikuti dia saat langit makin gelap, dan kita makin menjauh dari pusat kota, masuk ke jalanan yang sepi.
Sial, gue salah langkah.
Ini ide buruk, serius.
Kenapa juga gue mengikuti dia?
Sebenarnya ini bukan urusan gue, tapi gue penasaran kenapa dia harus bohongi teman-temannya.
Anan jalan terus, langkahnya pasti bak sudah tahu mau ke mana. Kita lewat jembatan kayu kecil, angin malam mulai terasa, sementara sisa-sisa cahaya matahari perlahan ditelan awan gelap. Gue rangkul diri sendiri dan basahi bibir.
Dia mau ke mana di tengah gelap begini?
Sekarang gue enggak bisa melihat jalan aspal lagi, cuma ada jalan tanah yang masuk ke dalam hutan.
Makin bingung, setahu gue, di sini enggak ada apa-apa kecuali pohon-pohon dan nyamuk.
Anan tiba-tiba melompati pagar kecil di tempat yang paling enggak gue duga.
Kuburan.
Apaan, sih?!
Gue bahkan enggak tahu kalau bisa sampai kuburan lewat sini.
Kenapa dia ke sini?
Aduh, jangan-jangan benar. Dia vampir yang ke sini buat nyiapin lahan, buat korban berikutnya atau dia tahu gue mengikuti dia dan sengaja bawa gue ke sini buat menghisap darah gue sampai kering.
Enggak, enggak, gue enggak mau mati perawan!
Gue bimbang, tapi akhirnya gue ikut loncati pagar kecil itu. Gue enggak percaya gue sampai segila ini, mengikuti dia buat masuk kuburan. Kuburan ini luas banget.
Langit yang setengah gelap tertutup awan hitam, kilat yang sesekali nyala di antara batu nisan kayak sengaja memanggil kakek-nenek yang lagi tidur buat bangun.
Gue yang bego ini masih saja mengikuti dia melewati nisan-nisan dan pohon-pohon kering yang bergoyang kena angin. Mungkin dia ke sini buat menyekar atau semacamnya. Tapi setahu gue, di keluarga Anan enggak ada yang meninggal. Percaya deh, di lingkungan kita semua orang pasti tahu segala hal tentang tetangganya.
Anan mulai jalan lebih cepat, dan gue harus mengikuti dia dengan menjaga jarak yang aman. Kita masuk ke pemakaman elite, ada bangunan seperti rumah-rumah kecil buat orang-orang yang sudah meninggal, tapi buat orang kaya. Anan belok di pojokkan, gue buru-buru mengikuti, tapi begitu gue sampai di sana, dia sudah enggak ada.
Sial.
Gue mencoba tetap tenang, jalan pelan di antara rumah-rumah kecil itu, tapi benaran, gue enggak melihat dia sama sekali. Gue telan ludah, jantung gue rasanya mau copot. Kilatan petir diikuti suara guntur bikin gue melompat.
Gue tahu ini bakal buruk.
Kenapa juga gue nekat ikuti dia ke kuburan malam-malam begini?
Gue putar balik, coba cari jalan kecil di antara makam-makam tempat gue masuk tadi. Gue harus cepat keluar dari sini sebelum ada arwah yang ikut sama gue. Ini semua gara-gara rasa penasaran, gue memang pantas dapat ini.
Petir menyala lagi, guntur menyambar dan jantung gue sudah copot. Pas gue jalan lewat depan sebuah nisan tua, gue dengar suara aneh.
Sial.
Gue enggak bakal berhenti buat cari tahu siapa atau apa itu. Gue buru-buru jalan hampir lari, tapi dasar gue kalau lagi takut suka ceroboh, gue malah kesandung akar pohon, jatuh ke depan degan tangan dan lutut menyentuh tanah.
Gue duduk sambil menyeka tangan gue, dan tiba-tiba gue merasa ada sesuatu atau seseorang di belakang gue. Ada bayangan enggak berbentuk yang terlempar ke jalan di depan gue.
Gue langsung teriak sekencang-kencangnya sampai tenggorokan gue panas. Buru-buru bangkit, panik, dan siap-siap buat berdoa, tapi gue malah melihat dia.
Anan.