Berawal dari permintaan sahabatnya untuk berpura-pura menjadi dirinya dan menemui pria yang akan di jodohkan kepada sahabatnya, Liviana Aurora terpaksa harus menikah dengan pria yang akan di jodohkan dengan sahabatnya itu. bukan karena pria itu tak tahu jika ia ternyata bukan calon istrinya yang asli, justru karena ia mengetahuinya sampai pria itu mengancam akan memenjarakan dirinya dengan tuduhan penipuan.
Jika di pikir-pikir Livia begitu biasa ia di sapa, bisa menepis tudingan tersebut namun rasa traumanya dengan jeruji besi mampu membuat otak cerdas Livia tak berfungsi dengan baik, hingga terpaksa ia menerima pria yang jelas-jelas tidak mencintainya dan begitu pun sebaliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon selvi serman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran tentang seorang Thalia.
"Jangan dengarkan ucapan mamah, anggap saja kamu tidak mendengar apapun hari ini, nak!!." meskipun Thalia bukanlah darah dagingnya, namun kasih sayang ayah begitu besar pada Thalia.
Tubuh Thalia masih membeku, sepertinya kenyataan yang baru diketahuinya hari ini membuat gadis itu sangat syok.
Ayah kembali membawa tubuh gadis yang dianggapnya seperti darah dagingnya sendiri tersebut ke dalam pelukannya, sadar betul jika putrinya itu pasti sangat terpukul mengetahui kenyataan yang ada.
"Thalia lelah mau istirahat, pah." mendengar itu ayah lantas melerai pelukannya, memberikan waktu bagi putrinya untuk menjernihkan pikiran. Jika saja saat ini dirinya ada di posisi Thalia mungkin ayah pun akan merasakan hal yang sama, syok dan tidak menyangka pasti menyelimuti hati dan pikiran.
Dengan tubuh layu tak bersemangat Thalia melangkah menuju kamarnya. Setibanya di kamar, Thalia menumpahkan semua isi hatinya dengan tangis pilu, hingga siapapun yang akan mendengarnya pasti bisa ikut merasakan kepiluannya.
"Melakukan hal sekecil itu saja tidak bisa. Dasar anak lemah." di dalam kamarnya ibu masih saja terus mengoceh sambil mengelus pipinya yang terasa kebas akibat tamparan sang suami. selama lebih dari dua puluh tahun mengarungi biduk rumah tangga, ini merupakan kali pertama sang suami main tangan kepadanya sehingga membuat ibu semakin kesal pada Thalia.
"Ceklek." suara pintu kamar terbuka dari arah luar mengalihkan perhatian wanita itu ke sumber suara.
"Kenapa mama tega melakukan semua itu, kenapa mama mengatakan semua itu pada putri kita?? kenapa mah???." ibu masih diam saja dengan wajah kesalnya.
"Apa kamu tidak memikirkan bagaimana perasaan Thalia setelah kamu mengatakan semua itu, hah???." sambung ayah dengan perasaan kecewa.
Ibu yang merasa semakin jenuh dengan sikap sang suami lantas buka suara. "Sekarang dia sudah dewasa, sudah seharusnya dia tau yang sebenarnya, bahwa dia bukanlah anak kandung kita."
Ayah tersenyum tipis mendengar jawaban istrinya, seakan tak percaya istrinya tega memberikan jawaban demikian terhadap anak yang telah banyak membawa kebahagiaan didalam kehidupan mereka.
"Seharusnya kamu bersyukur dengan kehadiran Thalia di hidup kita mah, kalau bukan karena kehadiran Thalia mungkin mendiang orang tua papa sudah menikah kan papa dengan wanita lain dengan alasan mencari keturunan." bukannya ingin mengungkit masa lalu, ayah hanya ingin mengingatkan istrinya. Ya, sampai detik ini baik semua anggota keluarga ayah dan ibunya Thalia berpikir Thalia adalah anak kandung mereka.
"Cukup pah, lagian tujuan mama mengatakan semua kebenaran ini agar anak itu bisa lebih pandai berterima kasih pada orang yang telah berkorban merawat dan membesarkannya."
"Dengan cara memintanya merebut suami dari wanita lain, begitu cara mama meminta Thalia untuk berterima kasih???." sambar ayah. Kesabaran ayah rasanya hampir habis menghadapi sikap tak masuk akal istrinya itu.
"Kalau iya, memangnya apa salahnya???." ujar ibu tak mau kalah.
Ayah mengusap wajahnya dengan gusar. "Mah, apa kamu tidak pernah berpikir, apa yang akan terjadi pada Thalia jika nak Abi sampai marah??? Hidup Thalia pasti akan hancur, mah, nak Abi pasti akan membuat perhitungan yang tidak main-main kepadanya. Jangan hanya karena ambisi mama yang ingin berbesan dengan keluarga Sanjaya sampai membuat mama mengorbankan kebahagiaan putri kita!!." setelahnya, ayah pun segera berlalu meninggalkan kamar, tak ingin terus berdebat.
Sama seperti sang suami, sebenarnya ibu juga sudah menganggap Thalia seperti anak kandungnya sendiri, namun ambisinya yang ingin sekali berbesan dengan keluarga sekelas keluarga Sanjaya membuat wanita itu seakan kehilangan akal sehatnya.
*
Keesokan harinya.
Di gedung Sanjaya Group.
"Bagaimana, apa kamu sudah melaksanakan apa yang saya perintahkan???." tanya Abimana seraya menutup berkas yang baru saja di tandatanganinya.
"Sudah,tuan. saya sudah melaksanakannya sesuai dengan perintah anda. Mungkin dalam dua Minggu lagi bangunannya sudah rampung seratus persen." jawab asisten Purba.
"Bagus, dan pastikan bangunannya sesuai dengan keinginan ayah mertuaku!!!." imbuh Abimana.
"Baik, tuan."
Waktu terus berjalan, tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul lima sore dan Abimana pun telah bersiap pulang ke rumah.
Kurang dari empat puluh lima menit, mobil yang dikendarai asisten Purba tiba di kediaman Sanjaya.
Kepulangan Abimana sore ini di sambut senyuman manis Livia, yang sengaja menunggunya di teras depan. Tidak bisa dipungkiri, hati Abimana berbunga-bunga menyaksikan sang istri rela menunggu kepulangan nya seperti saat ini.
Segera turun dari mobil, menghampiri sang istri.
"Mas sudah pulang???." pertanyaan basa-basi yang dilontarkan Livia justru mendapat jawaban yang membuat wanita itu sontak merengut dibuatnya.
"Kalau belum pulang, mana mungkin sekarang saya berdiri di sini."
"Ck....kaku banget sih."mengomel dengan nada lirih, namun masih terdengar oleh Abimana.
"Dosa mengomeli suami."
Livia tertawa garing. "Bercanda kali mas, serius amat." ujarnya sambil menyelipkan tangannya pada lengan Abimana, kemudian melangkah bersama memasuki pintu utama.
"Udah mesra aja, masih sore kali." Rasya yang berpapasan dengan pasangan tersebut dengan sengaja melontarkan kalimat menggoda yang mampu membuat wajah Livia merona.
"Daripada kau sibuk menggoda kakak iparmu, lebih baik luangkan waktu untuk mencari pendamping hidup. Lagipula sebentar lagi usiamu hampir genap dua puluh lima tahun, masa kekasih saja tidak punya."
Kalimat kakaknya berhasil membuat Rasya mati kutu. "Baru juga dua puluh empat tahun, mas." sanggahnya. Daripada terus bertahan di sana mendengar Abimana terus membahas tentang jodoh, Rasya memilih berpamitan karena sore ini ia sudah janjian dengan kedua sahabatnya di cafe.