sinopsis Amelia, seorang dokter muda yang penuh semangat, terjebak dalam konspirasi gelap di dunia medis. Amelia berjuang untuk mengungkap kebenaran, melindungi pasien-pasiennya, dan mengalahkan kekuatan korup di balik industri medis. Amelia bertekad untuk membawa keadilan, meskipun risiko yang dihadapinya semakin besar. Namun, ia harus memilih antara melawan sistem atau melanjutkan hidupnya sebagai simbol keberanian dalam dunia yang gelap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurul natasya syafika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayang-Bayang dari Masa Lalu - Bahagian 3: Ancaman yang Nyata.
Amelia bergegas ke halaman rumah sakit setelah mendapat kabar bahwa Rafi ditemukan di luar gedung, dalam kondisi mengenaskan. Keringat dingin mengalir di punggungnya saat ia berlari menembus lorong-lorong rumah sakit, menuju pintu keluar.
Kecemasan menggelayuti setiap langkahnya, bayangan ketakutan mengisi benaknya. Rafi, pasien yang sudah beberapa kali mengungkapkan perasaan terancam, kini telah melarikan diri dari perawatan, dan seolah-olah, kekhawatiran terburuknya telah menjadi kenyataan.
Ketika Amelia akhirnya sampai di luar gedung rumah sakit, pemandangan yang menyambutnya membuat darahnya membeku.
Rafi terbaring terlungkup di atas trotoar, tubuhnya terbungkus selimut tebal yang diberikan oleh seorang perawat yang sedang berjongkok di sampingnya. Wajahnya pucat pasi, seolah seluruh energi dalam dirinya telah terkuras habis.
Matanya yang terbuka lebar menatap kosong, namun di balik tatapan itu, ada rasa takut yang begitu mendalam, sebuah ketakutan yang sulit untuk dipahami. Tangannya gemetar tak terkendali, seakan tubuhnya tak lagi mampu mengendalikan kecemasan yang memuncak.
“Rafi…” suara Amelia lembut namun tegas, mencoba meraih perhatian pasiennya. Ia berjongkok di samping tubuh yang lemah itu, memperhatikan setiap detail ekspresi yang mencerminkan ketakutan yang menghantuinya. “Ini saya, Dr. Amelia. Anda aman sekarang. Kami ada di sini untuk membantu Anda.”
Begitu Amelia memanggil namanya, Rafi tiba-tiba menoleh, dan ekspresi ketakutannya berubah menjadi keputusasaan yang lebih dalam.
Tanpa peringatan, ia segera melingkarkan kedua tangannya di sekitar kepalanya, matanya melotot seakan melihat sesuatu yang hanya ia rasakan, bukan sesuatu yang bisa dilihat oleh orang lain.
Tangisan Rafi pun pecah, tak terkendali. “Mereka mengawasi saya! Mereka di sini, saya bisa merasakannya! Mereka tidak akan pernah pergi!” teriaknya dengan suara parau yang hampir tak terdengar, tetapi penuh dengan ketakutan yang mencekam.
Amelia merasa hatinya nyaris robek mendengar teriakan putus asa itu. Ia menahan napasnya, berusaha tetap tenang meskipun dadanya sesak oleh emosi.
Dengan hati-hati, Amelia mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Rafi, berusaha menenangkannya. “Rafi, lihat saya,” katanya dengan suara tegas namun lembut. “Anda aman di sini. Tidak ada siapa pun yang akan menyakiti Anda lagi. Saya janji. Anda tidak sendirian.”
Namun, meskipun Amelia berbicara dengan penuh perhatian, Rafi tidak merespons. Ia hanya menangis tersedu-sedu, tubuhnya bergetar seakan tak mampu lagi menahan beban ketakutan yang menghimpitnya.
Amelia memberi isyarat pada seorang perawat untuk membantu membawanya kembali ke dalam rumah sakit, memastikan bahwa Rafi mendapatkan perawatan yang lebih intensif.
......................
Di ruang perawatan, Amelia berdiri di sudut kamar, memperhatikan Rafi yang kini terbaring di tempat tidur, tubuhnya tampak lemah namun berusaha mengumpulkan sisa-sisa keberanian.
Napasnya mulai stabil, tetapi ekspresi di wajahnya masih menunjukkan rasa takut yang mendalam, seolah ada sesuatu yang mengintainya dari dalam bayang-bayang.
Keheningan dalam ruangan itu terasa tebal, dengan hanya suara napas dan detak jam dinding yang terdengar.
Amelia mengamati dengan penuh perhatian, mencoba mencari cara terbaik untuk membantu pasiennya.
Keputusan Amelia untuk melanjutkan sesi terapi keesokan harinya datang dengan hati yang berat. Meskipun Rafi terlihat sedikit lebih tenang, ia tahu bahwa itu hanya sementara.
Trauma mendalam yang dialami oleh Rafi memerlukan waktu dan kesabaran. Kali ini, Amelia memutuskan untuk menggunakan pendekatan terapi kognitif-behavioral (CBT), yang dapat membantunya menghadapi ketakutannya secara bertahap.
“Rafi,” Amelia memulai dengan suara lembut dan penuh perhatian, duduk di kursi di dekat ranjang pasien, memastikan bahwa ruang itu terasa aman dan nyaman.
“Saya tahu ini sangat sulit untuk Anda. Tapi saya ingin Anda tahu bahwa Anda tidak sendirian. Apa pun yang terjadi, saya ada di sini untuk mendengarkan. Anda bisa berbicara apa saja, tanpa takut dihakimi.”
Rafi terdiam lama, pandangannya kosong, menatap lantai dengan wajah penuh kecemasan.
Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya ia membuka suara, dan ketika ia berbicara, suaranya nyaris tak terdengar, seolah-olah kata-katanya tertahan di tenggorokannya. “Mereka terus datang dalam mimpi saya, Dr. Amelia. Ayah saya… suaranya, pukulannya… Saya masih bisa merasakannya. Dan setiap kali saya pikir itu hanya di kepala saya, saya merasa ada yang benar-benar mengintai saya.”
Amelia mendengarkan dengan seksama, merasakan rasa sakit yang begitu dalam dari kata-kata Rafi.
Ia mengangguk perlahan, mencoba menunjukkan bahwa ia memahami apa yang sedang dialami oleh pasiennya. “Apa yang Anda maksud dengan ‘mengintai’? Apakah Anda merasa ada seseorang yang mengancam Anda sekarang?”
Rafi menggelengkan kepala pelan, dan setelah menarik napas dalam-dalam, ia melanjutkan, “Bukan sekadar ancaman. Saya tahu dia masih mencariku, Dr. Amelia. Ayah saya. Dia tidak akan pernah membiarkan saya pergi. Dia bilang… dia bilang saya tidak bisa lari dari keluarga ini.”
Amelia merasakan kepedihan yang dalam saat mendengar kata-kata itu. Ketakutan yang dirasakan Rafi bukan hanya hasil dari trauma psikologis, tetapi juga sebuah ancaman nyata yang mungkin terus membayangi hidupnya.
Amelia menahan emosinya yang mulai memuncak di dadanya, berusaha untuk tetap tenang dan memberikan ruang bagi Rafi untuk berbicara lebih lanjut.
“Rafi,” Amelia berkata dengan penuh perhatian, mencoba memberikan rasa aman yang bisa ia berikan, “Saya tahu ini sangat sulit, dan saya sangat menghargai keberanianmu untuk berbicara tentang masa lalu kamu. Ini adalah langkah besar, dan kamu tidak sendirian lagi. Saya akan terus ada di sini untukmu.”
......................
Setelah sesi terapi itu, Amelia merasa bahwa ia harus segera mengambil langkah-langkah lebih konkret untuk memastikan keselamatan Rafi. Ia tahu bahwa meskipun ia dapat memberikan dukungan emosional, ancaman dari masa lalu Rafi sangat nyata, dan tidak bisa dianggap remeh.
Oleh karena itu, Amelia memutuskan untuk menghubungi Detektif Armand, seorang petugas kepolisian yang sudah berpengalaman menangani kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga.
“Detektif Armand,” kata Amelia dengan suara tegas melalui telepon, mencoba untuk tetap profesional meskipun ketakutan masih terasa di dalam hatinya. “Pasien saya, Rafi, adalah korban kekerasan rumah tangga yang sangat serius. Ayahnya masih mencarinya, dan saya khawatir ancaman ini nyata. Kita perlu memastikan keselamatannya.”
“Dr. Amelia,” balas Detektif Armand dengan suara yang terdengar penuh perhatian, “kami akan segera bertindak. Saya akan memastikan bahwa dia mendapatkan perlindungan hukum yang diperlukan. Apakah Anda memiliki bukti ancaman baru-baru ini?”
Amelia menghela napas pelan, merasakan kekhawatiran yang semakin membebani pikirannya. “Belum, tapi saya merasa sesuatu sedang terjadi. Saya tidak bisa menjelaskannya, tapi ancaman ini terasa lebih dekat dari sebelumnya.”
“Baiklah. Kami akan menempatkan seseorang untuk berjaga di rumah sakit. Kami juga akan mulai menyelidiki ayahnya,” jawab Detektif Armand, mencoba memberikan rasa aman meskipun Amelia tahu bahwa ancaman ini bisa datang dengan cara yang tak terduga.
Namun, meskipun Amelia merasa lega karena polisi mulai turun tangan, ketakutannya justru semakin menguat. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang sangat tidak beres, dan itu terbukti ketika ia menerima sebuah pesan teks malam itu.
......................
Saat Amelia tiba di rumah sakit setelah berbicara dengan Armand, ia membuka ponselnya dan melihat pesan baru yang masuk. Namun, apa yang ia lihat membuat darahnya membeku, dan jantungnya terasa berhenti berdetak.
Pesan itu singkat, hanya satu kalimat yang tertulis dengan jelas:
“Jika kamu terus melindungi dia, kamu akan menyesal.”
Amelia menatap layar ponselnya dengan penuh ketegangan, tangannya gemetar saat mencoba membaca pesan itu berulang kali. Pesan itu datang dari nomor tak dikenal, namun Amelia tahu bahwa ini bukan sekadar ancaman kosong.
Ada seseorang yang benar-benar berbahaya di luar sana, seseorang yang bertekad untuk menghancurkan hidup Rafi, dan mungkin hidup Amelia juga.
Dengan hati yang berdebar kencang, Amelia bersandar di kursi kantornya, menutup matanya sejenak untuk menenangkan diri. Tetapi kata-kata dalam pesan itu terus terngiang di kepalanya. “Ini lebih dari sekadar tugas medis,” gumam Amelia dengan suara penuh tekad,
walaupun ada sedikit rasa takut yang mulai mencengkeram jiwanya. “Ini adalah tentang keselamatan nyawa, nyawa Rafi dan mungkin nyawa saya sendiri. Saya tidak bisa mundur sekarang.”
Amelia tahu bahwa ancaman itu nyata, dan ia harus bertindak cepat untuk melindungi dirinya dan Rafi.