NovelToon NovelToon
Bloodlines Of Fate

Bloodlines Of Fate

Status: sedang berlangsung
Genre:Vampir
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: Detia Fazrin

Aiden Valen, seorang CEO tampan yang ternyata vampir abadi, telah berabad-abad mencari darah suci untuk memperkuat kekuatannya. Saat terjebak kemacetan, dia mencium aroma yang telah lama ia buru "darah suci," yang merupakan milik seorang gadis muda bernama Elara Grey.

Tanpa ragu, Aiden mengejar Elara dan menawarkan pekerjaan di perusahaannya setelah melihatnya gagal dalam wawancara. Namun, semakin dekat mereka, Aiden dihadapkan pada pilihan sulit antara mengorbankan Elara demi keabadian dan melindungi dunia atau memilih melindungi gadis yang telah merebut hatinya dari dunia kelam yang mengincarnya.

Kini, takdir mereka terikat dalam sebuah cinta yang berbahaya...

Seperti apa akhir dari cerita nya? Stay tuned because the 'Bloodlines of Fate' story is far form over...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Detia Fazrin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kehangatan dalam Kegelapan

...»»————> Perhatian<————««...

...Tokoh, tingkah laku, tempat, organisasi profesi, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiktif dan dibuat hanya untuk tujuan hiburan, tanpa maksud mengundang atau mempromosikan tindakan apapun yang terjadi dalam cerita. Harap berhati-hati saat membaca....

...**✿❀ Selamat Membaca ❀✿**...

Elara keluar dari kamar Nate dengan langkah ringan. Hatinya sedikit lega mengetahui ayah tirinya perlahan membaik. Saat ia menutup pintu, nenek Mika dan bibi Lena langsung menghampirinya dengan wajah penuh harap.

“Bagaimana Nate?” tanya nenek Mika, suaranya sarat kekhawatiran.

Elara tersenyum, menenangkan mereka. “Dia sudah jauh lebih baik, Nek. Racunnya sudah dinetralkan, dan dia mulai pulih.”

Bibi Lena meletakkan tangan di dada, menghela napas lega. “Syukurlah… Akhirnya. kau sangat peduli Elara.”

Elara hanya mengangguk. “Tentu, dia ayahku ibu sangat mencintai nya. Kalian bisa masuk jika ingin melihatnya.”

Tanpa banyak bicara, nenek Mika dan bibi Lena masuk ke kamar Nate, meninggalkan Elara sendirian di lorong. Elara menghembuskan napas panjang, berharap Nate akan benar-benar pulih, tidak hanya fisiknya, tapi juga hubungan di antara mereka.

Saat ia melangkah menuju dapur, suara langkah di tangga menarik perhatiannya. Elara menoleh dan melihat Kevin, sekretaris pribadi Aiden, sedang menaiki anak tangga dengan sebuah kantung kecil di tangannya.

“Kevin!” panggil Elara, menghentikan langkah pria itu.

Kevin menoleh, tersenyum tipis. “Ada apa, Nona Elara?”

“Apa kabar kantor? Bagaimana proyek besar yang sedang kalian kerjakan?” tanyanya penuh rasa ingin tahu. Ia tahu betapa pentingnya proyek itu bagi Aiden.

Kevin mengangguk ringan. “Kantor baik-baik saja. Proyek besar kita berjalan lancar, dan besok kita akan kembali bekerja seperti biasa.”

Elara menghela napas lega. “Syukurlah. Aku senang mendengar itu.”

Pandangan Elara tertuju pada kantung kecil yang dipegang Kevin. Ia mengenali aroma herbal yang samar tercium darinya, sama seperti ramuan yang ia gunakan untuk Nate. “Apa itu?” tanyanya, menatap kantung tersebut.

“Oh, ini?” Kevin mengangkat kantung itu sedikit. “Tuan Aiden yang memintanya. Mungkin untuk luka-lukanya yang belum sepenuhnya pulih.”

Elara mengangguk, tiba-tiba teringat betapa Aiden terus memaksakan dirinya demi membantu orang lain. “Biar aku saja yang membawanya. Aku ingin membantu Aiden.”

Kevin terdiam sejenak, memandang Elara seperti ingin memastikan kesungguhannya. Akhirnya, ia menyerahkan kantung itu dengan sedikit senyum. “Baiklah, El. Tapi hati-hati, ya. Aku harus kembali ke ruang kerja, ada beberapa materi yang perlu dipersiapkan untuk besok.”

Elara menerima kantung itu dengan senyum. “Terima kasih, Kevin. Semangat bekerja. Oh, tunggu!” Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sepotong kecil cokelat. “Ini untukmu. Sebagai penyemangat.”

Kevin memandang cokelat itu, lalu tertawa pelan. “Lain kali beri aku satu batang utuh, ya.”

Elara tertawa kecil, mengangguk. “Baiklah, lain kali.”

Setelah Kevin pergi, Elara mengalihkan pandangannya ke kantung ramuan di tangannya. Dengan langkah penuh tekad, ia berjalan menuju kamar Aiden.

❦┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈ Bloodlines of Fate

Elara mengetuk pintu kayu yang berat itu dengan lembut. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk sekali lagi sebelum memutuskan untuk masuk perlahan.

Begitu pintu terbuka, udara dingin menyergapnya. Suasana kamar Aiden tetap sama seperti terakhir kali ia masuk gelap, sunyi, dan penuh misteri. Lampu redup memancarkan cahaya yang hanya cukup untuk menerangi ranjang besar di tengah ruangan. Aroma khas ruangan itu, campuran kayu tua dan bau tanah, membuat bulu kuduk Elara sedikit meremang.

Langkahnya terhenti ketika ia melihat tubuh Aiden di atas ranjang. Tubuh kekar sang vampir terbaring lemas, tanpa mengenakan kemeja, memperlihatkan luka-luka yang tersebar di dadanya. Beberapa luka tampak dalam, dengan bekas darah yang telah mengering di sekitarnya.

Elara terkejut, matanya mulai berkaca-kaca. “Aiden…” bisiknya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. Ia melangkah maju, mendekati ranjang, sambil mengusap air matanya yang mulai mengalir.

Aiden membuka matanya, menyadari kehadiran Elara. “Elara? Kenapa kau yang membawanya? Kevin seharusnya…” Suaranya terdengar serak, namun tetap tegas.

“Aku ingin membantu,” potong Elara lembut. Ia meletakkan kantung ramuan di meja kecil di samping ranjang. “Dan kenapa… kenapa kau tidak memberitahuku seberapa parah lukamu? Aku tidak tahu kau… seburuk ini.”

Aiden mendesah, mencoba bangkit meski tubuhnya jelas masih lemah. “Ini bukan sesuatu yang perlu kau khawatirkan. Aku baik-baik saja.”

“Kau tidak baik-baik saja,” balas Elara tegas. Ia mengambil wadah kecil dari kantung ramuan, menuangkan isinya ke telapak tangannya, lalu duduk di sisi ranjang. “Aku akan mengobati mu.”

Aiden menggeleng pelan, menahan Elara. “Elara, aku bisa melakukannya sendiri. Kau tidak perlu…”

“Tetap diam,” potong Elara, matanya penuh dengan tekad. “Aku tidak akan membiarkanmu terus menderita seperti ini. Kau sudah cukup berbuat banyak untukku dan keluargaku. Sekarang giliran aku.”

Aiden terdiam, membiarkan Elara mengambil alih.

Dengan hati-hati, Elara mulai mengoleskan ramuan ke luka-luka Aiden. Setiap kali ramuan itu menyentuh kulitnya, Aiden meringis, menahan rasa sakit yang jelas terasa hingga ke tulang.

“Maaf… Apa terlalu sakit?” tanya Elara, suaranya penuh rasa bersalah.

Aiden menggeleng, mencoba tersenyum meski wajahnya menegang. “Tidak apa-apa. Aku sudah pernah merasakan yang lebih buruk.”

Namun, melihat ekspresi Aiden yang menahan sakit, air mata Elara kembali mengalir. “Kau selalu berkata begitu, tapi aku tahu ini menyakitimu,” bisiknya.

Aiden menatapnya, terkejut melihat air mata Elara. “Kenapa kau menangis?”

Elara berhenti sejenak, mengusap matanya dengan cepat. “Karena aku tidak tega melihatmu seperti ini. Kau selalu kuat, selalu melindungi orang lain… tapi siapa yang melindungi mu, Aiden?”

Kata-kata itu membuat Aiden terdiam. Hatinya terasa berat mendengar ketulusan dalam suara Elara. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kata yang keluar.

Setelah selesai mengobati luka terakhir, Elara menutup wadah ramuan itu dan meletakkannya kembali di meja. Ia menatap Aiden sejenak, kemudian tanpa peringatan, ia memeluk pria itu dengan erat.

“Apa yang kau lakukan, Elara?” tanya Aiden, suaranya terdengar bingung namun lembut.

“Aku ingin memberikan sedikit energiku,” jawab Elara pelan. “Kau sudah memberikan begitu banyak untukku. Setidaknya biarkan aku melakukan ini.”

Aiden terdiam, merasakan kehangatan yang mengalir dari tubuh Elara. Sering kali, ia merasakan sesuatu yang tidak hanya menyembuhkan fisiknya, tetapi juga mengisi kekosongan di dalam dirinya. Energi Elara begitu hangat.

Namun, Aiden segera melepas pelukan itu, meski relung hatinya ingin membiarkannya lebih lama. Ia menatap Elara, matanya yang gelap seperti menyimpan sesuatu yang tidak dapat diungkapkan.

“Terima kasih, Elara,” katanya singkat.

Elara tersenyum, meski ia bisa merasakan jarak yang masih dipertahankan Aiden. “Kau harus banyak istirahat. Jangan memaksakan diri lagi.”

Aiden mengangguk pelan, matanya mengikuti Elara yang berjalan keluar dari kamarnya. Ketika pintu tertutup, Aiden menundukkan kepalanya, jari-jarinya menyentuh dada tempat energi hangat itu mengalir.

“Kenapa aku merasa… berbeda?” gumamnya sendiri, sambil menghela napas panjang.

Di luar kamar, Elara berhenti sejenak, meletakkan tangan di dada, merasakan detak jantungnya yang tak biasa. Ia tersenyum kecil, meski tidak tahu mengapa. Namun, satu hal yang pasti ia merasa sedikit lebih dekat dengan pria misterius itu.

1
sella surya amanda
lanjut
sella surya amanda
lanjut kak
sella surya amanda
lanjut
sella surya amanda
lanjut kak
sella surya amanda
lanjut
sella surya amanda
lanjut kak
sella surya amanda
lanjut
sella surya amanda
next
sella surya amanda
lanjut
sella surya amanda
next
NT.RM: Terima kasih banyak sudah mampir dan terus mengikuti Bloodlines of Fate! Senang banget bisa berbagi cerita ini sama kamu. Semoga tetap seru dan bisa terus dinikmati! Jangan ragu buat kasih feedback atau pendapat, ya! 😊
total 1 replies
sella surya amanda
lanjut
KaylaKesya
terbaek thor 😇💪
KaylaKesya: sama2..semangat thor 💪
NT.RM: Terimakasih ya Laya~
total 2 replies
sella surya amanda
lanjut
sella surya amanda
next
sella surya amanda
lanjut
sella surya amanda
next
sella surya amanda
lanjut
sella surya amanda
next
sella surya amanda
lanjut
sella surya amanda
lanjut kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!