Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Janji Terakhir Bimo
Langit tampak kelabu ketika Naura duduk di tepi ranjangnya, memeluk lutut yang ditarik ke dada.
Ruangan itu sunyi, hanya diisi oleh suara napasnya yang berat dan sesekali isak tangis yang ia tahan.
Sinar matahari yang masuk lewat celah jendela terasa pucat, sama seperti perasaannya hari ini—kering, hampa, dan penuh luka.
Setelah kepergian Bimo pagi itu, hati Naura terasa hancur. Semua hal yang pernah ia yakini tentang cinta runtuh dalam sekejap.
Pelukan terakhir mereka masih membekas di tubuhnya, seakan-akan menyimpan sisa hangat yang kini mulai sirna.
Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja kecil.
Tidak ada panggilan dari Bimo. Tidak ada pesan. Hanya layar kosong yang semakin memperparah kehampaan hatinya.
Naura menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
Namun, saat matanya tak sengaja menangkap refleksinya di cermin, air matanya kembali jatuh.
Wajahnya pucat, mata sembab, dan tubuhnya tampak lebih kurus dari sebelumnya.
“Kenapa ini harus terjadi padaku, Mas?” bisiknya lirih, seperti sedang berbicara pada bayangan Bimo yang tak lagi ada di sampingnya.
Saat itu, ponselnya bergetar, memecah kesunyian. Naura menatap layar dengan jantung berdebar.
Nama Bimo muncul di sana, seakan membawa kilatan harapan. Dengan tangan gemetar, ia membuka pesan tersebut.
Namun, isi pesannya membuat hatinya runtuh dalam sekejap.
"Naura, aku sudah transfer uang dalam jumlah besar ke rekeningmu. Anggap saja itu imbalan jika aku tidak kembali. Maaf karena tidak bisa memenuhi harapan kamu."
Jantung Naura seakan berhenti berdetak. Napasnya tercekat, tangannya gemetar hebat.
Ia membaca pesan itu berulang kali, tapi tetap tak bisa mempercayai apa yang tertulis.
“Imbalan? Uang?” Naura berbisik, matanya mulai berair. Rasanya seperti ditikam berkali-kali.
Ia mendadak merasa lemas. Seakan-akan semua cinta yang selama ini Bimo berikan tak ada artinya.
Semua pengorbanan, semua kepercayaan, hanya dibayar dengan uang—seolah ia tidak lebih dari barang dagangan yang bisa dibeli, lalu dibuang.
Dengan penuh emosi, ia mengetikkan balasan singkat dengan tangan gemetar. Kata-katanya keluar begitu saja, dari hati yang penuh luka.
"Jadi bagimu aku ternyata tak lebih dari sekadar barang. Bisa kamu beli saat kamu ingin, dan kamu buang ketika bosan."
Jari-jarinya berhenti sejenak sebelum ia menekan kirim. Air matanya jatuh tanpa henti, membasahi ponselnya.
Sekali lagi ia membaca pesan itu, lalu tanpa ragu mengirimkannya.
Naura menunggu beberapa menit, berharap ada balasan dari Bimo.
Di dalam hatinya, ia masih berharap Bimo akan mengatakan sesuatu—mungkin sebuah penjelasan atau sebuah alasan yang bisa sedikit meringankan luka di hatinya.
Ponselnya bergetar lagi. Kali ini, Bimo membalas.
"Jangan cari aku setelah ini, Naura. Aku akan pergi jauh. Janji, akan selalu melihatmu meskipun kita tak lagi dekat. Janji, akan selalu mengirimkan uang. Pergunakan untuk bahagia. Jangan pernah mengingatku lagi ya. Maaf."
Pesan itu membuat dunia Naura seakan runtuh. Jari-jarinya terkulai, ponsel itu jatuh ke atas kasur.
Ia menatap kosong ke depan, air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi.
“Pergi jauh? Kamu benar-benar meninggalkanku, Mas?” suaranya pecah.
Naura menggigit bibirnya, mencoba menahan isak tangis yang semakin keras.
Namun, akhirnya ia tidak bisa lagi berpura-pura kuat.
Tangisannya meledak begitu saja, memenuhi ruangan yang hening.
Ia memeluk dirinya sendiri, merasa benar-benar sendirian di dunia ini.
"Jangan pernah mengingatku lagi? Kamu pikir semudah itu, Mas?!" Naura berteriak, suaranya bergetar.
Dadanya sesak, setiap kata yang ditulis Bimo bagaikan belati yang menusuk hatinya lebih dalam.
Hatinya berteriak, "Aku tidak butuh uangmu, Mas! Aku cuma butuh kamu! Kenapa semua ini terjadi?!"
Ia menangis semakin kencang, tubuhnya terguncang hebat.
Rasa sakit itu tak tertahankan. Cinta yang ia genggam selama ini kini berubah menjadi serpihan tajam yang melukai jiwanya. Kata "maaf" dari Bimo seakan tak ada artinya lagi.
Naura tidak tahu berapa lama ia menangis di sana. Matahari yang tadinya masih pucat kini telah menghilang, digantikan oleh kegelapan malam. Suasana di luar sunyi, hanya terdengar suara jangkrik yang bersahutan.
Di tengah isak tangisnya, ia kembali meraih ponsel, membuka pesan terakhir dari Bimo. Kata-katanya kembali terngiang di kepala Naura.
"Janji, akan selalu melihatmu meskipun kita tak lagi dekat."
Naura memejamkan mata, membayangkan Bimo berdiri di depannya, tersenyum hangat seperti dulu.
Namun, bayangan itu hanya membuatnya semakin sakit.
Dengan suara lirih, ia berbisik pada kegelapan, “Kenapa kamu begitu tega, Mas? Apa aku memang tidak pantas untuk diperjuangkan?”
Hujan mulai turun di luar jendela, seperti ikut menangisi hatinya yang hancur berkeping-keping.
Naura berbaring di atas kasur, menatap langit-langit dengan mata kosong. Air matanya masih mengalir, tapi isaknya mulai mereda.
Untuk pertama kalinya, Naura merasa benar-benar sendirian. Cinta yang ia yakini bisa menjadi tempat berlabuh, ternyata hanya membawa badai yang menghancurkan segalanya.
Di luar, suara hujan semakin deras, seperti menenggelamkan semua kenangan yang pernah ada.
Naura memejamkan mata, membiarkan air matanya terus jatuh.
Ia sadar, cinta yang selama ini ia genggam sudah pergi—meninggalkan luka yang entah kapan akan sembuh.
***
Hujan di luar semakin deras, bagaikan langit ikut berduka atas kesedihan Naura.
Gadis itu masih terbaring di kasurnya, memeluk bantal yang basah oleh air mata.
Tubuhnya gemetar, dada terasa begitu sesak. Kata-kata Bimo yang singkat tapi tajam terus terngiang di kepalanya, menghantam hatinya tanpa ampun.
"Pergunakan untuk bahagia ... Jangan pernah mengingatku lagi ya ...."
Kata-kata itu membakar hati Naura. Apakah semudah itu bagi Bimo? Semudah itu membuang dirinya yang pernah ia dekap begitu erat? Naura menangis lagi, tangis yang tak lagi tertahan.
Rasa sedih, marah, kecewa, dan sakit hati bercampur menjadi satu.
Dalam isak tangisnya, bayangan masa lalu muncul di kepalanya—saat semua orang memperingatkannya tentang Bimo.
“Hati-hati, Naura. Dia terlalu sempurna, jangan sampai kamu terluka.”
“Kamu tahu siapa dia sebenarnya? Dunia kalian beda, Naura. Jangan gegabah.”
“Naura, kadang cinta bisa membutakan. Kamu harus berpikir dua kali sebelum berjalan terlalu jauh.”
Suara-suara itu terus berdengung di telinganya. Mereka pernah memperingatkan, tapi Naura menutup telinganya.
Ia percaya pada Bimo, pada cintanya, hingga ia menutup mata dari kenyataan yang jelas-jelas ada di hadapannya.
Naura meremas ujung selimutnya, giginya terkatup erat. Air mata yang mengalir kini disertai kemarahan yang perlahan membakar hatinya.
“Kenapa, Mas? Kenapa kamu setega ini padaku? Apa salahku?” Suaranya bergetar, nyaris tak terdengar.
Ia mengangkat kepalanya dengan mata yang memerah. Pandangannya kosong, tapi jauh di dalam dirinya ada tekad yang mulai tumbuh.
"Akan kucari tahu semua tentang kamu sampai ke akar-akarnya," gumamnya dengan suara bergetar.
“Kamu akan menyesali perbuatanmu, Mas Bimo.”
Tekad itu semakin kuat di tengah tangisannya.
Sakit hati yang ia rasakan kini mulai bertransformasi menjadi dendam. Bimo harus bertanggung jawab.
Bimo tidak boleh hidup tenang setelah menyakiti hati dan menghancurkan hidupnya seperti ini.
Perlahan, Naura kembali terbaring di kasur. Tubuhnya terasa lemas, kepalanya pening karena terlalu banyak menangis.
Namun, hati dan pikirannya tak berhenti berputar.
Ia memikirkan setiap kemungkinan, setiap rencana, dan setiap cara agar ia bisa menemukan kebenaran tentang siapa Bimo sebenarnya.
Di luar kamar, suara pintu diketuk pelan. Itu ibunya.
“Naura ... buka pintunya, Nak. Ibu mohon,” suara lembut ibunya terdengar penuh kekhawatiran.
Naura tidak menjawab. Ia hanya memalingkan wajahnya ke arah dinding, mencoba menahan tangisnya agar tak terdengar lagi.
Namun, suara tangis lirihnya tetap sampai di telinga ibunya.
“Naura, buka pintunya. Ibu tahu kamu sedang sakit hati. Jangan seperti ini, Nak ....”
Tak lama, pintu terbuka dari luar. Ayah Naura datang dengan kunci cadangan.
Pria paruh baya itu tampak lelah, wajahnya penuh kesedihan.
Ia masuk ke kamar dan melihat putrinya terbaring lemah di kasur dengan mata sembab.
Tanpa sepatah kata, Ayah Naura duduk di tepi kasur.
Tangannya terulur, menyentuh kepala putrinya dengan lembut. Sentuhan itu membuat air mata Naura kembali mengalir.
“Ayah ...,” bisiknya parau.
Sang Ayah menarik napas dalam, lalu berkata dengan suara bergetar, “Kamu seperti ini karena Ayah, Naura. Apa gunanya Ayah hidup jika sakitku membuat kamu menjual harga diri dan kehormatanmu?”
Naura terperanjat. Ia menoleh dan melihat wajah ayahnya yang penuh rasa bersalah.
Pria itu menunduk, bahunya bergetar. Air mata jatuh di pipinya yang mulai keriput.
“Ayah ...,” Naura berbisik lagi, suaranya tersendat.
“Ayah tahu ... Ayah sakit, tapi harusnya Ayah tidak membiarkanmu memilih jalan ini. Harusnya Ayah bisa melindungimu,” suaranya pecah.
“Ayah merasa bersalah, Nak. Maafkan Ayah ....”
Ucapan itu membuat hati Naura terasa semakin berat.
Ia bangkit perlahan dan memeluk ayahnya. Mereka menangis bersama di tengah ruangan yang hening. Ibu Naura pun ikut masuk, duduk di samping mereka sambil menangis dalam diam.
“Kita akan melewati ini bersama, Nak,” suara ibunya terdengar lembut tapi bergetar.
“Ibu tahu ini sulit untukmu, tapi kamu tidak sendirian. Kamu masih punya kami ....”
Naura hanya bisa menangis di pelukan ayahnya.
Ia tak lagi mampu berkata-kata. Semua perasaannya tertumpah dalam air mata—kesedihan, kekecewaan, kemarahan, dan penyesalan yang tak terbendung.
Malam itu, kedua orang tuanya tidur di kamar yang sama, di sisi kasur Naura.
Mereka tidak tega meninggalkan putri mereka sendirian, terlebih dalam keadaan seperti ini.
Ayahnya beberapa kali terbangun, menatap wajah Naura dengan penuh penyesalan.
Sementara Naura, meski terbaring di kasur, pikirannya terus berputar.
Bayangan Bimo terus menghantuinya. Tekad yang tadi muncul kembali menguat di dalam hatinya.
“Mas Bimo ... kamu pikir aku akan menyerah begitu saja?” gumamnya pelan di tengah kegelapan.
“Aku akan mencari tahu segalanya. Kamu akan menyesali semua ini ....”
Ia memejamkan mata, tapi air matanya terus mengalir. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa luka ini tidak akan sembuh begitu saja.
Tapi ia berjanji pada dirinya sendiri—ia akan kuat. Ia akan berdiri lagi.
Suara hujan di luar semakin melemah, menyisakan gemericik lembut di atap rumah.
Namun, bagi Naura, badai itu belum berlalu. Ia masih berada di tengah pusaran yang siap menghancurkannya kapan saja.
Lalu, ponselnya bergetar lagi. Naura menoleh dengan cepat, berharap ada kabar dari Bimo.
Namun, yang terlihat hanya notifikasi saldo bank. Transferan dalam jumlah besar.
Tangannya gemetar saat melihatnya. Hatinya kembali dipenuhi rasa sakit yang tak tertahankan.
“Kenapa kamu begitu tega...,” bisiknya lirih.
(Bersambung...)
si Naura pun bodoh juga Uda di ingatkan