seorang wanita muda yang terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa sakit dan kehilangan, kisah cinta yang terhalang restu membuat sepasang kekasih harus menyerah dan berakhir pada perpisahan.
namun takdir mempertemukan mereka kembali pada acara reuni SMA tujuh tahun kemudian yang membuat keduanya di tuntun kembali untuk bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 17
Ayana terbangun di ranjang rumah sakit. Cahaya pagi yang lembut menerobos melalui tirai jendela, menghangatkan ruangan yang sunyi. Matanya terbuka perlahan, dan ia melihat sosok yang duduk di samping tempat tidurnya. Bian.
Perasaan hangat mengalir dalam diri Ayana, seolah-olah dunia ini tiba-tiba berhenti berputar. Jika ini hanya mimpi, Ayana berpikir, dia tidak ingin bangun lagi.
dengan suara pelan, hampir seperti bisikan
"Bian…"
Bian terbangun dari tiduran sebentar dan menatap Ayana dengan penuh kehangatan, ekspresi yang penuh kasih dan kekhawatiran.
dengan suara lembut, penuh perhatian
"Ayana, kamu sudah bangun? Bagaimana perasaanmu?"
Ayana terdiam beberapa detik, mencoba memproses kenyataan di hadapannya. Bian ada di sini, di sampingnya, setelah semuanya yang terjadi.
menunduk, menahan air mata
"Aku… aku tidak ingat bagaimana aku bisa sampai di sini."
Bian memegang tangan Ayana dengan lembut
"Kamu overdosis, Ayana. Kami semua takut kehilanganmu. Tapi kamu selamat. Kamu masih di sini, dan itu yang terpenting."
Ayana menatap tangan Bian yang menggenggamnya, rasa terima kasih dan kebingungan bercampur. Ingatannya perlahan kembali ke malam itu, malam yang gelap dan penuh rasa sakit, saat dia merasa tidak ada jalan keluar dan mengkonsumsi pil-pil itu.
dengan suara yang gemetar
*Aku… terlalu lelah, Bian. Rasanya semuanya terlalu berat. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi"
dengan mata penuh harapan bian menenangkan Ayana
"Aku tahu, Ayana. Aku tahu kamu merasa seperti itu. Tapi kamu tidak sendiri. Aku ada di sini, dan aku tidak akan membiarkanmu berjuang sendirian lagi. Kita bisa menghadapi semuanya bersama."
Ayana menarik napas panjang, air mata mulai mengalir tanpa bisa dihentikan. Dia merasa lega, tetapi juga terperangkap dalam rasa malu dan ketakutan. Ketakutannya untuk membuka diri, untuk meminta bantuan.
Ayana menggigit bibirnya, pelan
"Aku takut, Bian. Aku takut ini akan terus berlanjut, dan aku tidak akan bisa memperbaiki semuanya"
Bdengan lembut biantara mengelus rambut Ayana
"Tidak ada yang sempurna, Ayana. Tapi kita bisa memperbaikinya sedikit demi sedikit. Aku akan selalu ada untukmu, tidak peduli apa yang terjadi. Kita akan melewati ini bersama".
Ayana menatap Bian dalam diam, seolah mencari kepastian dalam tatapan mata Bian yang penuh kasih. Untuk pertama kalinya, Ayana merasakan secercah harapan di tengah kegelapan yang telah lama menghalangi jalannya.
Suatu hari, mereka duduk bersama di taman rumah sakit. Matahari terbenam, menciptakan langit yang penuh warna. Ayana menatap Bian dengan senyum kecil.
Keluarganya tak ada yang berani datang berkunjung karena bian menugaskan beberapa orangnya untuk menghalau sumber kesakitan Ayana.
dengan suara lembut ayana berkata
"Terima kasih sudah menjagaku, Bian"
Bian tersenyum, menggenggam tangan Ayana dengan erat
"Aku tidak akan pernah pergi lagi, Ayana. Aku janji."
Ayana menunduk, merasa malu karena selama ini dia hampir kehilangan harapan. Namun, di sisi Bian, dia mulai percaya bahwa ada kemungkinan untuk bangkit kembali, meskipun jalan itu tidak mudah.
mengingat satusnya yang masih sebagai seorang isteri dari devano tidak mengubah kenyataan bahwa yang sedang terjadi saat ini salah.
---.
Lampu strobo berkilauan di klub malam yang penuh sesak. Musik berdentum keras, memecah malam yang sunyi di luar. Devano duduk di sudut bar, gelas whisky di tangannya hampir kosong. Matanya merah dan kosong, menatap lurus ke arah bartender yang sibuk.
Bartender mendekat dengan ragu, menuang whisky lagi tanpa diminta. Devano mengangguk tipis, mengisyaratkan terima kasih tanpa berkata apa-apa.
Devano bergumam pada dirinya sendiri, dengan nada getir
"Dia lebih memilih pria itu... biantara... Kenyamanan... Apa aku tidak cukup?"
Ia meneguk habis isi gelasnya, meletakkannya dengan keras di meja, membuat bartender terkejut. Kepalanya berdenyut, campuran alkohol dan emosi membuat pikirannya kacau.
Flashback: Tangan Biantara menghantam wajah Devano beberapa malam lalu, amarah terpendam meledak. Biantara, dengan mata tajam, berteriak padanya.
"Dia butuh kamu! Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu hanya membuatnya lebih terluka"
Devano tidak bisa membalas, hanya menunduk, menahan rasa sakit bukan hanya dari pukulan itu, tetapi dari kebenaran yang disuarakan Biantara.
Kembali ke klub malam.
Devano menggelengkan kepala, mencoba mengusir kenangan pahit itu. Dia menatap pantulan dirinya di gelas yang kosong, wajah yang kini hampir tidak dikenalnya lagi.
---
Pagi menjelang. Devano memilih kembali ke apartemennya mabuk dan berantakan. Langit mulai memerah di luar jendela, tetapi hatinya terasa gelap. Ia melempar jasnya ke lantai, lalu duduk di sofa dengan botol di tangannya.
Teleponnya bergetar di meja. Nama Ayana muncul di layar. Devano menatapnya lama, tapi tak berani menjawab. Rasa bersalahnya terlalu besar untuk dihadapi.
Devano berbicara pada dirinya sendiri
"apa yang harus kukatakan? Bahwa aku menyesal? Bahwa aku takut dia tidak akan kembali padaku?"
Telepon berhenti bergetar, meninggalkan keheningan yang memekakkan. Devano menenggak lagi isi botolnya, seolah mencoba menenggelamkan rasa sakit itu lebih dalam.
Devano menatap foto pernikahannya dengan Ayana di meja. Rasa bersalah melumatnya perlahan. Ia memukul meja, botol di tangannya jatuh ke lantai dan pecah.
dengan suara serak, hampir menangis
"Kenapa aku tidak bisa memperbaikinya? Kenapa aku biarkan dia pergi begitu saja?"
Dia menunduk, tangannya menutupi wajahnya. Devano tahu, dia tidak bisa terus seperti ini. Tetapi setiap kali ia mencoba untuk berdiri, rasa takut dan kekecewaan Ayana padanya menahannya. Dalam pikirannya, Ayana sudah terlalu jauh diraihnya kembali, dan biantara sudah memenangkan hati yang dulu menjadi miliknya.
Sementara itu, di rumah sakit, Ayana mulai pulih biantara duduk di kursi di samping tempat tidurnya, memegang buku yang tidak ia baca. Tatapannya tertuju pada Ayana yang sedang tertidur.
biantara berbisik pada dirinya sendiri
"Aku hanya ingin kau merasa aman, Ayana. Itu saja."
Ayana perlahan membuka mata, menatap bian dengan senyum lemah. Ada kehangatan dalam cara mereka saling menatap, tetapi juga rasa bersalah yang menggantung di antara mereka.
"Bian… Terima kasih, untuk semuanya" ucap ayana pelan
bian tersenyum kecil
"Jangan ucapkan terima kasih. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja, ingat ini ayana aku akan selalu ada untukmu".
Namun, di balik senyumnya, bian tahu ia tidak hanya ingin Ayana baik-baik saja. Ia ingin lebih. Tetapi ia tahu, Ayana masih terikat dengan Devano, pria yang selalu ia anggap gagal menjaga wanita yang ia cintai.
"Aku hanya ingin memastikan kamu tidak sendirian. Kamu tahu, aku selalu ada untukmu"lanjut bian menuturkan
Ayana menatap Biantara dengan mata yang sedikit basah
"Dan itulah yang membuatku khawatir, Bian."
Biantara mengerutkan dahi, bingung dengan pernyataan Ayana.
"Apa maksudmu?"
Ayana menarik napas panjang
"Aku tidak ingin kamu masuk terlalu jauh ke dalam masalahku. Kamu sudah cukup melakukan banyak hal untukku, tapi ini masalahku, Bian. Ini pernikahanku."
Beberapa hari bersama bian baginya cukup mengobati gejolak dalam hatinya,namun ayana tersadar akan rasa takut tak bisa mengendalikan situasi jika dirinya tidak segera mengambil tindakan,baik untuk biantara maupun devano.
"Aku tidak peduli dengan apa yang orang katakan tentangku. Aku hanya ingin memastikan kamu bahagia."tutur bian tegas
kepala mungil Ayana menggeleng pelan, suaranya bergetar
"Itulah masalahnya. Semua orang mengenalmu, Kamu adalah wajah yang dikagumi di seluruh negeri. Jika kamu terus terlibat, hubungan kita akan disalahartikan. Publik akan menghancurkanmu. Aku tidak ingin itu terjadi."
Biantara terdiam, tetapi raut wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan. Ayana melanjutkan dengan suara yang lebih tegas.
"Aku akan menyelesaikan ini dengan caraku sendiri. Aku tidak ingin siapapun, termasuk kamu, terseret dalam kekacauan rumah tanggaku."lanjut Ayana
Bian berusaha menahan emosinya
"Dan bagaimana dengan kamu? Siapa yang akan melindungimu, Ayana?"
Ayana tersenyum kecil, tetapi matanya menunjukkan kesedihan yang mendalam
"Aku tidak butuh perlindungan, Bian. Aku hanya ingin membebaskan Devano. Pernikahan ini sudah terlalu lama menjadi penjara bagi kami berdua. Aku tidak mencintainya, dan aku tahu dia juga merasa terjebak."
Biantara menatap Ayana dengan rasa frustrasi, tetapi juga rasa hormat terhadap keberanian wanita itu.
Kejadian itu membuat Ayana memiliki keberanian untuk menyelesaikan segala kerumitan yang membelenggu hidupnya,ayana sadar siapapun tidak bisa di jadikan sandarannya selamanya , bergantung pada diri sendiri adalah salah satu cara agar tidak melibatkan siapapun pada pergulatan batin yang ayana alami.
"Kalau begitu, izinkan aku setidaknya untuk mendukungmu, dari kejauhan sekalipun. Aku tidak bisa benar-benar pergi, Ayana. Aku peduli padamu."
Ayana menatap Biantara dengan rasa terima kasih
"Aku tahu, Bian. Dan aku menghargai itu. Tapi aku harus melakukan ini sendiri."
Ayana menatap langit malam sekali lagi, seolah mencari kekuatan dalam kegelapan yang membentang. Biantara menatapnya dengan berat hati, tetapi memilih untuk menghormati keputusan Ayana.
Ayana menghela napas panjang. Ia tahu keputusannya tidak mudah, tetapi ia merasa ini adalah jalan yang benar. Baginya, menyelesaikan masalah tanpa melibatkan orang lain adalah bentuk tanggung jawab yang harus ia pikul sendiri sedari dulu.
Dalam hati, Ayana berdoa agar semua yang ia lakukan ini membawa kedamaian, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk Devano, dan semua orang yang pernah terseret dalam badai rumah tangganya.