Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Delapan -
Sepuluh hari sudah Alvaro pergi dinas ke luar kota. Awalnya Alvaro bilang lima hari, molor jadi sepuluh hari karena memang pekerjaan Alvaro di sana sangat banyak. Alvaro memang selalu intens memberikan kabar pada Amara. Hal yang dari dulu tak pernah Alvaro lakukan, sekarang mulai dia lakukan.
Amara sudah selesai dengan pekerjaannya. Dia selesai lebih awal kali ini. Karena dia sudah ada janji dengan Dewi untuk jalan-jalan ke Mall. Daripada pikirannya semakin ruwet, Amara memilih ikut jalan-jalan dengan Dewi, untuk merefresh otaknya biar waras lagi, menenangkan pikirannya sejenak dari pekerjaannya.
Sudah sepuluh hari Amara berada di bagian kebersiha, dia sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya. Dia sudah mulai memahami bagaimana cara kerjanya supaya selesai lebih cepat, dan semua bersih sempurna. Rekan kerjanya sangat baik, kecuali atasannya, yaitu Bu Tutik, dan satu lagi, dia paling tidak senang saat disuruh oleh Pak Yadi.
Pak Yadi dan Bu Tutik, sama-sama menyebalkannya bagi Amara. Tak jarang Bu Tutik meminta Amara mengerjakan ulang pekerjaannya, karena katanya tidak bersih, masih kotor. Jadi harus kembali dibersihkan. Pak Yadi yang suka cari gara-gara, selalu cari celah supaya Amara membersihkan ruangannya, dan dia selalu mengganggu Amara saat sedang bekerja membersihkan ruangannya.
“Haus nih, Ra! Beli minum yuk? Capek banget padahal baru belanja segini?” ajak Dewi.
Amara hanya menggelengkan kepalanya saja melihat tentengan Dewi yang sudah banyak, tapi dia bilang baru belanja segini saja? Padahal Dewi belanja gila-gilaan kali ini, semua barang yang ia suka, apalagi sedang diskon, semua Dewi beli. Memang hari ini adalah gajian semua karyawan, Amara pun hari ini gajian, akan tetapi dia tidak ingin beli apa-apa. Mau beli apa lagi? Di rumah Amara sudah ada semua? Bahkan semua itu Varo yang membelikan. Amara lebih memilih untuk ditabung saja uangnya. Mengingat nasib pernikahannya nanti seperti apa, dia siap-siap harus memiliki tabungan sebelum dia berpisah dengan Varo.
“Ya sudah kita ke cafe situ, ya?” ajak Amara.
“Oke, ayo kita ke sana.”
Amara dan Dewi langsung masuk ke sebuat cafe yang ada di mall itu. “Kamu duduk saja, Ra. Biar aku yang pesankan, kamu mau apa?” ucap Dewi.
“Aku mau Vanilla latte, sama cheese cake. Sini belanjaannya kamu, aku akan cari tempat duduk.” Amara mengambil alih belanjaan dari tangan Dewi, lalu dia berjalan mencari tempat duduk yang menurutnya nyaman.
Amara memilih tempat di sudut ruangan, tempat yang cukup bagus view nya, karena bisa melihat keluar jendela. Saat sedang menunggu Dewi memesan minuman, Amara mengedarkan pandangannya keluar melihat orang-orang yang berlalu lalang di luar cafe. Besok weekend, sudah pasti mall sangat ramai, tidak seperti biasanya.
Amara menajamkan pandangannnya, dia melihat sosok yang ia kenal. Hatinya sesaat sesak melihat orang itu. Alvaro yang ia kira sedang sibuk dengan pekerjaannya di luar kota, ternyata dia sibuk dengan wanita lain.
Amara melihat Alvaro sedang jalan dengan seorang wanita, dengan menggendong gadis kecil. Mereka terlihat sedang menuruni eskalator, wanita itu ada di sebelahnya menggamit lengan Alvaro. Benar-benar terlihat seperti keluarga yang sangat harmonis sekali.
“Jadi ini alasan kamu sampai sepuluh hari, dan ini alasan kamu yang tidak menghubungiku sama sekali di hari ini? Dari pagi bahkan kamu tak memberikan kabar, Mas,” batin Amara.
Amara masih menatap ke arah luar sana. Terus melihat Alvaro dan Cindi yang sedang berjalan. Mereka membeli es krim. Tak segan-segan Cindi menyuapi Alvaro Es Krimnya. Dan Alvaro menerimanya dengan tidak ragu sedikit pun. Benar-benar seperti keluarga yang sangat bahagia mereka. Amara sesekali menyeka air matanya. Dewi yang baru saja sampai di meja dengan membawakan pesanan, merasa ada yang aneh dengan temannya itu, tiba-tiba Amara sedang menangis.
“Ada apa, Ra? Kok kamu nangis?” tanya Dewi khawatir karena tiba-tiba melihat Amara yang menangis.
“Wi, sepertinya aku sudah tidak bisa melanjutkan semua ini. Aku tidak bisa, Wi, sungguh tidak bisa,” ucap Amara dengan terisak lirih. Tubuhnya sampai bergerta karena menangis.
“Ada apa? Kamu kenapa, Ra? Gak bisa lanjutin apa? Coba cerita pelan-pelan sama aku, biar aku tahu,” ucap Dewi, lalu ia duduk di samping Amara.
“Aku rasa, aku harus menyudahinya, Wi. Aku tidak bisa mempertahankan pernikahanku lagi, aku tidak bisa,” ucapnya dengan menatap kosong ke arah jendela. Hatinya sangat sakit, melihat pengkhianatan suaminya.
“Kamu kenapa? Apa kamu lihat sesuatu? Lihat suamimu?” tanya Dewi, dan dijawab dengan anggukkan kepala Amara.
“Mereka terlihat sangat bahagia sekali, Wi. Sangat serasi dan harmonis sekali,” ucap Amara sedih.
“Sudah, Ra! Gak usah dipikirin suami kamu yang brengsek itu! Kamu harus bahagia, Ra! Lupakan dia, untuk apa kamu bertahan kalau kamu disakiti begitu?!” ucap Dewi kesal.
“Iya aku akan lupakan dia,” ucap Amara.
“Sekarang kamu tunjukkan padaku, di mana suamimu tadi? Masih di sana? Aku akan beri dia pelajaran! Enak saja dia nyakitin sahabatku! Aku akan tendang burungnya yang kecil itu!” ucap Dewi dengan menggebu, dia terlihat begitu marah sekali.
Amara hanya bisa tertawa kecil melihat Dewi yang seperti itu. Dewi sengaja seperti itu, karena dia ingin menghibur Amara, supaya perasaan Amara kembali menghangat.
“Benar katamu, Wi. Nanti akan aku tendang burungnya yang kecil itu!” ucap Amara dengan terkekeh.
“Aku akan mendukung keputusan kamu, apa pun itu, Ra! Kalau kamu membutuhkan pengacara untuk mengurus perceraianmu, bilang saja padaku. Aku punya kenalan yang bisa membantumu,” ucap Dewi.
“Iya, nanti kalau sudah saatnya aku bilang. Aku akan pikirkan lagi. Aku juga ingin menenangkan diri dulu, Wi. Terima kasih, ya?” ucap Amara.
“Ya sudah yuk makan! Nanti aku antar kamu pulang saja, biar kamu gak naik taksi,” ucap Dewi dengan malahap cake pesanannya.
“Oke,” sahut Amara dengan menikmati cake nya juga.
Amara memang sengaja tidak bawa sepeda motor, karena dia sudah merencanakan untuk pergi nge-maal dengan Dewi sepulang kerja. Jadi dia tadi berangkat dengan naik ojek online.
Dewi mengantarkan Amara pulang. Tepat pukul sembilan malam mereka sampai di depan rumah Amara.
“Ini rumah kamu, Ra?” tanya Dewi dengan kagum melihat rumah mewah tepat di depannya. “Gak salah alamat kamu, Ra?” ulang Dewi.
“Iya ini rumah suamiku,” jawab Amara.
Dewi hanya menganggukan kepalanya saja. Dia bingung saja, dan tidak menyangka kalau suami Amara itu orang kaya raya, termasuk golongan konglomerat. Padahal hidup Amara jelas terjamin, akan tetapi dia malah memilih bekerja. Sejenak Dewi ingat kejadian beberapa minggu yang lalu, kejadian dengan Kakak Ipar Amara saat di tempat kerja, dan di Mall tadi, saat Amara melihat suaminya selingkuh. Dewi menyimpulkan kenapa Amara memilih bekerja, karena dia tidak tahu dengan nasib pernikahannya.
“Aku pulang, ya?” pamit Dewi.
“Iya, terima kasih, ya? Kamu hati-hati, kalau sudah sampai kabari aku,” ucap Amara.
Dewi menganggukkan kepalanya, namun ia mengurungkan niatnya untuk melajuka mobilnya.
“Ra, kalau suami kamu menyakitimu, kamu datang saja ke Apartemenku!” ucap Dewi serius, dan membuat Amara terkekeh, sekhawatir itu Dewi padanya.
“Oke, nanti aku kabur ka apartemen kamu, kalau suamiku menyakitiku!” ucap Amara. “Sudah sana pulang, nanti kemalaman!” titah Amara.
Setelah mobil Dewi pergi, dan tidak terlihat oleh pandangan Amara, Amara pun menghela napasnya berat. Ia mentaap rumah yang selam ini ia tinggali dengan suamianya. Semua itu akan jadi kenangan saat nanti dirinya akan bercerai dengan Alvaro. Amara masuk ke dalam rumahnya.
“Malam, Bu,” sapa satpam yang membukakan pagar untuknya.
“Malam, Pak,” jawab Amra.
Amara berjalan dengan cepat, karena melihat Bi Asih yang berdiri di teras, sepertinya sedang menunggu sesutau.
“Bi kok masih di luar? Kenapa belum tidur?” tanya Amara.
“Bibi gak tenang kalau ibu dan bapak belum pulang,” jawab Bi Asih.
“Memang bapak belum pulang?” tanya Amara.
“Belum, Bu. Kata ibu kan bapak masih belum bisa pulang dari dinas, karena pekerjaannya masih banyak?” jawab Bi Asih.
“Oh iya,” ucap Amara.
“Ya sudah, Bi. Masuk, aku juga mau istirahat,” perintah Amara.
Amara masuk ke dalam, ternyata suaminya lebih memilih perempuan itu dan anaknya, daripada dia pulang menemui istrinya.
“Aku ini istrimu, Mas! Harusnya kamu pulang dulu ke sini, kenapa kamu malah pulang ke rumah perempuan itu? Ah, aku sudah tidak mau peduli lagi! Amara, stop menangisi pria itu!Kamu harus bisa, Amara!” ucap Amara menyemangati dirinya.
lanjutttt terus donggg 💪🤗🤗🤗
Jangan sampai malah melakukan kesalahan kamu Varo.... itu final Amara buat gak akan maafin kamu yaa 🤨😡