Joko, seorang mahasiswa Filsafat, Vina adalah Mahasiswa Fisika yang lincah dan juga cerdas, tak sengaja menabrak Joko. Insiden kecil itu malah membuka jalan bagi mereka untuk terlibat dalam perdebatan sengit—Filsafat vs Sains—yang tak pernah berhenti. Vina menganggap pemikiran Joko terlalu abstrak, sementara Joko merasa fisika terlalu sederhana untuk dipahami. Meski selalu bertikai, kedekatan mereka perlahan tumbuh, dan konflik intelektual itu pun berujung pada pertanyaan yang lebih pribadi: Bisakah mereka jatuh cinta, meski dunia mereka sangat berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika ketidakpastian menjadi kepastian
Joko tidak bisa menepis pikiran tentang percakapan tadi. Setiap kali ia mencoba fokus pada tugas atau buku filsafat yang terbuka di meja, wajah Vina dan pertanyaan terakhirnya terus menghantui. “Kalau suatu saat gue berhenti gangguin lu, lu bakal kangen nggak?”
Sialnya, pertanyaan itu tak terjawab oleh Joko, dan itu membuatnya merasa... sedikit cemas. Joko bukan tipe orang yang mudah terbuka, apalagi soal perasaan. Dia lebih suka berbicara tentang hal-hal yang lebih abstrak, seperti eksistensialisme atau determinisme, daripada hal-hal yang melibatkan dirinya. Tapi Vina, dengan semua kecerdasannya, sepertinya tahu bagaimana cara mengacak-acak kenyamanannya.
Di kantin kampus, Joko duduk di sudut, mencoba menyelesaikan tugas makalah tentang Nietzsche. Tiba-tiba, suara riuh di sekitarnya mengganggu konsentrasinya. Dia menoleh dan menemukan Vina duduk tepat di depannya, memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Lu kelihatan serius banget. Lagi mikirin dunia atau mikirin sesuatu yang lebih berat?” tanya Vina sambil menyeruput es teh manisnya, tidak peduli dengan buku-buku yang berserakan di meja Joko.
Joko mengerutkan kening, masih ragu apakah dia harus menjawab atau tetap diam. “Gue mikirin soal hidup, tentang eksistensi. Tentang kenapa orang-orang sibuk mencari tujuan padahal bisa aja semuanya cuma kebetulan.”
“Ah, jangan mulai deh.” Vina melambaikan tangannya. “Gue udah tahu, Joko. Lu pasti ngomongin sesuatu yang bikin gue bingung lagi.”
Joko melirik Vina, merasa sedikit kesal dengan sikap santainya, tapi juga entah kenapa dia merasa ada yang berbeda. Mungkin karena Vina sudah mulai tahu cara menghadapi dia, atau mungkin dia yang mulai terpengaruh oleh Vina.
“Lu nggak pernah mikir soal itu?” tanya Joko, agak cemas.
Vina mengangkat bahu. “Kadang mikir, tapi gue lebih suka cari tahu hal-hal yang lebih konkret, yang bisa gue buktikan. Nggak mau terjebak dalam pemikiran yang nggak ada ujungnya.”
“Dan itu kenapa lu nggak mau paham soal filsafat,” balas Joko, sedikit kesal.
“Filsafat itu terlalu abstrak, Jok. Kadang kita butuh jawaban yang lebih nyata. Kalau lu terus berpikir kayak gitu, lu cuma bakal terus muter-muter tanpa tahu kemana.”
Joko terdiam, merasa tersudutkan. Tapi sebelum dia sempat merespons, Vina tersenyum lebar.
“Eh, ngomong-ngomong, gue mau ngajak lu ke acara kampus malam ini. Ada pameran fisika, loh. Gue jadi panitia, dan... ya, gue pikir lu butuh keluar dari dunia filsafat sesaat. Lagian, siapa tahu lu bisa nemuin hal baru yang menarik.”
Joko memandangnya, agak ragu. “Lu serius? Gue harus ngapain di pameran fisika?”
“Gue nggak tahu. Mungkin bisa berdiri di sana sambil terlihat bingung kayak biasa?” Vina menyeringai. “Atau kalau lu mau, gue kasih penjelasan dari sisi fisika. Kita lihat siapa yang lebih paham.”
Joko merasa sedikit kesal, tapi di sisi lain, dia tahu kalau menolak ajakan Vina kali ini mungkin cuma akan membuat hubungan mereka semakin aneh. Akhirnya, dengan terpaksa, dia mengangguk.
“Oke deh, gue ikut. Tapi ingat, kalau nanti lu ngomong soal teori relativitas, gue bakal bawa buku Kant buat ngelawan,” kata Joko, mencoba terlihat santai meskipun di dalam hatinya sedikit merasa cemas.
Vina tertawa keras. “Deal! Tapi gue yakin, kalau gue mulai ngomong soal Einstein, lu bakal lebih bingung dari gue.”
Malam itu, Joko merasa aneh berada di tengah keramaian pameran fisika. Semua orang terlihat serius membahas eksperimen dan teori, sementara Joko hanya berdiri di sana, dengan buku filsafat di tangan, merasa seperti orang asing di dunia yang tidak dia pahami. Vina terlihat asyik dengan teman-temannya, berbicara dengan penuh semangat tentang berbagai penemuan fisika yang dia anggap menarik.
Joko menghela napas dan melangkah mendekat, mencoba untuk sekadar ikut serta. Namun, setiap kali Vina menjelaskan sesuatu, dia merasa semakin tersesat dalam penjelasan rumit tentang teori-teori fisika yang tak bisa dia pahami.
“Joko, lo harus dengerin ini. Ini menarik banget!” kata Vina, sambil menunjuk papan tulis besar yang dipenuhi rumus-rumus.
Joko hanya menatapnya dengan mata yang kosong. “Vin, lo ngerti nggak sih kalau ini semua bikin gue makin pusing?”
Vina tertawa. “Gue tahu, gue tahu. Tapi lihat deh, kalau kita bisa nemuin teori fisika yang bisa menjelaskan filsafat, kita bisa ngalahin semua ilmuwan di dunia!”
Joko memutar matanya. “Lu emang suka banget bikin segala sesuatu jadi lebih rumit ya.”
Vina tersenyum, lebih lebar dari sebelumnya. “Karena hidup itu rumit, Jok. Kalau kita nggak coba ngerti, kita cuma bakal jadi orang yang nggak peduli.”
Joko menatapnya, dan untuk pertama kalinya, dia merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa kesal atau kebingungan. Ada sesuatu yang hangat yang mulai tumbuh di dalam dirinya, meskipun dia masih bingung apakah itu sekadar rasa ingin tahu atau... sesuatu yang lebih.