Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29 : Meraih kalian berdua
Kaki Ara masih bergoyang-goyang cemas menunggu Liana keluar dari kamar tempat Saka terbaring. Devin duduk di seberangnya. Melihat Ara yang masih memakai kaos basah itu membuatnya merasa tidak enak.
Untung kaos Ara hitam dan tebal. Kalau putih dan transparan kan...Devin menampar pipinya sendiri.
"Aku ada kaos, ganti baju dulu sana. Kamu bisa masuk angin kalau pakai baju basah begitu." katanya demi mengusir pemandangan aneh-aneh di kepala Devin.
"Nggak usah, makasih. Ini bentar lagi juga kering. Kita di pinggir pantai, kain akan mudah kering kalau mataharinya cerah."
Devin menyunggingkan senyum di sudut bibirnya sedangkan Ara masih terlihat cemas. "Dia akan baik-baik saja. Tenanglah. Kakimu berisik."
Ara menghentikan hentakan kecil di kakinya. Dia memandang Devin dengan tatapan jengkel.
"Kalau tadi kita terlambat sebentar saja, kakakmu bisa meninggal. Bisa-bisanya kamu ninggalin dia."
"Kan ada kamu." Devin santai membela diri. Devin selalu punya keyakinan bahwa kakaknya itu ajaib. Berkali-kali jatuh bisa bangun lagi.
Ara mendesis. Devin menjauh satu meter.
Liana membuka pintu kamar, Devin membantu mendorong kursi rodanya dan menutup pintu kamar. Ara segera menghampiri Liana saking cemasnya.
"Mas Saka gimana, Bu?"
Liana tersenyum melihat Ara. Tidak menyangka perempuan yang ingin menolongnya justru malah menolong anaknya sendiri.
"Saka baik. Dia lagi istirahat sekarang."
"Beneran, Bu? Tadi...tadi dia..." Ara mengisyaratkan darah menetes dari hidungnya
"Saka memang kadang-kadang begitu kalau lagi capek, demam tinggi, atau ketakutan berlebihan. Hidungnya sensitif. Tapi nanti sembuh sendiri."
"Takut berlebihan? Karena apa?"
"Ibu juga belum tahu, nanti kita tanya kalau dia sudah bangun."
"Dia pernah cerita kalau takut sama air yang banyak, seperti lautan. Apa dia takut dengan itu sampai-sampai jatuh ke air?"
Liana mendesah pelan. "Tidak. Bukan. Ibu rasa ada yang lain. Tadi pas duduk di sebelah ibu, dia nggak apa-apa, nggak begitu takut."
"Kakakku mimisan gara-gara ketemu kamu, Capar. Hayoloh, tanggung jawab." Devin masih sempat-sempatnya menggoda Ara.
Ara tercenung. Hal terakhir yang dia ingat sebelum Saka jatuh ke air adalah, Saka menoleh ke arahnya dan mereka saling tatap selama beberapa saat. Apakah itu artinya Saka ketakutan ketika melihat Ara? Ara bergidik. Bukannya kebalik? Ara yang takut melihat Saka. Bukan sebaliknya.
"Kamu ada baju ganti? Ibu lihat kamu berkemah di pinggir pantai. Kalau ada, ganti baju saja dulu...kalau nggak ada..."
"Devin tadi udah nawarin, Bu, tapi dianya nggak mau." Devin berkata sambil mengupas kulit kacang.
"Ara, terima kasih udah nolong Saka. Dia akan baik-baik saja. Ibu jagain. Kamu bisa kembali ke tenda kamu. Ganti baju biar kamu juga nggak sakit."
Ara mengangguk pelan. Kuku-kuku jarinya masih dia jentik-jentikkan bertautan pertanda kecemasan masih melanda hatinya.
Liana menyentuh tangan Ara yang terlihat masih bergetar. Sentuhan yang hangat itu memberikan ketenangan.
"Ke sinilah lagi kalau kamu mau jenguk dia nanti. Ibu juga pengen ngobrol sama kamu."
Devin tersenyum jahil sambil melirik Ara. Ara pamit sambil membungkuk. Mendapat penantian dari ibunya Saka seperti ini membuat hatinya ikutan bergetar.
Ara berjalan cepat kembali ke tenda. Wajah Liana yang lembut dan tenang membuat Ara merasa rindu dengan Mamanya. Mama Sarah selalu bermuka galak, namun hatinya juga selembut ibunya Saka.
Ara berhenti di depan pintu tenda bilik Mahesa.
"Mahesa! Ini sudah siang, kamu nggak mau keluar dari situ?"
Tidak ada jawaban dari Mahesa.
"Hey, aku masih menghargai privasimu loh. Ayo jawab. Sebelum aku maksa masuk."
Lagi-lagi tidak ada jawaban dari dalam tenda. Ara mulai cemas. Tanpa pikir panjang lagi dia membuka resleting tenda dan menemukan Mahesa masih meringkuk sambil menggigil.
"NAH KAN!! APA KUBILANG!" Ara berdecak gemas sambil mengusap dahi Mahesa. "Kamu demam, Mahes."
Ara masuk ke tenda sambil membuka selimut yang menutupi tubuh Mahesa. Ara mengambil air mineral dan mencoba membangunkan tubuh Mahesa.
"Mahesa Baja Hitaaam, kamu beraaat. Kebooo. Bangun dulu, kamu harus minum biar nggak dehidrasi."
Mata Mahesa membuka sedikit. Wajahnya dan bibirnya pucat. "Ara...kalau aku mati..."
"DIAM!!"
Ara mengeluarkan seplastik roti sobek dan sebutir obat penurun panas.
"Makan roti ini sedikit habis itu obat ini, habis itu minum yang banyak. Kamu bisa?"
"Suapin." Mahesa merajuk. Ara melenguh.
Ara membuka plastik roti dan menyuapi Mahesa sampai habis satu sobek roti. Ara menyerahkan obat ke tangan Mahesa. "Yang ini aku nggak bisa suapin. Jangan tidur dulu. Tunggu aku sebentar ya."
Ara bergegas masuk ke bilik sebelah untuk berganti baju dan celana. Sebentar kemudian dia sudah keluar dan menggandeng tangan Mahesa untuk keluar dari tenda.
"Kamu nggak bisa di sini terus kalau lagi sakit. Tenda ini akan terasa panas. Pindah dulu ya."
"Ke...ke mana...jangan ke neraka...aku mau masuk surga..." Mahesa bertanya sambil keluar dari tenda dengan susah payah.
"Iya ke surga. Naik delman istimewa."
Ara menopang sebelah tangan Mahesa dan merangkulkannya di bahunya. Mahesa tidak bisa banyak menolak karena seolah-olah badannya sudah melayang tak menjejak bumi. Setengah sadar.
Ara merasa dejavu. Dulu Saka, sekarang Mahesa. Para pria ini kenapa demen semaput, sih?
Devin membukakan pintu depan yang diketuk dengan muka melongo. Dia melihat Ara yang badannya langsing bisa memboyong seorang laki-laki kebo di pundaknya??
"Maaf, temenku lagi sakit. Aku nggak bisa membiarkannya tidur di tenda. Boleh dia istirahat di sini sebentar? Di sofa juga nggak apa-apa. Yang penting dia nggak kena panas. Dia sudah minum obat kok, cuma perlu tempat yang lebih baik aja daripada tendaku..."
Ara menatap Devin dengan tatapan memelas. Pria mana yang tega menolak jika ditatap begitu ya kan?
"Masuklah."
...* * * * *...
Devin merengut di depan kamar sambil bersedekap. "Trus nanti Devin tidur mana, Bu?"
"Sofanya empuk kok." Liana tersenyum sampai matanya tinggal segaris.
Ara merasa bersalah karena Mahesa malah disuruh tidur di kamar, di sebelah tempat tidur Saka, yang tadinya tempat tidur Devin.
"Biar Ara aja yang tidur di Sofa, Bu. Sekalian jagain mereka berdua." kata Ara meyakinkan Liana.
"Deal!" Devin secepat kilat masuk ke kamar di atas loteng lalu menutup pintu. Walaupun kecil, Devin lebih memilih kamar ini daripada sofa.
Liana geleng-geleng kepala melihat Devin yang berubah jadi anak umur sepuluh tahun jika sedang bersama ibunya.
"Ibu kalau mau istirahat, silakan saja." Ara masih melihat satu kamar lagi dengan pintu terbuka.
"Kamu sudah makan, Ara?"
Ara menggeleng sambil nyengir. Perutnya sudah berkali-kali berkeruyuk ria. Liana tersenyum.
"Masih ada roti bakar sarapan tadi pagi. Makanlah."
Liana memberikan sepiring roti bakar dari meja. Ara menerimanya dengan senang hati.
"Terima kasih. Ini ibu yang bikin?"
"Bukan. Saka yang bikin."
"Oh. Wow."
Liana merasa tenang ketika melihat Ara makan dengan lahap. Dia paling tidak tega melihat seorang anak kelaparan.
"Kamu sudah lama kenal sama Saka?" tanya Liana.
"Belum lama. Belum ada satu bulan."
Liana tersenyum lagi. Entah kenapa dia bisa banyak tersenyum ketika bersama Ara. Liana merasa anak itu lucu dan menyenangkan. Hanya dengan melihat cara makannya saja bisa membuat Liana tersenyum geli.
"Maaf saya sudah merepotkan. Kalau Mahesa sudah lebih baik, nanti atau besok kami pulang."
"Tidak apa-apa. Orang sakit mana ada yang tahu kapan datangnya kan." Liana mengelus kakinya sendiri. "Ibu mau ke kamar dulu ya. Kalau ada apa-apa bilang saja."
Ara mengangguk pelan lalu bangkit berdiri membantu Liana mendorong kursi rodanya.
"Ini udah biasa. Nggak apa-apa." kata Liana.
"Ara nggak tahu harus berterima kasih dengan cara apa. Jadi, sementara Ara cuma bisa bantu ibu dorong kursi. Lain kali Ara belikan sesuatu."
Liana tertawa pelan. "Itu artinya kamu harus ketemu lagi sama Ibu ya."
Ups...apakah aku sudah salah bicara? Ara tertawa samar sambil menutup mulutnya.
Sepeninggal Liana, Ara kembali ke kamar untuk mengganti kompres Mahesa. Demamnya masih belum turun. Mungkin masih perlu sekali atau dua kali minum obat lagi.
Ara menghela nafas panjang. Kini dia duduk di tengah-tengah tempat tidur ukuran single bed itu. Ara menyelonjorkan kedua kakinya di lantai.
Ara menatap Saka dan Mahesa bergantian. Dia bergumam dalam hati. *Bisa-bisanya kalian berdua sakit bersamaan gini, tidur di ruangan yang sama pula. Tapi syukurlah kalian bisa berdampingan begini pas lagi tidur. Coba kalau pas bangun, nggak tahu ya. Cepet sembuh ya kalian berdua*.
Baru saja Ara mau meregangkan tangan dan kaki, Mahesa mulai mengigau sambil menggapaikan tangannya ke udara. Entah sedang ingin meraih apa. Ara menangkap tangan Mahesa dengan tangan kirinya agar tangan itu tidak ke mana-mana.
Mahesa sudah tenang, tiba-tiba Saka memutar badannya hingga dalam posisi miring kemudian mengigau juga seperti sedang bermimpi buruk.
Ara meraih dahi Saka dan mengelus kerutan di antara kedua alisnya agar dia tenang. Kebiasaan ini Ara dapatkan dari kakeknya ketika dia masih kecil dulu.
Untungnya dua tempat tidur ini letaknya tidak berjauhan sehingga Ara bisa meraih keduanya secara bersamaan.
Tanpa disangka tangan Saka malah menggenggam tangan Ara dan menaruhnya di depan dahi. Ara ingin melepaskan genggaman itu tapi tidak bisa. Saka masih mengigau dan ketika menggenggam tangan Ara, igauan Saka berhenti. Ara jadi tidak tega melepaskannya.
Demi ketenangan, kedamaian, serta kesembuhan mereka berdua, jadilah kedua tangan Ara terentang di dua arah. Tangan Saka dan Mahesa. Ara menoleh ke kanan dan ke kiri seperti orang linglung.
Apa yang sedang aku lakukan?! Jerit Ara dalam hati.