Setelah bertahun-tahun berpisah, hidup Alice yang dulu penuh harapan kini terjebak dalam rutinitas tanpa warna. Kenangan akan cinta pertamanya, Alvaro, selalu menghantui, meski dia sudah mencoba melupakannya. Namun, takdir punya rencana lain.
Dalam sebuah pertemuan tak terduga di sebuah kota asing, Alice dan Alvaro kembali dipertemukan. Bukan kebetulan semata, pertemuan itu menguak rahasia yang dulu memisahkan mereka. Di tengah semua keraguan dan penyesalan, mereka dihadapkan pada pilihan: melangkah maju bersama atau kembali berpisah, kali ini untuk selamanya.
Apakah takdir yang mempertemukan mereka akan memberi kesempatan kedua? Atau masa lalu yang menyakitkan akan menghancurkan segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alika zulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bersinergi Dalam Ketidakpastian
“lah, iyakan? Emang gitu kan harusnya?” sahut Zara, sedikit bingung.
“tapi kan tadi aku lagi makanin Arsya, Ra. Lagian, juga aku ngga ngijinin Ibu ngelakuin aktivitas di rumah selain masak. Kamu tau sendiri alasanku, kan? Aku mau Ibu yang masak,” Alice menjelaskan. Suaranya terdengar kesal, tapi matanya mulai berkaca-kaca.
“emang apa alasannya?” tanya Zara, menatap wajah kakaknya melalui spion motor.
“kamu tau, Ra, setiap orang yang kehilangan ibunya, hal yang paling dirindukan itu senyuman, omelan, dan masakan ibunya. Itu alasan aku yang selalu mau Ibu yang masak. Bukan berarti aku gak mau masak, cuman... nanti suatu saat kita ga akan ngerasain itu lagi,” terang Alice, suaranya bergetar, mencerminkan perasaannya yang dalam.
Zara terdiam, meresapi kata-kata kakaknya. “iya sih, kak,” sahutnya pelan, merasa bingung harus di pihak mana. Ia ingin mendukung kakaknya, tapi juga tidak ingin membuat suasana semakin berat.
“aku cuma berharap, setiap momen kita bersama Ibu bisa diingat dengan baik. Karena, hidup ini terlalu singkat untuk kita sia-siakan dengan hal-hal sepele,” tambah Alice, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah. Zara mengangguk, menyadari betapa pentingnya momen-momen itu.
Tak terasa, waktu magrib hampir tiba. Alice sedang memarkirkan motornya di halaman rumah ketika ia melihat Ibu dan Bapak sambungnya tengah duduk santai di teras.
"Beli apa?" tanya Arini, memandang dengan senyuman cantiknya.
Zara antusias menunjukkan begitu banyak belanjaan yang dibeli kakaknya. "Nih, banyak kan, Bu?" ucap Zara, meletakkan belanjaan itu di meja dan pergi ke dapur mengambil piring.
Ibu mereka, Arini, yang memahami sifat anaknya, tahu Alice sedang tidak mood, namun ia hanya diam menatap Alice yang duduk di sampingnya.
"Gimana teman kamu, Al?" tanya Harmadi, yang juga tengah santai duduk.
"Katanya sih udah mendingan, tapi kalau dilihat masih butuh bantuan. Soalnya tangan dia masih pakai perban, makan juga masih menggunakan tangan kiri," sahut Alice menerangkan keadaan Alvaro yang masih di rumah sakit.
"Terus, yang ngejaga nanti malam siapa?" tanya Arini.
"Enggak ada yang jaga. Abang sih mau aja jaga, cuman Alvaro nolak. Katanya dia enggak nyaman ngerepotin abang. Dia bilang abang pasti capek habis pulang kerja harus ngurusin dia," sahut Alice, sedikit mengeluh.
"Kenapa enggak kamu yang jaga?" tanya Harmadi.
"Yang jaga Arsya sama Zara siapa?" tanya Arini, menatap suami dan anaknya bergantian.
Kini Zara ikut bergabung. "Bukan nya kakak Alvaro masuk rumah sakit karena kakak? Ya?" tanya Zara sambil menyuap beberapa makanan ke mulutnya.
Alice, Ibu, dan Bapak hanya terdiam, terhanyut dalam pikiran masing-masing. Momen itu semakin berat, seperti suasana yang menggantung di antara mereka. Alice merasa terjebak dalam kebingungan dan tanggung jawab, sementara Zara berusaha mencari cara untuk meredakan ketegangan yang ada.
"Coba kakak telpon Kak Alvaro, gimana keadaannya sekarang," ucap Zara, memecah lamunan Ibu dan Bapak sambungnya.
“Emm, Ibu aja lah yang telpon,” sahut Alice, berusaha menghindari tanggung jawab itu.
“Kamu aja, Al. Kalau Ibu yang nelpon, dia pasti nggak jujur, pasti nutup-nutupin keadaannya,” sahut Arini, yang diangguki suaminya, Harmadi.
“Justru, kakak. Kalau kamu yang telpon, dia akan lebih terbuka. Kalian kan sahabat, pasti dia lebih nyaman bicara sama kamu,” Zara mendorong.
Alice menghela napas, merasa tertekan. “Baiklah, aku coba telpon. Tapi kalau dia mulai ngeles, aku langsung tahu,” ujarnya sambil meraih ponselnya.
g pa" belajar dari yg udah berpengalaman biar bisa lebih baik lg, sayang lho kalo ceritanya udah bagus tp ada pengganggu nya di setiap part nya jd g konsen bacanya karna yg di perhatiin readers nya typo nya tanda petik koma titik tanda tanya selain alur cerita nya
bu, aku minjem ini, ya," dan masih bnyk kalimat yg tanda titik baca komanya g sesuai thor