Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Setibanya di butik, langkah ku dan Sumi tergesa-gesa. Kami baru saja menyelesaikan makan siang dan kini harus menghadapi klien yang telah menunggu sejak kemarin. Aku memeriksa penampilanku sebentar di cermin, memastikan bahwa riasan dan busanaku sempurna.
Saat pintu butik dibuka, seorang wanita paruh baya dengan postur tubuh yang anggun menyambut mereka dengan senyum lebar.
"Selamat datang kembali, ibu Rania," ucapnya, sambil mengulurkan tangan.
"Mohon maaf telah menunggu, Ibu dewi," balas ku sambil berjabat tangan. Sumi, yang berdiri di sampingku, hanya tersenyum sopan.
Aku dan Sumi segera membahas mengenai gaun yang diinginkan oleh Ibu Dewi. Perbincangan kami berlangsung cukup lama karena ternyata Ibu Dewi memiliki banyak keinginan yang ingin dipesan.
Sembari berdiskusi, di benakku muncul pertanyaan, "Apakah semuanya akan berjalan dengan lancar? Bagaimana jika nanti ada masalah dalam proses pembuatan gaun ini?" Setelah merasa yakin dengan semua keputusan yang telah dibahas, akhirnya kami pun sepakat untuk melanjutkan.
"Semoga kerja sama kita ini membawa hasil yang baik, ya Ibu Dewi," ucapku sambil menatap matanya, mencoba mengekspresikan semangat yang mendalam.
Kami pun berjabat tangan sebagai simbol persetujuan kerja sama tersebut. Merasa cukup puas dengan hasil pertemuan itu, Ibu Dewi pun berpamitan untuk segera pulang.
Aku bisa merasakan lega di hati, seolah-olah beban besar telah terangkat dariku. "Semoga saja nantinya gaun tersebut bisa memuaskan Ibu Dewi dan semua orang yang melihatnya," batin ku dengan harapan yang tinggi.
Kami berjalan menuju pabrik pembuatan beberapa gaun dan pakaian hasil rancanganku, Sumi berbisik kepada ku, "Hei, Rania, kamu kenal Ibu Maya?"
Aku tertawa kecil, "Hehehe, ada deh, memangnya kenapa?"
"Tadi aku sempat dengar Ibu Maya sedang telepon, katanya kekasih kamu itu hebat dan sangat cerdas," ujar Sumi, rasa ingin tahu terpancar dari matanya.
Aku hanya mengedikkan bahu, seraya berkata, "terus apa hubungannya denganku?"
"Siapa tau yang di maksud itu kamu, ran?" goda Sumi, sambil mengejekku.
Aku langsung tersentak, merasa kesal, tapi juga malu. "Gak ih!" jawabku, mencoba mengalihkan perhatian.
"Idih, langsung salting aja," balas Sumi sambil tertawa kecil.
Aku benar-benar malu dan ada rasa aneh aneh, tapi tak ingin menunjukkan rasa saltingku pada Sumi. Kita memang sahabat, tetapi kadang Sumi terlalu jauh dalam menggoda.
"Sssst, kita fokus, Sumi," tegurku dengan nada serius, berusaha mengendalikan rasa bercandaku dan tidak terpancing oleh tingkahnya.
"Iya, Ran, iya," sahut Sumi sambil meringis, sepertinya dia tahu kalau aku benar-benar salah tingkah.
Terkadang, aku hanya ingin berbicara dengan Sumi tentang apa yang sedang terjadi dalam hidupku dan mengharapkan dukungannya sebagai sahabat.
Namun, rasa malu dan takut terhadap penilaian terkadang membuatku memilih untuk bungkam, menutup rapat perasaan ku yang aneh.
Aku kemudian duduk menghadap Sumi yang sudah menyiapkan beberapa dokumen di atas meja. Diskusi tentang desain dan kain untuk koleksi terbaru butik itu pun dimulai. Aku dengan cekatan menjelaskan konsepnya, sementara Sumi mencatat setiap detail penting.
Di tengah pembahasan, aku sesekali menangkap Sumi yang masih terlihat penasaran. Namun, dengan profesionalisme, aku mengalihkan seluruh perhatian dan energinya pada beberapa orang kepercayaanku yang dihadapiku menunjukkan dedikasi dan keahliannya dalam dunia mode.
Sudah cukup lama aku dan Sumi berada di dalam pabrik, membahas berbagai hal dan mengamati jahitan yang mereka buat. Tiba-tiba, salah satu karyawan menghampiriku, "Ibu Rania, ada Pak Adnan di depan.
"Sontak saja aku merasa terganggu, "Bilang saja aku sibuk," jawabku.
Namun karyawan itu tampak khawatir, "Tapi Bu, dia sangat maksa, dan katanya dia akan mengobrak-abrik butik kalau Ibu Rania tidak mau menemui Pak Adnan," jelasnya dengan wajah cemas.
Aku pun berdecak kesal dan bergumam dalam hati, "Dasar gila.""Lalu aku memutuskan untuk menghadapinya, "Ya sudah, nanti aku ke sana," seruku dengan nada kesal.
"Baik, Ibu," sahut karyawan tersebut dengan tunduk hormat.
Aku menghela nafas sejenak sebelum berbicara pada Sumi, "Sum, aku ke butik dulu ya. Kau lanjutkan saja dulu urusan di sini.
"Sumi mengangguk, "Oke, hati-hati ya." Membayangkan pertemuan dengan Pak Adnan, perasaanku sudah mulai resah.
"Apa yang ingin dia bicarakan? Kenapa dia begitu mendesak untuk bertemu?" Gumamku dalam hati, mencoba mempersiapkan diri menghadapi apapun yang mungkin terjadi.
Dari rumah ke pabrik cukup jauh, oleh karena itu aku harus mengendarai sepeda motor agar bisa sampai di butik lebih cepat. Saat tiba di sana, aku melihat Adnan yang sedang bergaya sok cool, melihatnya membuat perasaanku bercampur aduk.
"Kenapa dia tampil begitu? Apakah ia ingin menggodaku lagi?" gumamku kesal.
Memang, Adnan masih suamiku, namun cinta yang dulu ada kini hilang karena dia tak setia padaku, bahkan berselingkuh sudah jalan dua tahun, lebih parahnya Sandra sedang hamil anaknya.
Tanpa basa-basi, aku mendekatinya dan bertanya, "Ada apa?"
Adnan tampak gugup, "Ran, aku tidak mau kehilanganmu. Tetaplah menjadi istriku, dan ibu dari anakku," serunya.
Mendengar itu, hatiku terasa tersayat, "Dan itu hanya mimpi," jawabku sinis sambil melangkah pergi.
Entah apa yang ada dalam pikiran pria itu, tapi yang jelas, aku tak mungkin kembali bersama seseorang yang telah menghancurkan kepercayaanku.
"Kenapa mimpi,ram? Aku masih mencintaimu," ucap Adnan, mencoba meraih tanganku.
Namun, aku segera menepis tangan itu. "Hahaha... Cinta? Makan tuh cinta!" seruku kesal, hati terluka.
"Kamu kenapa sih, Ran?" tanya Adnan heran, seolah tak mengerti.
"Kamu tanya aku kenapa? Adnan, kamu pernah melihat dirimu di cermin? Sudahkah kamu melihat apa yang kamu lakukan ke aku?" ujarku, air mata menggenang, menguasai rasa sakit dalam hati.
"Aku kan sudah bilang aku khilaf, dan aku akan memilih kamu daripada Sandra," tukasnya, dengan nada berbicara yang penuh dengan penyesalan
Aku mengejek Adnan dengan seringaian sinis, "Udahlah, kubur saja keinginanmu itu, Adnan. Nikahin saja Sandra, bukankah dia sedang hamil anakmu?"
Dalam hati, aku merasa seperti ditusuk duri, kenangan manis bersama Adnan kini berubah menjadi kenangan pahit yang sulit kubuang.
"Hamil?" Adnan terkejut.
"Gak usah sok gak tahu, kamu! Selamat ya atas kehamilan selingkuhan kamu itu. Dan satu lagi, tunggu kedatangan gugatan cerai ku!" seruku tajam, meluapkan kekesalanku.
"A-apa! Kamu bercanda kan, Rania?" Adnan terlihat syok dan tidak percaya.
"Untuk apa aku bercanda? Gak guna juga aku bercanda, Adnan!" balasku dengan nada ketus. Sungguh, perasaanku campur aduk saat itu, antara marah, kecewa, dan tak terima.
Adnan menatapku tajam, lalu berkata dengan nada sinis, "Oh, apa kamu sudah pernah tidur dengan pria selingkuhan kamu itu? Jadi, kamu sudah berani mau cerai dariku?"
Plak! Tanpa sadar, tangan kananku menghempaskan ke pipinya.
"Punya mulut itu dijaga! Aku bukan kamu yang mau tidur dengan perempuan yang bukan muhrim!" Suaraku bergetar saat kutegaskan perbedaan antara kami. Betapa benci dan sakitnya aku pada dirinya, yang berani melukai dan mengkhianatiku begitu saja.
******