Pondok pesantren?
Ya, dengan menempuh pendidikan di Pondok Pesantren akan memberikan suatu pengalaman hidup yang berharga bagi mereka yang memilih melanjutkan pendidikan di pondok pesantren. Belajar hidup mandiri, bertanggung jawab dan tentunya memiliki nilai-nilai keislaman yang kuat. Dan tentunya membangun sebuah persaudaraan yang erat dengan sesama santri.
Ina hanya sebuah kisah dari santriwati yang menghabiskan sisa waktu mereka di tingkat akhir sekolah Madrasah Aliyah atau MA. Mereka adalah santri putri dengan tingkah laku yang ajaib. Mereka hanya menikmati umur yang tidak bisa bisa mendewasakan mereka.
Sang Kiyai tak mampu lagi menghadapi tingkah laku para santriwatinya itu hingga dia menyerahkannya kepada para ustadz mudah yang dipercayai mampu merubah tingkah ajaib para santri putri itu.
Mampukah mereka mengubah dan menghadapi tingkah laku para santri putri itu?
Adakah kisah cinta yang akan terukir di masa-masa akhir sekolah para santri putri itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEBUAH FAKTA
Malam harinya, suasana pondok begitu riuh untuk mempersiapkan acara yang ada setiap tahunnya yaitu acara pentas seni. Acara ini akan memberikan kesempatan kepada setiap santri yang tentunya memiliki bakat yang terpendam khusunya.
Tak ada kegiatan apapun setelah pengumuman acara itu, mereka hanya berlalu lalang di halam masjid. Berlarian dan masih banyak lagi, waktu seperti ini harus benar-benar dinikmati sebaik mungkin karena sangat jarang mereka dapatkan.
Tidak terkecuali Adira dkk, mereka tidak meninggalkan tempat mereka. Didalam masjid bagian santri putri mereka duduk melingkar, masing-masing pada kitab suci Al-qur’an mereka. Mereka sedang fokus menghafal.
Namun, didepan sana. Bagian saf santri putra, ada Agra dkk yang melihat Adira dkk yang sedang menghafal.
“Mereka memangnya bisa menghafal dengan cara seperti itu? Apa itu tidak saling menganggu?” Tanya Bima sedikit heran.
Benar, biasanya orang yang sedang fokus menghafal akan memilih memisahkan diri dari keramain agar tetap fokus namun anak manusia satu itu sedikit berbeda rupanya. Mereka malah duduk melingkar dan terlihat sangat fokus dengan kegiatan hafalan masing-masing.
“Bisa, tuh buktinya. Mereka bahkan terlihat sangat fokus dan tidak merasa terganggu.” Jawab Abraham menunjuk dagunya kearah Adira dkk.
“Semakin mengenal mereka, semakin banyak hal yang membuat ana terheran-heran dengan mereka itu.” Ucap Bima. Benar, mereka baru mulai mengenal satu sama lainnya.
“Assalamu’alaikum, kalian sibuk?”
Sontak keempat ustadz muda itu menoleh kesamping tepat disebelah Abyan. Membuat mereka tersenyum, dan bergantian mencium punggung tangan kiyai Aldan.
“Kiyai, wa’alaikum salam.” Jawab Abyan. Disusul yang lainnya.
“Duduk kiyai, kami tidak sibuk kok.” Jawab Abraham. Memberi ruang kepada kiyai Aldan untuk bergabung dengan mereka.
Kiyai Aldan duduk tepat didepan mereka berempat, membelakangi para santri putra dan putri yang sibuk dengan kegiatan masing-masing.
“Alhamdulillah, saya ingin menyampai kan satu hal kepada kalian.” Jelas kiyai Aldan. Meletakkan sorbannya didepannya lalu menatap ustadz muda itu.
“Proses pembangunan rumah pembina itu sudah hampir rangkup, dan kemudian bisa ditempati. Jika rumah itu sudah selesai dibangun, adakah alasan kalian untuk membawa istri kalian tinggal serumah? Tidak mungkin kalian akan terus tinggal terpisah.” Lanjutnya dengan pelan.
“Hanya satu alasannya kiyai, menjadikan mereka santri khusus agar para santri yang lainnya tidak menaruh curiga.” Jawab Abraham.
“Benar, namun jika mereka tidak melakukan kesalahan yang bisa menjadikan mereka santri khusus bagaimana?” Tanya kiyai Aldan lagi.
“Kami bisa menunggu kiyai, mereka itu tidak akan pernah berhenti jika tak memiliki niat dari diri sendiri untuk berubah.” Kali ini Abraham yang menjawab.
Kiyai Aldan kembali bersuara. “Mmm benar, menjadikan mereka santri khusus dalam jangka waktu yang panjang jelas akan menimbulkan pertanyaan dari yang lainnya bukan?”
“Na’am kiyai, untuk urusan itu kami bisa memikirkannya. Namun, terlebih dahulu sebaiknya memikirkan cara bagaimana membawa mereka tinggal bersama ka… aaa maksudnya tinggal bersama pasangannya masing-masing.” Kali ini Bima yang angkat suara.
Kiyai Aldan kembali bersuara. “Baiklah, namun nak… pernikahan kalian sudah diketahui oleh santri putra yang berada dibawah binaan mu Agra.”
“Maksudnya kiyai?” Tanya Agra setelah lama diam. Ada yang tahu pernikahan mereka? Siapa santri putra itu?
Mereka sibuk menerka-nerka siapa santri putra yang mengetahui pernikahan mereka? Dan juga bagaimana mereka mengetahuinya sedangkan pada malam akad itu tak ada satu pun santri yang berlalu lalang pada malam itu.
“Mereka adalah… seorang yang sebelumnya dekat dengan istri kalian.” Jawab kiyai Aldan dengan tenang.
xxx
Agra tetap ditempatnya menatap Adira dengan lekat, perkataan kiyai Aldan terus saja menghantui pikirannya. Kiyai Aldan hanya memberitahu jika santri putra itu berada dibawah binaannya dan kiyai Aldan tidak memberi tahu namanya.
“Kamu pernah dekat dengan santri putra?” Tanyanya to the point. Adira tentu kaget dan menatap balik Agra.
Adira yang semula hanya menunduk dengan cepat mengangkat pandangannya melihat tepat wajah sosok yang telah menjadi suaminya, dalam benaknya bagaimana bisa suaminya ini mengetahui jika dirinya pernah dekat dekat dengan salah satu santri putra?
“Ha? M-maksud ustadz?” Tanyanya dengan wajah kebingungan.
Agra masih saja menatap tajam Adira. “Saya tanya, apa kamu pernah dekat dengan salah satu satri putra?” Tanyanya lagi.
Adira memainkan jari-jari tangannya, dia merasa sedikit takut dengan ustadz Agra. Ditatap seperti hendak memangsa lawannya membuat Adira tak berani bergerak sedikit saja.
“Jawab Adira!” Desak Agra. Apa susahnya tinggal menjawab iya atau tidak, dia sudah sangat penasaran siapa laki-laki itu?
Adira menarik napasnya dalam. “I-ya ustadz.” Cicitnya. Membuat Agra menghela napasnya dengan sedikit kasar.
“Lihat saya, dan jawab dengan benar Adira.” Lagi. Agra mendesak Adira untuk menjawab pertanyaannya.
“Na’am ustadz, ana memang pernah dekat dengan salah satu santri putra.” Jawabnya dengan pelan.
Agra mengangguk pelan, namun dia belum puas karena masih tidak mengetahui siapa santri putra itu. “Siapa?”
“Ha?” Adira mendadak menjadi pikun kayanya.
“Siapa santri itu?” Agra semakin menatap tajam Adira. Istrinya ini pura-pura pikun atau seperti apa?
“Aaa i-tu… L-lion ustadz.” Jawabnya dengan cepat.
Agra terdiam, memikirkan siapa pemilik namanya tersebut. Sesaat kemudian dia tiba-tiba mengangguk beberapa kali, sepertinya dia tahu siapa bocah itu yang pernah dekat dengan istrinya.
“Kamu masih dekat dengan dia?” Tanyanya lagi. Masih ingin tahu rupanya.
Adira sedikit ragu, namun dengan cepat dia menggeleng dengan kuat. “Tidak ustadz.”
“Bagus.” Jawabnya dengan singkat. Agra tahu siapa anak itu, dan sepertinya jawaban Adira tak cukup meyakinkannya.
xxx
Setelah menghabiskan makan malam, semua santri kembali keasrama masing-masing untuk belajar tentunya. Tanpa terkecuali begitu juga dengan Adira dkk.
Dalam kamar.
“Aku masih penasaran, dimana mereka tahu kalau kita ini pernah dekat dengan santri putra?” Tanya Aruna. Setelah shalat isya’ tadi Abraham mencecarnya dengan banyak pertanyaan hingga membuatnya sedikit kesal.
“Entahlah, kalau di pikir-pikir lagi bisa jadi informasi itu datang dari kiyai Aldan sendiri. Siapa lagi yang tahu selain kiyai? Tidak adakan?” Timpal Adira.
“Benar, siapa lagi yang tahu selain dari kiyai.” Lanjut Almira. Dia pun juga sama halnya, dicecar banyak pertanyaan dari Bima.
Ayyara terlihat prustasi ditempat tidurnya, bahkan buku-buku pelajarannya itu menjadi korbannya. “Ihhhh! Kesal banget aku…,”
“Kenapa? Di apain kamu sama ustadz Abyan?” Tanya Adira penasaran. Rupanya bukan cuman dirinya saja yang mendapat pertanyaan dari ustadz Agra melainkan ketiga temannya juga.
“Tidak tahu! Pokoknya aku kesal banget sama ustadz Abyan, dia memang tampan tapi… dia tuh ngeselin bangettttt…,” Lanjutnya mengunyel-unyel bantal tidurnya. Ketiganya hanya menggeleng pelan.
“Owwhhh aku kira kenapa.” Ucap Aruna santai.
“Aku masih tidak percaya kamu mengajukan perjanjian itu Adira, kita memang mau belajar jadi istri yang baik. Namun masalahnya adalah kita masih tinggal terpisah dengan mereka, dan juga santri lainnya akan merasa curiga kalau kita terus menerus berada didekat para ustadz itu.” Jelas Almaira.
Perjanjian apa memangnya?
Plasback on
“Lalau?” Tanya Abraham. Menatap keempat santri putri yang berada didepan mereka. Masih didalam masjid setelah adegan seribu pertanyaan dari mereka mengenai santri putra itu.
“Kami bakalan belajar jadi istri yang baik, tapi… untuk tidak melanggar sepertinya itu heheh… sedikit tidak bisa ustadz.” Jawab Adira. Meringis pelan saat melihat tatapan tajam milik ustadz Agra.
“Adira.” Tekan Agra.
“Kalian memang sepertinya tidak akan pernah berubah.” Lirih Abyan. Memijit pelan pangkal hidungnya.
“Perjanjian macam apa yang kalian katakan itu?” Tanya Bima. Pusing dengan segala tingkah keempatnya.
Mereka membuat perjanjian yang malah menguntungkan bagi keempat santriwati itu, dan yang paling dirugikan jelas adalah pihak mereka sebagai seorang suami.
“Mau tidak? Kita juga mau dapat rhidoh suami, mana mungkin kita…,”
“Ayyara, tidak usah menjawab lagi.” Sela Abyan. Memberi peringatan kepada istrinya itu.
“Itu kalian yang untung kita yang rugi, lagi pula memangnya kenapa kalau mereka tahu kalian ini sudah menikah dan suami kalian itu adalah kita? Bukankah itu bagus jika mereka tahu, kita tidak perlu lagi menjelaskan kepada mereka.” Tutur Abraham.
Adira menggeleng. “Rugi apanya ustadz? Kalau dalam satu minggu ini kami berhasil tidak membuat ulah, kami tanpa pikir panjang akan ikut tinggal tanpa harus menjadi santri khusus lagi. Tapi, kalau dalam waktu seminggu ini malah sebaliknya maka kalian harus menunggu kami mendapatkan hukuman menjadi santri khusus, dan tentunya akan tinggal serumah.”
“Kalian benar-benar aneh, sangat aneh sampai rasanya ana mau lempar kalian keluar dari sini.” Ucap Bima. Dia benar-benar kesal melihat wajah-wajah tanpa dosa itu.
Kesepakatan macam apakah itu?
Agra hanya dapat mengela napasnya, memiliki istri aneh seperti Adira memang harus ekstra sabar. Pokonya banyak-banyak sabarnya menghadapi mereka.
“Terserah.” Singkat, padat dan jelas. Agra hanya menatap datar Adira.
“Astagfirullahal ‘adzim.” Lirih Abraham.
“Sabar ustadz.” Timpal Aruna.
Plashback of
semangat 💪👍