menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 29 : diana membuatku bingung
Setelah malam yang penuh dengan curahan hati Diana, pagi harinya membawa ketenangan yang berbeda. Matahari masih berselimut awan tipis, suara ombak yang menghantam pantai seakan menjadi latar kami yang masih terdiam, angin laut yang sejuk membuat suasana menjadi damai, namun di dalam hatiku, ada rasa yang tak mudah hilang setelah mendengar cerita menyayat hati dari Diana semalam.
Diana, yang tampak lebih tenang pagi itu, tiba-tiba berinisiatif untuk kembali ke rumahnya, meskipun tahu tak ada siapa-siapa di sana. "Yuk, kita balik. Mungkin bisa numpang di rumah Pak Rudi sementara," ucap Diana sambil tersenyum kecil. Aku hanya mengangguk, masih merenungi setiap kata yang Diana sampaikan semalam.
Setelah meninggalkan penginapan diana melajukan sepeda motor, kami akhirnya tiba di rumah Pak Rudi. Rumah sederhana di tengah kampung dengan halaman yang asri itu tampak sepi, hanya suara angin yang berdesir di antara pepohonan. Ketika Diana mengetuk pintu, Pak Rudi muncul dengan wajah penuh keramahan, menyambut kami dengan senyuman hangat.
"Pak, aku mau numpang di sini beberapa hari ya, bolehkan ?," kata Diana dengan santai, seolah ini adalah hal yang biasa. Pak Rudi dengan senang hati mengiyakan, tak ada sedikit pun tanda keberatan. "Tentu, Diana. Rumah ini terbuka buat kamu dan juga temanmu," jawab Pak Rudi sambil tertawa kecil.
Namun, saat aku memperhatikan lebih dalam, ada sesuatu yang membuat ku tidak nyaman. Saat Pak Rudi merangkul Diana dengan tangan yang seharusnya hangat, bagiku, ada perasaan janggal. Rangkulan itu terasa terlalu dekat, terlalu intim, seperti merangkul seorang istri, bukan anak tetangga. Bukannya risih, Diana justru tampak menikmati perlakuan Pak Rudi, senyum kecil tersungging di bibirnya seolah rangkulan itu adalah hal yang biasa. Sementara itu, perasaanku campur aduk, antara takut, risih, dan bingung.
Pak Rudi mengantar mereka ke kamar tamu yang akan mereka gunakan untuk beristirahat. Kamar itu sederhana, dengan kasur yang terletak di sudut dan jendela kecil yang menghadap ke kebun belakang. Aku duduk di tepi kasur, merasa ada sesuatu yang tidak benar, tapi ia tak tahu bagaimana harus menyampaikannya. Diana sudah tampak biasa, langsung melemparkan tubuhnya ke kasur, merasa nyaman dengan keadaan.
"Mungkin aku yang terlalu berpikir negatif," gumamku dalam hati, mencoba menenangkan diri. Namun, bayangan tentang rangkulan Pak Rudi dan bagaimana Diana menerimanya masih terngiang-ngiang di benaknya.
Sementara mereka beristirahat di kamar tamu, keheningan kembali menyelimuti, tapi kali ini keheningan itu terasa lebih berat. Pikiranku masih bergelut dengan perasaan tak nyaman, aku gak bisa sepenuhnya menikmati waktu bersama sahabatku. Di sisi lain, tampak tak terganggu, bahkan seolah menikmati suasana yang ada.
Di tengah keheningan itu, aku gak bisa berhenti bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi antara Diana dan Pak Rudi? Kenapa Diana tampak begitu nyaman? Aku hanya bisa menunggu dan melihat bagaimana situasi ini akan berkembang.
Aku pun terbangun dari tidurku, tubuhku masih berat akibat perjalanan panjang menuju kampung halaman Diana. Suasana di kamar itu begitu sunyi, hanya terdengar detak jarum jam dinding yang tergantung di seberang ruangan. Mataku tertuju ke arah jam, ternyata pukul 11 malam.
Rasa kantuk ku yang tadinya begitu kuat perlahan menghilang. Aku menoleh ke samping, berharap melihat Diana yang tadi tidur bersamanya. Tapi ranjang di sebelahku kosong.
"Diana mana?" pikirku sambil bangkit perlahan. Ada sesuatu yang terasa ganjil. Telingaku menangkap suara percakapan pelan dari luar kamar, terdengar samar namun cukup jelas untuk membuatnya penasaran.
Dengan perasaan yang campur aduk, aku bangkit dari tempat tidur. Rasa lelah di tubuhku masih terasa, tapi ada dorongan kuat untuk mencari tahu. Aku melangkah perlahan menuju pintu kamar, berhati-hati agar tidak membuat suara. Ketika sampai di depan pintu yang sedikit terbuka, aku coba mengintip kearah luar. Dari balik pintu, aku melihat pemandangan yang membuat jantungku berdebar.
Pak Rudi duduk sangat dekat dengan Diana, bahkan terlalu dekat untuk seseorang yang seharusnya hanya tetangga baik hati. Aku menyipitkan mata, memastikan apa yang kulihat. Detik berikutnya, hatiku mencelos saat melihat Pak Rudi dengan lembut mencium kening Diana. Tindakan yang begitu mesra, lebih dari sekadar perhatian biasa. Diana tidak menolak, ia malah tersenyum dengan tatapan yang penuh kehangatan.
Aku pun menelan ludah, pikiranku mulai kacau. "Apa yang sedang terjadi?" desisku pelan, berusaha menenangkan diri.
Tapi pandangan yang semakin jelas dari celah pintu justru membuat hatiku semakin resah. Diana, sahabat yang baru tadi malam mengungkapkan semua kesedihan dan kesepiannya, kini sedang duduk dengan mesra bersama pria yang jauh lebih tua. Bahkan, yang membuatku semakin kaget, aku melihat Diana dengan lembut mencium pipi Pak Rudi, dan sesaat kemudian, mereka berciuman layaknya sepasang kekasih. Mereka tampak begitu intim, begitu akrab seolah-olah sudah lama menjalin hubungan seperti itu. Bayangan Diana yang selalu tomboy, mandiri, dan penuh kesedihan kini kontras dengan pemandangan yang ada di depan mataku. Diana terlihat bahagia bersama Pak Rudi, seorang pria dewasa yang usianya jauh lebih tua darinya.
Aku ingin melangkah ke luar, ingin mengonfrontasi Diana, menanyakan apa sebenarnya yang terjadi. Tapi ketakutan menyelinap. Bagaimana jika Diana marah? Bagaimana jika pertanyaanku justru merusak hubungan mereka? Aku merasa tersudut dalam kebingungan. Di satu sisi, aku ingin tahu kebenarannya, tapi di sisi lain, aku takut akan jawabannya.
Aku menarik napas dalam-dalam, merasakan jantungku berdegup semakin cepat. Aku menutup pintu kamar perlahan, berusaha agar tidak mengeluarkan suara. Pikiranku masih berputar-putar tanpa arah. Mencoba mengabaikan apa yang baru saja dilihat, aku kembali ke tempat tidur. Namun, tubuhku terasa kaku. Mataku terbuka lebar, berusaha untuk tenang, tetapi pikiran tentang Diana dan Pak Rudi terus menghantui.
"Sejak kapan mereka seperti ini? Apa Diana menyembunyikan sesuatu dariku? Mengapa dia tidak pernah cerita soal ini sebelumnya?"
Rasa penasaran dan heran terus menggerogoti pikiranku. Bahkan, aku merasa seolah-olah berada di tengah mimpi buruk yang tidak bisa dijelaskan. Tubuhku ingin istirahat, tapi pikiranku terus menolak untuk diam.
Bayangan tentang kedekatan Diana dengan Pak Rudi terus-menerus bermain di kepala ku. Apa yang sebenarnya terjadi di balik hubungan mereka? Apa Diana terlibat dalam sesuatu yang tidak baik? Aku mulai merasa tidak nyaman, tidak hanya karena apa yang kulihat, tetapi juga karena ketidakmampuanku untuk bertindak atau berbicara. Aku terjebak dalam kebingungan.
Namun, akhirnya, setelah berjuang melawan pikiranku yang berkecamuk, tubuhku yang lelah mulai menyerah. Mata yang tadinya terbuka lebar kini mulai terasa berat, meski hatiku masih penuh dengan tanya. Perlahan, aku pun tenggelam kembali dalam tidur, meski dalam benakku, bayangan tentang Diana dan Pak Rudi terus berputar, seperti teka-teki yang belum terpecahkan. Malam itu, di tengah gelapnya kamar yang sunyi, aku tidur dengan hati yang penuh kegelisahan.