NovelToon NovelToon
Aku Istri Gus Zidan

Aku Istri Gus Zidan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda
Popularitas:238.7k
Nilai: 5
Nama Author: triani

keinginannya untuk tidak masuk pesantren malah membuatnya terjebak begitu dalam dengan pesantren.

Namanya Mazaya Farha Kaina, biasa dipanggil Aza, anak dari seorang ustad. orang tuanya berniat mengirimnya ke pesantren milik sang kakek.

karena tidak tertarik masuk pesantren, ia memutuskan untuk kabur, tapi malah mempertemukannya dengan Gus Zidan dan membuatnya terjebak ke dalam pesantren karena sebuah pernikahan yang tidak terduga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

29. Tidur berdua

Setelah berkeliling di workshop dan menyaksikan proses menganyam keranjang, malam semakin larut, workshop pun hendak tutup, Gus Zidan pun mengajak Aza keluar dan mereka menuju ke mobil yang terparkir di halaman.

"Om Wahyu kemana?" tanya Aza saat tidak lagi melihat Wahyu di sana padahal saat berangkat tadi mereka diantar wahyu.

"Om?" tanya Gus Zidan sembari mengerutkan keningnya, "Wahyu seumuran denganku."

"Ya bagaimana lagi, memang harusnya panggilnya kan om, nggak mungkin kan aku panggil pakdhe,"

"Nggak ada panggilan yang lebih bagus?"

"Nggak mungkin juga mas, dia ketuaan kalau dipanggil mas."

"Maksudnya aku....?" tanya Gus Zidan sembari menatap dirinya sendiri. Masak aku terlalu tua? Ah Aza hanya mengada-ada, usiaku masih 27 tahun, masih sangat muda ....

Aza tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang tertutup hijab meskipun tidak gatal.

"Ayuk pulang." ucap Gus Zidan.

"Kenapa pulang? bukannya ijinnya sampai besok sore?" tanya Aza keberatan.

"Memang."

"Lalu, pulang ke mana?" tanya Aza masih khawatir.

"Ke rumah."

"Rumah siapa?"

"Rumah kita."

Aza mengerutkan keningnya, TPI Gus Zidan memilih tidak memberi keterangan apapun dan memilih membukakan pintu untuk za membuat Aza mendengus kesal dan terpaksa mengikuti Gus zidan.

Rupanya Gus Zidan memutuskan untuk mengajak Aza bermalam di rumah baru mereka.

Rumah itu belum sepenuhnya selesai direnovasi, namun beberapa hari lalu Gus Zidan sudah mulai membeli perabotan baru, termasuk tempat tidur dan beberapa barang penting lainnya.

Sebenarnya, keputusan untuk membawa Aza ke rumah itu lebih didorong oleh kenyataan bahwa ia sudah terlanjur mengizinkan Aza keluar pesantren sampai esok hari.

"Aza, sebenarnya kita akan ke rumah baru." ucap Gus Zidan saat mereka duduk di mobil.

Aza menoleh padanya, mengernyitkan dahi. "Rumah baru? Tapi kan belum selesai direnovasi?" tanyanya skeptis.

"Memang belum, tapi tempat tidur dan barang-barang penting sudah ada. Setidaknya kita nggak harus pulang ke pesantren malam ini," jawab Gus Zidan dengan senyum kecil.

Aza terdiam sejenak, mempertimbangkan. Di satu sisi, ia sebenarnya tak terlalu berminat, apalagi rumah itu masih setengah jadi. Namun, mengingat ia memang tak ada pilihan lain selain kembali ke pesantren besok pagi, ia pun akhirnya mengangguk setuju.

"Oke deh, aku setuju bermalam di sana," katanya dengan nada menyerah.

Perjalanan menuju rumah baru mereka berlangsung dalam keheningan yang nyaman. Aza sibuk memandangi jalanan, sementara Gus Zidan fokus mengemudi.

Begitu sampai, Aza menatap rumah tersebut dengan perasaan campur aduk. Rumah yang cukup sederhana dengan cat tembok masih setengah jadi dan beberapa bagian yang masih ditutupi terpal.

"Ya ampun, rumahnya masih... berantakan," gumam Aza sambil menatap bangunan yang sebagian besar masih dalam proses renovasi.

Gus Zidan tertawa kecil. "Memang. Tapi, ada beberapa bagian yang sudah bisa kita gunakan. Yuk, masuk!"

Mereka pun melangkah masuk ke dalam rumah. Di dalam, tampak beberapa perabotan baru seperti tempat tidur, sofa sederhana, dan meja makan kecil yang sudah tertata. Lantainya masih berdebu di beberapa sudut, tapi ruangan itu sudah cukup nyaman untuk digunakan.

"Beruntung aku beli tempat tidur duluan, jadi kita nggak harus tidur di lantai," canda Gus Zidan sambil menunjukkan kamar tidur mereka.

Aza mengedarkan pandangannya, kemudian duduk di tepi tempat tidur yang masih dipenuhi plastik pembungkus. "Lumayan," katanya pelan. "Memang gus Zidan selama ini tinggal di sini sebelum renovasinya selesai?"

"Tidak, aku tinggal di rumah Abah yai. Kalau kamu keberatan tinggal di sini malam ini, kita bisa tinggal di rumah Abah yai."

Tinggal di sana sama aja tinggal di pesantren dong, batin Aza dengan cepat ia menggelengkan kepalanya, "Nggak ah. Aku pikir bisa tidur nyenyak di sini, aku rasa tidak ada masalah," jawab Aza sambil tersenyum meyakinkan.

Gus Zidan menghela napas panjang, "Baiklah, aku percaya."

Aza sebenarnya masih merasa sedikit ragu. Namun, ia tahu bahwa ini adalah rumah yang paling tepat untuknya bermalam malam ini, tempat yang akan ia tinggali setelah ia sepenuhnya meninggalkan pesantren. "Semoga besok pagi aku nggak bangun dengan debu di mana-mana," gumamnya setengah bercanda.

Gus Zidan tertawa kecil. "Tenang, aku jamin kamu aman dari debu. Lagipula, kita cuma di sini semalam."

"Jadi, kapan renovasi ini selesai?" tanyanya sambil menatap gus Zidan yang tengah lihat-lihat sekeliling memastikan rumah itu sudah aman untuk ditinggali.

"Seharusnya dalam beberapa minggu ke depan. Setelah itu, kita bisa pindah sepenuhnya ke sini," jawab Gus Zidan sambil menutup bagian-bagian yang masih terbuka dengan triplek.

Aza menatap ke sekeliling rumah yang masih setengah jadi itu dengan campuran rasa penasaran dan sedikit cemas. "Jadi, di mana kita akan tidur malam ini?" tanyanya sambil menyusuri pandangannya dari ruang tamu ke beberapa sudut ruangan yang belum selesai direnovasi.

Gus Zidan tersenyum tipis, lalu berjalan menuju satu ruangan yang tampak lebih bersih daripada yang lainnya. “Kita di sini saja,” jawabnya sambil membuka pintu sebuah kamar yang sudah dirapikan.

Ruangan itu terlihat lebih rapi dibandingkan ruangan lainnya, meskipun masih sederhana. Di lantai, sudah ada kasur baru yang dipindahkan dari ruang penyimpanan. Gus Zidan berjongkok, mulai menyiapkan kasur tersebut, membentangkan seprai dan meletakkan bantal di atasnya.

"Ini kamar utama nantinya," jelas Gus Zidan sambil terus merapikan kasur.

Aza berdiri di ambang pintu, menatap Gus Zidan dengan alis terangkat. "Jadi... kita tidur di sini? Bareng?"

Gus Zidan berhenti sejenak, lalu menatap Aza dengan senyum menggoda. "Ya. Kenapa? Kita kan suami istri."

Aza tertegun, jantungnya berdebar. Ia merasa canggung dan tidak nyaman memikirkan bahwa mereka akan tidur satu kamar. “Aku pikir... mungkin Gus Zidan punya kamar lain untuk aku, yang... terpisah," katanya pelan.

Gus Zidan tertawa kecil, kemudian berdiri dan berjalan mendekati Aza. “Aza, kita sudah pernah tidur sekamar sebelumnya, ingat? Waktu itu juga kamu tidak protes,” katanya sambil menatap Aza dengan tatapan penuh makna.

Aza langsung teringat malam pertama mereka setelah menikah, ketika mereka sekamar di kamar hotel. Namun, malam itu sama sekali tidak ada apa-apa di antara mereka,

“Waktu itu berbeda,” jawab Aza dengan suara yang hampir berbisik, wajahnya mulai memerah. "Lagi pula, waktu itu kita tidak tidur bersama-sama di ranjang yang sama."

Gus Zidan terkekeh, “Ya, benar, kita memang tidak. Tapi sekarang, Aza, kita tinggal di rumah kita sendiri. Tidak ada yang akan mengawasi kita atau mengatur aturan pesantren.”

Aza memutar bola matanya, merasa semakin risih dengan candaan Gus Zidan. "Ya, tapi...," dia mencari alasan. "jangan aneh-aneh aku nggak suka."

Gus Zidan mendekat sedikit lagi, membuat Aza mundur setengah langkah. "Aneh-aneh bagaimana? Kita sudah menikah. Aza, kamu tahu itu kan? Aku suamimu, bukan ustazmu di pesantren," katanya dengan suara lebih lembut, namun tetap menggoda.

Aza memalingkan wajah, menghindari tatapan suaminya. "Aku tahu, tapi... tetap saja. Rasanya belum terbiasa."

Melihat Aza yang semakin canggung, Gus Zidan memutuskan untuk tidak menekannya lebih jauh. Dia kemudian kembali ke kasur dan berkata, "Oke, oke. Kita bisa tidur tanpa paksaan, Aza. Aku cuma bercanda. Kalau kamu mau, aku bisa tidur di ruang lain."

Aza melihat ke arah ruang lain yang masih berdebu dan penuh material bangunan. Tapi kemudian ia melihat sekeliling.

Kenapa kelihatannya menyeramkan sekali ..., di kamar ini sendiri? Batin Aza menimang-nimang.

" Gus Zidan mau tidur di ruangan itu? Dengan debu dan tumpukan material bangunan yang berserakan?"

Gus Zidan tertawa kecil, “Ya, mungkin tidak seburuk itu. Tapi aku lebih suka tidur di sini. Ruangan ini lebih bersih dan kasurnya juga nyaman. Tapi, kamu yang tentukan, Aza. Kalau kamu nggak nyaman, aku bisa cari tempat lain.”

Aza diam, ia tidak mungkin mengatakan secara langsung pada Gus Zidan dan memintanya tidur dengannya di kamar itu.

Dia bisa gr kan kalau aku mengatakan seperti itu, batin Aza bingung.

"Gus Zidan sudah banyak berusaha untuk membuatku merasa nyaman, bahkan di tengah kondisi rumah yang belum selesai direnovasi. Jadi ....,"

Aza pun menghela napas panjang membuat nada suaranya senetral mungkin.

“Baiklah, kita tidur di sini,” katanya akhirnya, meskipun masih ada sedikit rasa canggung di dalam hatinya.

Gus Zidan tersenyum lebar. “Lihat, kamu juga tahu kalau ini pilihan terbaik,” katanya sambil melemparkan senyum jahil.

Aza melemparkan tas kecilnya ke arah Gus Zidan, tapi ia menghindar dengan cekatan. “Jangan terlalu senang dulu,” balas Aza dengan nada setengah kesal namun ada sedikit tawa di ujung suaranya.

Mereka berdua akhirnya mulai menyiapkan diri untuk tidur. Aza menarik selimut dan merebahkan diri di sisi kasur, sedangkan Gus Zidan berbaring di sebelahnya dengan cukup menjaga jarak, seolah menghormati rasa canggung Aza.

Suasana di kamar itu menjadi tenang, hanya terdengar suara napas mereka berdua. Setelah beberapa saat, Aza merasa sedikit lebih tenang, meskipun hatinya masih berdebar.

"Gus Zidan," panggilnya pelan.

"Hmm?" sahut Gus Zidan yang sudah hampir tertidur.

"Terima kasih sudah mengerti," gumam Aza, meskipun tidak menatapnya.

Gus Zidan tersenyum dalam kegelapan. "Sama-sama, Aza. Selamat tidur," jawabnya lembut.

Malam itu, meskipun dalam kondisi yang belum sempurna, Aza mulai merasakan bahwa mereka benar-benar sedang membangun sesuatu bersama. Rumah ini, meskipun masih berantakan, akan menjadi tempat di mana mereka memulai kehidupan baru sebagai suami istri.

Bersambung

Happy reading

1
yuning
belum move on
maulana ya_manna
aku penasaran thor...
emak nya Farah siapa ya...🤔...
aku lupa🤦🏻‍♀️
maulana ya_manna
ini novel season 3... yang ku baca...
yang sebelm nya ku baca ber ulang²....
Tri Ani: terimakasih kak
total 1 replies
yuning
lanjut
fee2
tuh bener kan kyai irsyad yang dulu pengen jodohin gus zidan sama anaknya....
Sri Murtini
semoga dari rumah kyai Irsyad nggk.ada drama lg,soalnya pd pertemuan pertama dgn Gus Zidan ada pandangan ke kaguman
Sri Murtini
Alhamdulillah smg bisa istiqomah menuju Samawa
Rizal Angker
next
yuning
jujur itu lebih baik
yuning
Alhamdulillah
maulana ya_manna
terluka tp gak berdarah....😞😞😞
maulana ya_manna
terluka tp gak berdarah....😞😞😞
Tri Ani: setuju
total 1 replies
ir
nahh gitu kan lebih tenang Za
Tri Ani: kn jadi ademmm
total 1 replies
𝐈𝐬𝐭𝐲
akhirnya aza mau jujur juga ke Samuel...
Tri Ani: coba dari kemarin, 😁
total 1 replies
fee2
Samuel dapat hidayah... kukira samuel dulu non loh ternyata bukan....
Tri Ani: Islam tapi di KTP, tapi baru tahu kalau Islam ternyata
total 1 replies
maulana ya_manna
lanjut lagi thor....
hidayah lewat mz agus🤣🤣🤣🤣🤣🤣....
eh.... slah🤭.... mz Gus....😂😂😂
Tri Ani: siap kak
total 1 replies
Rizal Angker
next
Sri Murtini
banyak dukungan utkmu Ning Chusna jgn ragu, ayo siapkan barisan pendamping buat ning Chusna mulai.....1.2.3 .....
100 dst siapa ikut😂😂😂😂
Tri Ani: wahhh suporter janda nih
total 1 replies
Sri Murtini
Aamiin ya Rabbal alamin
maulana ya_manna
ikutan nyesek thor.... 😢😢😢😢🤧..
hanya krn anak pun jadi mslh tambah serem....
ke egoisan yang berbalut poligami dan berselimut dalil...🤦🏻‍♀️... ending nya Cusna terluka parah.....
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!