Andara Mayra terpaksa menerima perjodohan dengan seorang pria yang sudah dipilihkan oleh ayahnya.
Namun dibalik perjodohan yang ia terima itu ternyata ia sudah memiliki kesepakatan sebelumnya dengan sang calon suami. kesepakatan jika setelah satu tahun pernikahan, mereka akan bercerai.
akankah mereka benar-benar teguh pada kesepakatan mereka? atau malah saling jatuh cinta dan melupakan kesepakatan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiwit rthnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kakek Wijaya
"Sayang. Kakek ingin kita menemuinya." Mas Bara mengecup keningku saat hendak duduk untuk sarapan. Mas Bara bahkan sudah tak segan memanggilku dengan sebutan sayang sekarang.
"Kakek?" Kukira kakek mas Bara sudah meninggal. Karena sudah hampir mau tujuh bulan usia pernikahanku aku tak pernah bertemu dengannya.
"Iya, selama ini kakek tinggal di jerman. Dan kemarin kakek baru pulang. Kakek langsung menanyakanmu dan ingin bertemu denganmu."
"Oo yah?"
"He.em. sore ini sepulang kerja kita langsung ke rumah kakek yah? Kita nginep juga disana."
Aku hanya mengangguk mengiyakan.
Setelah pulang dari kantor, aku dan mas Bara langsung menuju kediaman kakek wijaya.
Mobil mas Bara memasuki gerbang kediaman kakek Wijaya. Hamparan perkebunan mengelilingi sebuah rumah besar yang lebih mirip sebuah keraton daripada rumah. Banyak sekali tanaman buah maupun tanaman hias di sana. Suasana asri tempo dulu masih begitu melekat disini.
"Mas, kakek wijaya itu seperti apa sih mas? Apa kakek galak?" Mas Bara hanya tersenyum.
"Enggak galak. Cuman sedikit ganas." Sontak tubuhku menegang. Aku merasa takut.
"Enggak. Becanda. Kakek sebenarnya orangnya baik, kadang kakek juga lucu. Hanya saja kakek kebanyakan tegas."
Aku hanya manggut-manggut mendengar penuturan mas Bara. Aduh aku jadi gugup.
"Relax okey. Ada aku." Mas bara menggenggam tanganku dan mengajakku masuk kedalam rumah.
Para pengawal dan pelayan disana menunduk hormat saat aku dan mas Bara lewat. Ruangan demi ruangan besar kami lewati, entah sudah sejauh mana kami melangkah. Ternyata rumah ini begitu besar. Kupikir mungkin jika aku berjalan sendirian disini aku akan tersesat tak tahu harus kemana.
Aku dan Mas Bara seperti keluar dari sebuah labirin saat kulihat beberapa tanaman anggrek dan kolam menghiasi beranda rumah.
"Selamat sore kakekku yang tampan. Lama sekali kita tidak berjumpa." Mas bara mengeratkan gandengannya saat didepan kami berdiri seorang pria lanjut usia yang masih terlihat gagah sedang asyik bermain dengan burung beo yang ada didepannya.
Pria itu membalikkan badan. Oh jadi ini pelopor wijaya group yang menggurita itu. Kulihat umurnya mungkin sudah menginjak kepala tujuh. Tapi tubuhnya masih terlihat tegap dan gagah. Wajahnyapun masih menampakkan garis ketampanan meski sudah mulai menua. Pasti ia sangatlah tampan di waktu muda, sama seperti mas Bara.
Kulihat mas Bara menciumi tangan kakek Wijaya lalu memeluknya hangat.
"Kuyakin kakek baik-baik saja. Iya kan?" Bukannya menanyakan kabar, mas Bara malah menebak keadaan kakeknya.
"Ya. Ya ya."
"Kakeku tampan. Kakeku tampan. Modus modus." Suara burung beo milik kakek wijaya yang meniru ucapan mas Bara sambil meledek membuat mas Bara melerai pelukannya.
"Dasar burung beo sialan." Mas Bara hendak menyentil burung itu namun burung itu langsung terbang.
Pandangan kakek wijaya langsung tertuju padaku. Wajahnya dingin dan datar, persis seperti mas Bara saat baru pertama kali bertemu denganku. Ia menatapku dengan detail seolah aku ini sebuah benda yang sedang ia cari kekurangannya.
"Kenapa diam saja? Apa kamu tidak mau bersalaman dengan pria tua ini?" Ah saking gugupnya aku sampai lupa.
"Ah maaf kek. Senang bertemu dengan kakek." Aku segera menyalaminya dengan takdim.
"Kenapa perutmu masih rata? Bukankah kalian sudah lama menikah? Apa dia kurang pintar dalam mencetak gol?" Ucapan kakek yang sangat frontal membuatku malu.
"Sabar kek. Kasihan dia belum wisuda. Hanya menunggu Satu minggu lagi, dan kami pasti akan membuatkan kakek cicit yang banyak. Iya kan sayang?" Mas Bara menggaet pinggangku. Ah pipiku mungkin sudah memerah sekarang.
"Ah alasan. Bilang saja kamu tidak becus melakukanny. Biar nanti kakek ajarkan jurus yang tok cer padamu." Aku hanya menundukkan wajahku menahan malu.
Jika kalian tanya apakah kejadian malam itu tidak membuatku hamil? Jawabannya ya, aku tidak hamil. Satu hari setelah kejadian itu tamu bulananku datang. Jadi sudah dipastikan milyaran benih yang mas Bara tanam malam itu ikut keluar bersama tamu yang datang setiap bulannya.
"Ayo ayo. Kalian pasti capek. Bersih-bersih dulu. Nanti kita makan malam bersama."
Aku dan mas Bara akhirnya pergi menuju kamar yang dipersiapkan untuk kami.
Aku menatap takjub pada desain interior rumah ini. Saat ini aku benar-benar seperti berada didalam kamar seorang raja layaknya di film-film.
Aku dan mas Bara duduk di sisi kanan meja. Sedangkan kakek wijaya, beliau duduk di kursi kepala keluarga sebelah kiri kami.
"Bagaimana proyekmu? Apa anak bungsu kakek masih mengganggumu?"
"Tak perlu ku katakan kakek pasti sudah tahu."
Kakek Wijaya terdengar membuang nafas kasar.
"Sepertinya aku sudah salah memberikan separuh kekuasaanku padanya. Aku akan mengalihkan haknya kepada anaknya saja kalau begitu. Kamu tidak ada skandal kan dengan adikmu itu?"
"Kami baik. Meski sudah lama tak berkomunikasi. Tapi akhlaknya kurasa tak seburuk papanya."
"Husss.. jaga bicaramu. Jangan bicara buruk tentang anakku didepanku. Bagaimanapun dia om mu gembleng."
"Hehe. Maaf maaf."
Aku hanya mencermati apa yang kedua pria beda generasi itu bicarakan. Mereka ternyata bisa bercanda juga.
"Oh iya Mayra. Setelah kamu lulus apa yang akan kamu lakukan? bekerja atau fokus terhadap keluarga?"
"May pikir sebelum adanya anak didalam pernikahan, rasanya tidak ada salahnya jika May bekerja dulu, hitung-hitung mencari pengalaman. Nanti kalau sudah diberi kepercayaan untuk mengurus anak, May akan fokuskan diri May untuk keluarga."
"Kamu tidak sayang dengan pendidikanmu?"
"Seorang wanita yang memiliki pendidikan tinggi tidak harus selalu digunakan untuk bekerja kan kek? Andai mungkin sewaktu-waktu dibutuhkan, mungkin bisa May gunakan. Tapi tetap, yang menjadi prioritas utama May adalah keluarga."
Kulihat kakek wijaya hanya manggut-manggut. Dan mas Bara, ia terlihat tak berkedip menatapku.
"Ehmm. Kakek ke kamar duluan ya. Selamat malam. Oh iya Bar, sebelum kamu tidur, kamu temui kakek dulu ya. Ada yang ingin kakek sampaikan padamu."
"Iya kek." Kakek berpamitan padaku dan mas Bara.
Setelah mengantarku ke kamar. Mas Bara kembali untuk menemui kakek di kamarnya. Entah apa yang akan sampaikan kakek, apakah benar beliau akan menyampaikan bagaimana cara membuat anak yang tok cer pada mas Bara. Ups.
Aku membuka jendela yang langsung mengarah ke arah perkebunan di belakang. Banyak lampu menghiasi taman itu sehingga pemandangan disana tak begitu menyeramkan. Apalagi saat ini sedang malam bulan purnama.
Aku kembali mengingat malam itu, malam ketiga setelah aku dan mas Bara menyatu. Persis seperti malam ini. Suasana malam yang syahdu dengan cahaya bulan purnama menemaniku yang berada diatas balkon kamar. Mas Bara tiba-tiba memelukku dari belakang. Begitu hangat dan membuai.
"Sangat indah." Bisik mas Bara kala itu, terasa lembut dan mampu membuat tubuhku meremang.
"He.em."
"Dirimu."
Cup
Ia mengecup pipiku. Sontak aku merasakan panas disekujur tubuhku. Ia membalik tubuhku agar menatapnya. Tanpa kata ia langsung mencondongkan wajahnya dan mengecup bibirku lembut. Pagutan lembut antara diriku dan mas Bara membuat hasrat diantara kami kian memanas. Tak terasa tubuh mas Bara sudah mengungkung diriku dibawahnya. Ia terus mencumbui leherku dan menciptakan banyak tanda merah di sana. Hingga saat mas bara hendak membuka tali kimonoku, aku baru sadar jika kita tak bisa melanjutkan ini. Aku segera menghentikan tangannya dan mendorong tubuhnya agar menjauh.
"Maaf mas. Aku tidak bisa." Aku bergegas membenarkan kimonoku yang hampir tersingkap. Nampak ia menarik diri dengan wajah yang sulit kuartikan. Seperti yang kukatakan tadi. Kemarin tamu bulananku baru saja datang. Tentu aku tidak bisa melakukannya didalam keadaan ini kan. Yah aku tahu mas Bara kecewa. Tapi ya mau bagaimana lagi.
Setelah malam itu, mas Bara tak pernah melakukannya lagi. Lebih tepatnya ia sering mencium bibirku dan sesekali mencumbu, hanya saja ia tak pernah memintaku untuk melakukan lebih.
Apa mungkin gara-gara aku yang menolaknya waktu itu, jadi ia pikir aku sengaja tak ingin melayaninya. Ah aku baru ingat, aku tak mengatakan alasanku yang sedang datang bulan saat aku menolaknya. Mengingat itu kenapa rasa dingin begitu terasa malam ini. Ku gosokkan telapak tanganku pada lengan yang lumayan terasa dingin. Aku hendak menutup jendela, namun mas Bara sudah terlebih dahulu masuk.
"Kenapa mau di tutup? Bukankah sedang bulan purnama?" Ia berjalan mengarah padaku. Ruangan yang cukup besar membuat ia harus melangkahkan kakinya beberapa langkah agar sampai persis dihadapanku.
"He.em. tapi aku merasa kedinginan." Aku masih memegang lenganku yang masih terasa dingin. Ia mendekat dan membalik tubuhku menghadap kembali keluar. Ia kembali memeluk tubuhku dengan hangat. Tubuh mas Bara yang besar mampu menenggelamkan tubuhku didalam pelukannya.
"Apa masih dingin?" Ia meletakkan dagunya di pundakku membuatku menggeleng pelan.
"Bukankah ini sangat indah." Hangat nafasnya bahkan mampu meremangkan seluruh urat syarafku.
"Kamu tahu. Aku sangat suka bulan purnama."
"Oh yah? Kenapa?" Kucoba mengendalikan tubuhku yang mulai bereaksi aneh.
"Karena aku memiliki kenangan indah saat bulan purnama."
"Pasti kenangan bersama mbak a-" tak sempat kuselesaikan ucapanku mas Bara sudah terlebih dahulu membalik tubuhku dan membungkam bibirku oleh bibirnya. Ia melepas ciumannya dan menatapku sayu.
"Kamu pasti ingat kenangan itu. Kenangan saat kita hendak menghabiskan waktu bersama." Yeah beberapa bulan lalu, saat bulan purnama yang sempat kukenang tadi.
"Ah pasti kamu melupakannya. Bukankah kamu tak menginginkannya." Ia membuang muka lesu.
"Aku ingat. Masih ingat dengan sangat jelas. Sayang sekali malam itu aku sedang datang bulan." Ia kembali menatap mataku seolah sedang mencari sesuatu disana.
"Datang bulan?" Tanyanya untuk memastikan. Aku mengangguk pelan.
"Jadi malam itu kamu sedang datang bulan? makannya kamu menolakku?"
"Emangnya aku nolak ya? Perasaan aku cuma bilang gak bisa kan?"
"Jadi malam itu kamu bukan menolakku?" Aku menggeleng pelan. Membuat ia langsung mengacak rambutnya kasar.
"Kenapa gak bilang sedang datang bulan sih. Agh." Ia terlihat frustasi.
"Emangnya kenapa sih mas?"
"Gak udah lupain." Wajahnya terlihat sangat kesal. Mungkin benar dugaanku. Jika ia menganggap aku menolaknya malam itu dalam artian menolak yang sesungguhnya, bukan menolak karena ada halangan. Pantas saja ia sering terlihat 'menahan' saat sedang mencumbuku.
"Sekarang lagi datang bulan?" Ia menatapku intens. Pertanyaannya membuatku menggeleng pelan. Apa maksudnya? Apa dia akan meminta hak nya?