Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.
Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.
Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Potret Keluarga Impian
Suara dentingan kecil mengusik ketenangan pagi itu. Veltika tersentak dari lamunannya. Ia menoleh ke arah balkon, tempat suara tadi berasal. Batu kecil tergeletak di lantai balkon, seakan menjadi utusan yang tak diundang.
Dengan rasa penasaran bercampur kesal, Veltika bangkit dan melangkah menuju pintu kaca yang memisahkan kamarnya dari balkon. Saat ia membukanya, angin pagi yang sejuk menyambut wajahnya. Ia memandang ke bawah, mencari tahu siapa pelaku di balik gangguan kecil ini.
Di sana, di halaman yang luas, Denis berdiri dengan tangan di saku celananya. Wajahnya tampak serius, namun senyum tipis tersungging di sudut bibirnya ketika tatapan mereka bertemu.
"Vel, aku perlu bicara," ujar Denis dari kejauhan, suaranya jelas meski jarak memisahkan mereka.
Veltika menggigit bibirnya, ragu. Matanya menatap Denis tajam, seolah ingin menyampaikan bahwa ia tidak ingin diganggu. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Denis yang membuat hatinya goyah—seperti ada rahasia yang mendesak untuk diungkapkan.
"Pergi, Denis. Aku tidak ingin bicara sekarang," jawab Veltika dingin, suaranya terdengar tegas, meski di dalam, hatinya bergetar.
Denis tidak bergerak. "Kita tidak bisa terus seperti ini, Vel. Kamu tahu itu," katanya, nada suaranya berubah lembut namun penuh tekad.
Veltika terdiam, genggaman tangannya di pegangan pintu balkon mengencang. Batu kecil yang tergeletak di lantai terasa seperti simbol kekacauan kecil yang terus mengguncang hidupnya.
"Dia bukan kekasihku, wanita yang kamu lihat di restoran dia client ku." Ungkap Denis dengan berteriak dari bawah.
Veltika tertegun. Suara Denis yang lantang, penuh penjelasan dan pembelaan, menggema hingga ke balkon kamarnya. Ia memandang ke bawah, melihat Denis berdiri dengan wajah serius dan mata yang memohon pengertian.
"Dia bukan kekasihku, Vel! Wanita yang kamu lihat di restoran itu hanya klienku!" teriak Denis lagi, lebih tegas kali ini, seakan ingin memastikan Veltika mendengar setiap kata.
Veltika menggigit bibirnya, hatinya berkecamuk. Suara Denis begitu jelas, tapi benaknya masih dipenuhi bayangan Denis yang menggandeng wanita itu. Sebuah adegan yang menghantui pikirannya sejak hari itu.
"Kenapa kamu tidak bilang dari awal?" balas Veltika dengan suara bergetar, mencoba menahan emosi. "Kenapa kau tidak menyapaku? Kau membuatku merasa seperti orang asing!"
Denis menghela napas panjang, frustasi. "Aku ingin, Vel. Tapi... aku tidak ingin mengganggu. Aku pikir kamu sedang bersama teman-temanmu, dan aku tak ingin membuat suasana jadi canggung."
Veltika memalingkan wajahnya sejenak, memandang jauh ke langit yang cerah, seolah mencari jawaban di antara awan. Apakah ia terlalu cepat menarik kesimpulan? Ataukah Denis memang pandai menyembunyikan sesuatu?
"Vel, tolong... beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Jangan biarkan kesalahpahaman ini membuat kita semakin jauh," ujar Denis, kali ini dengan nada yang lebih lembut namun sarat harapan.
Veltika menatapnya lagi. Ada kejujuran dalam mata Denis, tapi luka di hatinya membuatnya sulit untuk langsung percaya. Setelah beberapa detik hening, ia akhirnya berkata pelan, "Nanti malam. Kita bicara."
Denis tersenyum tipis, lega mendengar jawaban itu. "Baik. Nanti malam," jawabnya, sebelum berbalik dan berjalan kembali ke dalam rumah, meninggalkan Veltika dengan perasaan yang masih berkecamuk.
Malam itu, setelah seharian penuh terjebak dalam pikirannya sendiri, Veltika duduk di sofa ruang tamu, menunggu Denis datang untuk bicara. Rasa penasaran dan keraguan masih menyelimuti hatinya. Sejak kejadian di restoran, Veltika tidak bisa berhenti memikirkan siapa wanita yang bersama Denis dan mengapa mereka terlihat begitu akrab.
Tak lama kemudian, Denis masuk ke ruang tamu. Wajahnya terlihat tenang, namun ada sedikit kecemasan di matanya. Ia tahu, malam ini harus memberikan penjelasan yang tuntas.
"Terima kasih sudah mau bicara, Vel," ucap Denis sambil duduk di hadapannya. "Aku tahu kamu pasti merasa dikhianati karena melihat aku dengan wanita itu di restoran."
Veltika hanya mengangguk pelan, matanya menatap Denis tajam, menunggu penjelasan yang ia butuhkan.
"Dia... dia bukan siapa-siapa," Denis mulai bicara. "Namanya Livia. Dia teman lama. Satu-satunya alasan aku bersamanya hari itu adalah karena dia memintaku untuk berpura-pura menjadi pacarnya."
Veltika mengerutkan kening. "Pura-pura? Untuk apa?"
Denis menghela napas. "Keluarganya menjodohkan dia dengan pria yang tidak dia cintai. Livia tidak ingin menikah dengan seseorang yang dipilihkan keluarganya, jadi dia meminta bantuanku. Aku berpura-pura menjadi pacarnya agar keluarganya berpikir dia sudah punya pasangan."
Sejenak, ruangan itu hening. Veltika mencerna kata-kata Denis, mencoba mencari kebohongan di baliknya. Namun, Denis terus menatapnya dengan tulus.
"Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya?" tanya Veltika pelan, ada nada terluka dalam suaranya. "Kau tahu aku tidak suka dibohongi, Denis."
"Aku tahu," Denis menjawab dengan nada lembut. "Aku tidak ingin menyakitimu atau membuatmu salah paham. Aku hanya ingin membantu teman, tapi aku bodoh karena tidak berpikir bagaimana itu akan terlihat di matamu."
Veltika terdiam. Dalam hatinya, ia masih merasa sedikit terluka, namun ia juga bisa melihat sisi lain dari cerita ini. Denis mungkin ceroboh, tetapi ia tidak bermaksud jahat.
"Aku tidak tahu harus percaya atau tidak," gumam Veltika, menundukkan kepala.
Denis mendekat, mengambil tangan Veltika dalam genggamannya. "Aku tahu ini sulit, Vel. Tapi aku tidak akan pernah bermain-main dengan perasaanmu. Jika ada sesuatu yang perlu kamu tahu, aku akan selalu jujur mulai sekarang."
Tatapan mata mereka bertemu. Ada kehangatan dan ketulusan di mata Denis yang perlahan membuat hati Veltika mulai luluh.
Meskipun penjelasan Denis terdengar masuk akal, Veltika tetap merasa ada sesuatu yang harus diwaspadai. Dia mengenal terlalu banyak pria yang berjanji akan jujur, namun akhirnya hanya menyisakan luka. Denis, dengan pesonanya yang karismatik dan sikapnya yang spontan, masih seorang lelaki muda yang, menurut Veltika, mungkin belum tahu pasti apa yang dia inginkan dalam hidup—termasuk dalam hal cinta.
Setelah Denis pergi meninggalkan ruang tamu, Veltika kembali merenung. Ia membayangkan kembali semua pria yang pernah masuk ke dalam hidupnya, yang awalnya manis dan penuh perhatian, tetapi pada akhirnya hanya meninggalkan kepahitan. Pengalaman itu membuatnya sadar bahwa hati-hati dan waspada adalah perisai terbaik yang bisa ia gunakan untuk melindungi dirinya dari kekecewaan.
"Dia masih muda," gumam Veltika pelan sambil menatap ke luar jendela yang mengarah ke taman belakang. "Mungkin dia belum tahu apa itu cinta sejati, atau mungkin... dia hanya belum siap berkomitmen."
Dalam hati, ia menyadari bahwa Denis adalah sosok yang berbeda. Lelaki itu bisa membuatnya tertawa dalam sekejap, tapi juga membuat hatinya berdebar dengan cara yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Namun, perasaan itu tidak cukup untuk membuatnya lengah.
Veltika bertekad. Dia akan tetap dekat, namun menjaga jarak yang cukup aman. Karena baginya, cinta sejati bukan hanya tentang momen-momen manis atau janji-janji yang diucapkan di tengah malam, tetapi tentang konsistensi, kepercayaan, dan tanggung jawab yang nyata. Dan sejauh ini, Veltika belum yakin apakah Denis mampu memberikan semua itu.
"Biarkan waktu yang membuktikan," ucapnya dalam hati. "Jika dia benar-benar tulus, aku akan tahu. Tapi sampai saat itu tiba, aku akan tetap waspada."