Ketika cinta hadir di antara dua hati yang berbeda keyakinan, ia mengajarkan kita untuk saling memahami, bukan memaksakan. Cinta sejati bukan tentang menyeragamkan, tetapi tentang saling merangkul perbedaan. Jika cinta itu tulus, ia akan menemukan caranya sendiri, meski keyakinan kita tak selalu sejalan. Pada akhirnya, cinta mengajarkan bahwa kasih sayang dan pengertian lebih kuat daripada perbedaan yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
antara hidup dan mati
Tama membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, langit-langit ruangan putih dengan lampu yang menyilaukan menyambutnya. Butuh beberapa detik untuk menyadari di mana dirinya berada. Bau khas rumah sakit segera menyeruak di hidungnya, dan suara mesin medis yang berdetak pelan terdengar di telinganya. Kepalanya terasa berat, raganya lemah, dan rasa sakit menjalar di tubuhnya. Namun, di tengah kabut pikirannya, hanya satu pertanyaan yang berulang-ulang menghantui, bagaimana keadaan Freya?
Tama mencoba bergerak, tangannya berusaha meraih sisi ranjang. Ia harus bangun. Ia harus menemukan Freya. Apa yang terjadi padanya? Apakah Freya baik-baik saja?
Dengan sisa tenaga, Tama mendorong tubuhnya, berusaha bangkit dari ranjang. Namun, rasa pusing segera menghantam kepalanya, dan tubuhnya hampir terjatuh. Seorang perawat yang kebetulan sedang memeriksa alat-alat di dekatnya segera menghampiri.
"Pak Tama, tolong jangan bergerak terlalu banyak!" seru perawat itu dengan nada tegas namun lembut. Ia membantu Tama untuk kembali bersandar di tempat tidur. "Anda baru saja sadar setelah kecelakaan. Tubuh Anda masih belum kuat."
"Freya ... di mana Freya?" gumam Tama lemah, matanya penuh kecemasan. Nafasnya mulai tak teratur, berusaha menyingkirkan rasa pusing di kepalanya. Dia perlu tahu bagaimana keadaan Freya.
Perawat itu menatap Tama dengan penuh pengertian, seolah-olah ia tahu betapa pentingnya pertanyaan itu. "Saya tidak punya informasi tentang siapa pun bernama Freya. Saya akan coba tanyakan kepada dokter. Tapi tolong, fokus dulu pada pemulihan Anda."
Tama mengerang frustrasi, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Kegelisahan menggulung dalam hatinya, namun ia tak punya pilihan selain menunggu, dengan satu pikiran tetap mengisi kepalanya, Freya, apakah kamu baik-baik saja?
Tak lama setelah Tama terbangun, pintu kamar rumah sakit terbuka, dan kedua orang tuanya, Arman dan Rini, masuk dengan wajah cemas. Rini menutup mulutnya, menangis histeris saat melihat kondisi putranya yang terbaring lemah. Noda darah masih terlihat di pakaian Tama, seolah menjadi saksi bisu akan apa yang telah menimpanya. Rini segera menghampiri ranjang, menggenggam tangan Tama dengan erat, sementara tangisnya semakin pecah.
"Tama ... apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa seperti ini?" Rini menangis, suaranya bergetar penuh kekhawatiran. Matanya memindai tubuh anaknya yang terluka, seakan ingin menghilangkan rasa sakitnya.
Arman, yang berdiri di samping, menatap putranya dengan raut wajah yang tegang, namun berusaha menenangkan diri. Meski tampak kuat, terlihat jelas kekhawatiran di balik sikapnya yang tegar. Ia menaruh tangan di bahu Rini, mencoba meredakan kepanikan istrinya.
Tama, meski tubuhnya lemah dan suara yang keluar begitu serak, hanya bisa berkata satu hal, "Ayah ... tolong cari tahu ... Freya ... bagaimana keadaannya?"
Arman mengangguk perlahan. "Baik, Tama. Ayah akan cari tahu tentang Freya. Kau istirahat dulu."
Dengan langkah cepat dan tegas, Arman berjalan keluar kamar. Ia langsung mendatangi meja informasi, wajahnya penuh tekad. "Saya ingin tahu tentang seorang wanita bernama Freya yang mungkin juga dibawa ke rumah sakit ini. Dia terlibat dalam kecelakaan yang sama dengan putra saya."
Petugas rumah sakit memeriksa catatan mereka, sementara Arman menunggu dengan napas tertahan. Detik-detik berlalu seolah sangat lambat, dan Arman hanya bisa berharap berita yang datang bukanlah sesuatu yang buruk.
Saat Arman berdiri di meja informasi, perasaan gelisah semakin menggerogotinya. Setiap detik terasa seperti selamanya. Ketika petugas sedang memeriksa catatan, tiba-tiba seorang dokter menghampirinya. Dokter itu berwajah serius, langkahnya cepat, seolah membawa kabar yang tidak mudah disampaikan.
“Pak Arman?” tanya dokter tersebut, memastikan.
Arman mengangguk. “Ya, saya. Bagaimana keadaan Freya? Dia dibawa bersama anak saya, Tama.”
Dokter itu menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Wanita yang Anda maksud, Freya, saat ini sedang berada di ruang operasi. Kondisinya sangat serius. Dia mengalami luka dalam yang parah akibat kecelakaan tersebut. Kami sedang melakukan yang terbaik, tapi operasi ini akan memakan waktu cukup lama.”
Wajah Arman seketika menegang, tubuhnya terasa lemas mendengar kabar tersebut. Meskipun ia tak terlalu mengenal Freya, mengetahui bahwa nyawa seorang wanita yang berarti bagi putranya sedang berada di ujung tanduk membuat hatinya tercekat.
"Seberapa parah lukanya?" Arman bertanya dengan suara pelan namun penuh tekanan.
Dokter menggeleng pelan. "Saya tidak bisa memberikan terlalu banyak detail sekarang. Tapi Freya mengalami beberapa patah tulang dan perdarahan internal. Tim kami sedang berusaha keras untuk menghentikan perdarahannya. Kami mohon Anda tetap tenang dan bersabar. Kami akan memberi kabar segera setelah operasi selesai."
Arman terdiam, merasa beban berat menggantung di dadanya. Rasa cemas kini bukan hanya tentang putranya, tetapi juga Freya, yang hidupnya mungkin sedang bergantung pada tali yang sangat tipis.
"Terima kasih, Dokter," katanya akhirnya, meski kata-kata itu terasa hambar di bibirnya.
Setelah dokter itu pergi, Arman mengusap wajahnya dengan tangan, mencoba menenangkan diri sebelum kembali ke kamar Tama. Bagaimana ia akan memberitahu putranya tentang kondisi Freya?
Arman kembali ke kamar rumah sakit dengan langkah berat, pikirannya dipenuhi kecemasan. Di dalam kamar, ia melihat Rini masih duduk di samping Tama, menggenggam tangan putranya erat-erat seakan takut kehilangannya. Tama, yang meski lemah, langsung menatap ayahnya begitu ia masuk. Matanya penuh kegelisahan, seolah sudah bisa membaca bahwa kabar yang dibawa sang ayah tidaklah baik.
"Ayah, bagaimana Freya?" desak Tama dengan suara serak, tatapannya tak lepas dari wajah ayahnya. "Tolong, katakan yang sebenarnya."
Arman berdiri di samping ranjang, menggenggam tiang penyangga infus sejenak untuk menenangkan diri sebelum berbicara. Ia tahu putranya pantas mendapatkan kebenaran, meskipun sulit.
"Freya ... sedang di ruang operasi," ucap Arman dengan suara berat. "Kondisinya cukup parah, Tama. Dia mengalami luka dalam dan patah tulang. Dokter sedang berusaha sekuat mungkin untuk menyelamatkannya."
Mendengar kabar itu, wajah Tama seketika memucat. Tangannya yang lemah bergetar, meremas selimut dengan sisa tenaga yang tersisa. Matanya mulai memerah, penuh dengan perasaan bersalah dan ketakutan yang tak terkatakan. Freya, gadis yang begitu ia cintai, sedang berjuang antara hidup dan mati.
“Aku harus ke sana ... aku harus menemuinya!” Tama berusaha bangkit lagi, tapi tubuhnya terlalu lemah. Rasa sakit menjalari tubuhnya, namun rasa cemasnya jauh lebih besar dari rasa sakit fisiknya.
Rini, yang melihat Tama mencoba bangkit, segera menahannya dengan lembut. "Tama, tolong jangan paksakan dirimu. Kamu juga perlu istirahat."
"Tapi, Bu ... Freya ..." Suara Tama pecah, air mata menggenang di matanya. Hatinya seperti ditikam ribuan jarum. Ia merasa tak berdaya, hanya bisa terbaring di sini sementara Freya berjuang untuk hidupnya.
Arman mendekat, meletakkan tangan di bahu Tama. "Dokter sudah melakukan yang terbaik, Nak. Sekarang, yang bisa kita lakukan hanyalah menunggu. Kamu harus kuat, demi Freya."
Tama terisak pelan, perasaan tak berdaya menghantamnya. Ia memejamkan mata, berharap di tengah kegelisahannya ada keajaiban yang akan membawa Freya kembali kepadanya dengan selamat.