Pernikahan yang terjadi antara Ajeng dan Bisma karena perjodohan. Seperti mendapat durian runtuh, itulah kebahagiaan yang dirasakan Ajeng seumur hidup. Suami yang tampan, tajir dan memiliki jabatan di instansi pemerintahan membuatnya tidak menginginkan hal lain lagi.
Ternyata pernikahan yang terjadi tak seindah bayangan Ajeng sebelumnya. Bisma tak lain hanya seorang lelaki dingin tak berhati. Kelahiran putri kecil mereka tak membuat nurani Bisma tersentuh.
Kehadiran Deby rekan kerja beda departemen membuat perasaan Bisma tersentuh dan ingin merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya, sehingga ia mengakhiri pernikahan yang belum genap tiga tahun.
Walau dengan hati terluka Ajeng menerima keputusan sepihak yang diambil Bisma. Di saat ia telah membuka hati, ternyata Bisma baru menyadari bahwa keluarga kecilnya lah yang ia butuhkan bukan yang lain.
Apakah Ajeng akan kembali rujuk dengan Bisma atau menerima lelaki baru dalam hidupnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leny Fairuz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 Curhat Lelaki Dewasa
“Pak, maju yok. Salaman sambil foto-foto,” Ibnu mengajaknya dengan tatapan mengarah ke depan, “Memang keduanya pasangan yang cocok, sama-sama dermawan lagi .... “
Bisma merasa dongkol mendengar ucapan Ibnu yang memuji Hilman dan Ajeng yang kini berdampingan berbicara dengan para pejabat dalam suasana penuh keakraban.
“Sebaiknya kita ke depan,” suara ramah Ajeng kembali terdengar, “Sudah tersedia hidangan sederhana untuk kita semua, mungkin saja bapak, ibu serta saudara yang datang berkenan menikmatinya .... “
Dengan perasaan enggan Bisma mengikuti langkah semuanya dari belakang. Hatinya merasa tidak terima dengan keadaan yang terjadi. Tapi mau bagaimana lagi semua adalah pilihannya.
Pilihannya?
Sejenak timbul keraguan dalam benak Bisma mengingat permasalahan yang terjadi antara dirinya dan Ajeng. Ia berusaha melupakan sesuatu yang sempat mengganggu pikirannya.
Matanya kini tertuju pada kafe resto yang kini tertata beda untuk menjamu tamu-tamu kehormatan yang datang. Beberapa pegawai Ajeng yang rata-rata masih usia pelajar melayani dengan antusias.
“Wah, sudah siap semua .... “ Wisnu langsung mengomentari hidangan yang tersusun dengan rapi menggugah selera.
Matanya memandang satu demi satu menu nusantara yang ditata sedemikian rupa. Sate ayam dan sapi disusun di tempat yang berbeda. Berbagai jenis soto nusantara sangat menggiurkan.
Langkahnya menuju camilan yang tertata dengan rapi dan apik. Senyum lebar menghias wajahnya yang brewokan.
“Bu Ajeng dan anak-anak yang bikin semua ini?” Wisnu memandang Ajeng yang berdiri di sampingnya.
“Semuanya anak-anak yang bikin. Saya hanya membantu,” jawab Ajeng merendah.
“Wah, beruntung sekali calon suami ibu.... “ Wisnu memandang Hilman yang tak beranjak dari samping Ajeng.
Senyum lebar tersungging di bibir Hilman mendengar ucapan Wisnu yang terdengar hampir ke semua yang ada termasuk Bisma. Jemarinya kembali mengepal.
“Kapan peresmiannya?” Wisnu bertanya dengan santai.
Memang bukan rahasia umum kedekatan yang terjadi antara Ajeng dan Hilman. Para pejabat dan pengusaha sudah banyak mengetahui, walau seperti yang dikatakan Ibnu Ajeng selama ini bersikap pasif.
“Belum ada pembicaraan serius ke arah sana pak,” Hilman menjawab dengan lesu, “Masih kelabu .... “
Mendengar jawaban Hilman membuat perasaan Bisma jadi lega. Ia memandang Ajeng yang melangkah menjauh. Dengan santai akhirnya Bisma mendekati keduanya yang terlibat percakapan ringan.
“Eh, pak Bisma gak kelihatan dari tadi?” Wisnu langsung memberondongnya dengan pertanyaan.
“Keliling area,” jawab Bisma santai.
“Makan yuk, udah lapar juga .... “ ajak Wisnu sambil meraih piring yang sudah disiapkan di samping meja hidang.
“Boleh,” jawab Bisma singkat.
Keduanya langsung berjalan menuju kursi yang sudah disusun untuk ditempati para tamu beserta staf dinas yang datang. Sambil menikmati hidangan mereka terlibat dalam percakapan ringan.
“Asalnya pak Bisma dari Jakarta kan?” pertanyaan Wisnu kembali memecah keheningan yang tercipta diantara keduanya.
“Benar. Pak Wisnu sendiri?” Bisma pun menanyakan hal yang sama pada Wisnu.
“Saya asli Jakarta. Udah tiga tahun juga mutasi di sini.”
“Keluarga?” Bisma penasaran dengan Wisnu yang selalu tampil sendiri dalam setiap kegiatan formal maupun non formal.
“Istri masih dinas di Jakarta. Masih mengurus mutasi juga .... “ ujar Wisnu pelan.
Kini tatapannya tertuju pada Ajeng yang berjalan bersama Andrean menuju etalase makanan ringan. Ia menghela nafas dengan tatapan yang tak teralihkan.
“Lihatlah bu Ajeng .... “ suara Wisnu kembali terdengar.
“Ya ....?” Bisma penasaran dengan apa yang ada di hati lelaki yang ia perkirakan usianya di atas dirinya.
“Aku tidak yakin ia janda. Entah lelaki bodoh mana yang meninggalkannya. Di mataku ia perempuan sangat sempurna. Sayang aku sudah berkeluarga....”
“Astaga .... “ Bisma geram dalam hati mendengar ucapan Wisnu.
Ia sendiri tak percaya mendengar Wisnu yang seolah-olah curhat padanya. Padahal sudah berkeluarga dan masih terikat status pernikahan.
“Bagaimana menurut pak Bisma perempuan seperti bu Ajeng?” Wisnu kembali bertanya padanya.
“Saya tidak berani berkomentar ...” Bisma menjawab datar.
Ia tidak tau harus berkata apa. Apalagi ia dan Wisnu baru kali ini terlibat percakapan tentang seorang perempuan, dan menurutnya ini tidak pantas untuk dibicarakan.
Senyum Wisnu terulas di bibirnya ketika Ajeng dan Hilman bersama Andrean berjalan mendekati mereka yang sudah selesai menikmati makan siang yang terhidang.
“Wah, maaf atas keterlambatan saya .... “ seorang lelaki gagah tiba di hadapan mereka yang masih berbincang santai.
“Pak Sigit?” Ajeng mengerutkan jidatnya melihat lelaki yang kini tegak di hadapannya.
“Ya saya,” senyum lebar di wajah lelaki itu membuat suasana menghangat.
“Bu Ajeng mengenalnya?” Riyanti sahabat Ajeng yang juga mendampinginya keheranan dengan antusias Ajeng menyambut kehadiran lelaki gagah itu.
“Beliau ini atasan saya saat masih pegawai bank ... “ Ajeng menjelaskan secara gamblang.
“Selamat ya Jeng atas pencapaianmu. Kami turut bangga atas semua yang berhasil kamu raih,” ujar Sigit sambil mengulurkan tangan memberikan buket bunga.
Ia menjabat tangan perempuan yang pernah jadi bawahannya saat bekerja di bank pemerintahan walaupun hanya beberapa bulan, karena akhirnya Ajeng memilih resign.
“Terima kasih atas bimbingan bapak selama ini. Saya tidak akan melupakan semua kebaikan bapak pada saya,” Ajeng berkata dengan tulus dan bersungguh-sungguh, “Sebenarnya bapak tidak perlu seperti ini.”
Dari sudut matanya Bisma dapat melihat bagaimana tingkah laku Ajeng memperlakukan lelaki yang baru saja datang itu. Ia mengambilkan minuman bahkan makanan sekalian mendampinginya.
“Cih .... “ Bisma mengecam dalam hati atas perbuatan Ajeng yang begitu memuliakan Sigit di hadapan semua orang.
“Pasti bahagia sekali lelaki yang diperlakukan seperti itu,” bisik Wisnu padanya, “Perempuan dan calon istri ideal.”
Bisma terpaksa mengangguk mendengar ucapan Wisnu, karena ia sempat merasakan semua perlakuan Ajeng yang tanpa cela saat kebersamaan mereka. Hanya ia lelaki yang kurang bersyukur dengan semua yang pernah terjalin diantara mereka.
“Bagaimana dengan pak Bisma?” kini tatapan Wisnu mengarah padanya.
Bisma tersenyum kecut, “Saya tipe orang yang tidak suka mengumbar kehidupan rumah tangga. Itu adalah privasi bagi saya.”
“Maafkan saya,” Wisnu tersenyum tipis, “Kadang ada keinginan untuk membentuk keluarga baru, karena pasangan kita bukan orang yang ideal .... “
Bisma terdiam, tapi dalam hati ia tertarik dengan ucapan Wisnu. Selama ini ia memang tidak pernah mempunyai teman untuk curhat masalah rumah tangga, karena ia merasa tak perlu, dan sudah yakin bahwa ia mampu mengambil keputusan yang tepat dan terbaik bagi dirinya dan masa depannya.
“Pak Bisma pasti mengalami, bagaimana pekerjaan dan keseharian kita selalu bersinggungan dengan hal-hal yang membuat kesetiaan kita diuji.... “
Kembali Bisma mengangguk menyetujui perkataan Wisnu. Ia semakin tertarik dengan topik pembahasan yang dibicarakan Wisnu, lelaki yang ia nilai kalem dari segi penampilan luarnya.
“Apalagi kita yang memiliki pekerjaan yang mapan .... “ ujar Wisnu sambil menghela nafas perlahan, “Kalau iman tidak kuat, pekerjaan kacau, keluarga berantakan.”
“Wah, nampaknya berat beban hidup pak Wisnu .... “ Bisma berkata pelan dengan senyum meremehkan di sudut bibirnya.
Wisnu tau bahwa Bisma menyindirnya. Ia tidak tersinggung, karena dari sekian banyak lelaki yang kebetulan sama-sama menjabat seperti dirinya ia melihat sosok Bisma lebih lurus ketimbang rekan nya yang lain.
“Justru dengan pak Bisma-lah saya lebih enak ngobrolnya,” Wisnu berkata terus terang, “Kalau kita salah tempat curhatnya, malah semakin kacau.”
Bisma manggut-manggut mendengar ucapan Wisnu. Keduanya terlibat percakapan santai tapi cukup serius. Pikiran Bisma semakin terbuka mendengar setiap perkataan Wisnu yang masuk akal di otaknya.