menceritakan seorang anak perempuan 10tahun bernama Hill, seorang manusia biasa yang tidak memiliki sihir, hill adalah anak bahagia yang selalu ceria, tetapi suatu hari sebuah tragedi terjadi, hidup nya berubah, seketika dunia menjadi kacau, kekacauan yang mengharuskan hill melakukan perjalanan jauh untuk menyelamatkan orang tua nya, mencari tau penyebab semua kekacauan dan mencari tau misteri yang ada di dunia nya dengan melewati banyak rintangan dan kekacauan dunia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YareYare, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 13. Hutan Yang Sudah Berubah
Di sore hari yang cerah, terlihat unicorn putih dengan ukuran seperti kuda pada umumnya. Unicorn itu membawa tiga penunggang: Hill, Levia, dan Helix. Mereka terbang cepat mengikuti arahan Levia. Di atas awan, mereka bertiga melihat sebuah hutan dengan pohon-pohon tinggi, sekitar 30 hingga 50 meter. Hutan itu adalah Hutan Treeden.
"Levia, hutan ini terlihat berbeda. Ada banyak sekali lampu sihir yang terpasang di bawah, dan beberapa barang yang tidak ada sebelumnya," kata Hill, penasaran.
"Jangan-jangan, sudah banyak monster di Treeden. Ini tidak mungkin, hutan ini dijaga oleh banyak peri, dan Ratu Peri sangat kuat. Para monster tidak akan bisa mengalahkan Ratu Peri," jawab Levia dengan tegas.
"Apakah dia bisa mengalahkan Xix juga?" tanya Helix, curiga.
"Aku tidak tahu," jawab Levia, tanpa yakin.
Unicorn terus terbang ke tengah hutan. Waktu berlalu, dan malam pun tiba. Akhirnya, mereka sampai di tujuan. Levia menyuruh unicorn untuk mendarat, dan setelah beberapa saat, mereka berhasil mendarat dengan aman. Hill, Levia, dan Helix kini berada di tengah hutan yang terbentang di depan mereka, dikelilingi oleh sebuah dinding. Ini adalah tempat yang dulu digunakan Hill untuk beristirahat.
Tak lama kemudian, Levia berteriak memanggil Ratu Peri.
"Ratu Peri, ini aku, Levia! Aku pulang. Hm, kita tunggu saja, dia pasti tahu aku ada di sini," serunya, penuh harap.
Tiba-tiba, mereka bertiga mendengar suara dari balik semak-semak.
"Suara apa itu?" tanya Hill, terkejut.
"Hill, Levia, sembunyi di belakangku," perintah Helix, sambil mencari tempat berlindung.
"Baiklah, Paman Helix. Hm, tapi aku merasa pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Saat itu, goblin muncul," kata Hill, merasa familiar dengan situasi ini.
"Ah, goblin lagi! Sepertinya penulis sudah kehabisan ide untuk membuat monster baru. Semoga pembaca tidak bosan dengan goblin," kata Helix, sedikit sinis.
"Oi, Helix, kamu bicara dengan siapa? Aku nggak ngerti apa yang kamu katakan!" seru Levia bingung.
"Aku bicara dengan pembaca," jawab Helix dengan santai.
Suara dari balik semak-semak itu semakin dekat. Tak lama kemudian, seseorang muncul dan bertanya.
"Hei, siapa kalian?" tanyanya, heran.
"Hill, Helix, dia bukan goblin. Dia manusia. Kenapa ada manusia lain di sini?" kata Levia, bingung.
"Penyusuuuppp, ada penyusuppppp!" teriak orang itu panik.
"Tunggu, tidak! Kami bukan penyusup!" kata Hill, berusaha menjelaskan.
Setelah mereka bertiga diteriaki penyusup, tiba-tiba banyak orang muncul membawa senjata. Beberapa di antaranya menodongkan pedang dan busur ke arah Hill, Levia, dan Helix.
"Ada apa ini? Banyak sekali manusia di sini," kata Levia, kaget.
Saat mereka bertiga terkepung, seorang wanita berteriak dari atas.
"Tunggu! Kalian semua! Mereka adalah tamu ku!" teriak wanita itu dengan lantang.
"Ratu Peri! Akhirnya kamu datang. Apa maksud semua ini?" tanya Levia, bingung.
"Hahaha, aku bisa jelaskan nanti," jawab Ratu Peri sambil tertawa.
Orang-orang itu pun menurunkan senjata mereka. Hill, Levia, dan Helix kemudian dibawa ke sebuah tempat. Mereka berjalan melewati Hutan Treeden yang kini tampak berbeda. Di hutan ini, banyak rumah-rumah kecil yang dibangun di setiap sisi pohon, cukup untuk dua orang. Banyak sekali orang yang tinggal di sana, dan mereka semua menyapa Ratu Peri dengan hangat. Hill, Levia, dan Helix terus berjalan menuju sebuah rumah kecil di ujung jalan.
"Hei, Ratu Peri, bisakah kamu jelaskan? Tempat ini sudah seperti desa sekarang. Banyak sekali orang. Padahal dulu, hutan ini sangat sepi," tanya Hill, penasaran.
Hill dan Helix mulai duduk, berusaha mendengarkan penjelasan dari Ratu Peri.
"Mereka adalah rakyat Magi yang selamat, mulai dari warga kota hingga pedesaan. Tidak hanya rakyat biasa, beberapa di antaranya adalah prajurit dan kesatria Kerajaan Magi," kata Ratu Peri dengan serius.
Levia menjawab dengan rasa ingin tahu, "Pantas saja ada begitu banyak orang di sini. Tapi, bagaimana bisa? Aku mendengar dari kenalanku bahwa Raja Magi dibunuh dan terjadi ledakan sihir besar. Bagaimana mereka bisa selamat?"
Saat Levia berbicara, tiba-tiba muncul seorang pria tua berambut putih, dengan kumis dan janggut putih. Dia datang dari luar dan mencoba masuk ke dalam ruangan.
"Apa yang kau katakan benar, tapi tidak sepenuhnya," ujar pria itu, suaranya dalam dan tegas.
"Siapa kamu? Tempat ini sudah sempit, jangan bikin tambah sempit," kata Levia kesal.
"Hahaha, apakah kamu Levia? Aku sudah mendengar tentangmu, dan juga tentang anak kecil bernama Hill itu. Aku sudah mendengar kisah kalian dari Ratu Peri. Perkenalkan, namaku Van Korla. Aku adalah Raja Magi. Hm, karena sekarang Magi sudah tidak ada, mungkin bisa kukatakan aku mantan Raja Magi," ujar pria tua itu dengan bangga.
Hill dan Levia terkejut mendengar pernyataan itu, sementara Helix yang tidak mengerti apa-apa, hanya tidur dengan santai di bawah, dengan wajah bodohnya.
"Oi, siapa yang kamu sebut bodoh?" Helix terbangun dan tiba-tiba berteriak.
"Apa sih, Helix? Tiba-tiba teriak begitu. Tidak ada yang memanggilmu bodoh! Sopan sedikit, di depanmu ada Raja," kata Levia, kesal.
"Oh, maafkan aku, Levia," kata Helix, bingung.
"Hahaha, tidak apa-apa. Sekarang aku bukan lagi raja, aku hanya seorang pengungsi biasa," kata Van Korla sambil tertawa ringan.
"Raja? Bukankah kamu dibunuh?" tanya Hill, merasa bingung.
"Biarkan Ratu Peri yang menceritakan semuanya. Dialah yang membantu aku dan rakyat yang tersisa," jawab Van Korla, sambil duduk bersama mereka.
Ratu Peri melanjutkan penjelasannya. "Semua ini dimulai sekitar satu bulan yang lalu, ketika malam hari muncul Pohon Harapan. Aku melihat Hill yang memanggil pohon itu untuk melawan Xui."
"Tunggu, kamu tahu tentang Xui?" tanya Levia, terkejut.
"Ya, aku tahu. Tapi sekarang, Xui sudah mati, ditelan oleh Pohon Harapan. Setelah Hill memanggil pohon itu, dia pingsan. Munculnya Pohon Harapan membuat makhluk jahat yang ada di hutan ini takut, termasuk Xix. Saat itu, Xix membuka sebuah lubang hitam di hutan dan pergi. Tapi lubang hitam yang dia buat terlalu kuat dan memiliki efek yang berlangsung selama 12 jam di seluruh hutan. Itulah mengapa, pagi-pagi kalian bisa tiba-tiba berada di tempat asing dan muncul di dataran luas. Itu adalah tempat Xix. Tanpa sadar, kalian masuk ke tempat itu saat efek dari lubang hitam masih ada."
"Jadi itu juga alasan kenapa penglihatanku tentang masa depan tiba-tiba hilang?" tanya Levia, merenung.
Helix tiba-tiba berbicara, "Wow, Levia, kamu bisa melihat masa depan? Itu keren sekali! Pantas saja matamu selalu tertutup kain, supaya kekuatanmu tidak keluar, kan?"
"Tidak, kain ini hanya untuk gaya saja," jawab Levia dengan canggung.
Ratu Peri melanjutkan, "Sebenarnya, penglihatan masa depanmu tidak hilang. Jangan kaget ya saat mendengarnya. Malam itu, kamu sedang kelelahan setelah mengangkat tubuh Hill yang jatuh ke jurang. Kamu tidak sadar, kan? Saat Xui terus menyerang Hill, serangan Xui menghancurkan area sekitarnya. Kamu yang saat itu tidak sadar, tubuhmu terhempas jauh, dan sebuah pohon menimpa tubuhmu hingga hancur. Kamu sudah mati saat itu."
Hill dan Levia terkejut mendengar penjelasan itu.
"Tunggu, itu tidak mungkin! Buktinya aku masih hidup sampai sekarang!" kata Levia, tidak percaya.
"Untungnya, kamu berada sangat dekat dengan Pohon Harapan. Tubuhmu yang hancur terangkat oleh pohon yang sedang bertumbuh. Daun dan energi dari Pohon Harapan memberi efek kehidupan, membuat pohon itu terus bertumbuh tinggi, dan secara perlahan tubuhmu beregenerasi. Pohon Harapan hanya bisa menghidupkan kembali makhluk yang mati jika mereka adalah ras peri dan berada dekat dengan pohon itu saat pohon itu sedang bertumbuh. Kamu beruntung karena mati di sana," jelas Ratu Peri.
"Jadi itulah kenapa saat pagi hari aku bangun, aku berada di atas daun Pohon Harapan dan tubuhku terasa segar, seperti terlahir kembali. Lalu penglihatanku hilang. Jadi, karena aku hidup kembali, apakah itu berarti aku bisa menggunakan kekuatanku?" tanya Levia, semakin penasaran.
"Tidak. Meskipun efeknya hilang, kamu tetap harus menunggu setidaknya satu tahun lagi," jawab Ratu Peri dengan serius.
"Sial! Jadi kekuatanku tidak berguna sama sekali," kata Levia, kesal.
"Hahahahaha," Raja Van Korla tertawa melihat kelakuan Levia yang kesal.
Levia memandang Hill yang sedang diam, menunduk dengan ekspresi murung.
"Hill, kamu kenapa?" tanya Levia dengan cemas.
"Aku... aku nggak tahu kalau ini sudah terjadi. Gara-gara aku menjatuhkanmu, kamu... kamu mati," jawab Hill, suaranya penuh penyesalan.
"Hey, tidak apa-apa, Hill. Lagipula aku masih hidup, kan? Jadi nggak usah dipikirkan lagi. Sekarang fokus saja pada penjelasan Ratu Peri, ya," kata Levia mencoba menenangkan.
"Baiklah, Levia," jawab Hill, meski masih tampak ragu.
Ratu Peri kemudian melanjutkan penjelasannya.
"Itulah yang terjadi pada kalian. Lalu, saat kalian pergi ke tempat Xix, kalian mungkin sudah tahu bahwa di tempat itu, waktu berjalan lebih lambat. Satu hari setelah kemunculan Pohon Harapan, perang di Kerajaan Magi semakin memburuk. Ada tiga kerajaan yang saling bertarung di sana, termasuk Yidh. Bahkan, ada juga monster-monster yang bergabung dalam perang itu. Mereka memiliki pasukan yang lebih besar, dan secara perlahan, Magi kehilangan banyak pasukannya."
Ratu Peri berhenti sejenak, seolah mengingat kembali kejadian itu, lalu melanjutkan, "Di dalam istana, para petinggi berencana menggunakan sihir terlarang untuk mengakhiri semua ini. Tetapi, masih banyak rakyat yang tinggal di Magi. Akhirnya, para petinggi itu tidak mendengarkan Raja Van, dan salah satu dari mereka menusuknya. Untung saja, luka itu tidak mengenai bagian vitalnya. Tetapi, Magi terbelah menjadi dua. Beberapa prajurit mendukung tindakan para petinggi, mengira raja sudah mati. Padahal, Raja masih hidup, meskipun dalam keadaan sekarat."
Ratu Peri menarik napas panjang, matanya terlihat penuh empati. "Aku biasanya tidak ikut campur dalam urusan manusia. Aku hanya melindungi hutan ini. Namun, ketika aku melihat perjuangan Hill di hutan ini, hati aku tergerak. Aku turun ke tempat manusia, bersama ratusan pasukan peri, untuk membantu Magi. Ras kami yang kecil membuat kami sulit untuk dilawan, dan para prajurit kesulitan melawan kami."
Levia dan Hill mendengarkan dengan seksama, sementara Ratu Peri melanjutkan, "Aku mengirim beberapa peri untuk membawa Raja Van ke hutan dan mengobatinya. Seperti yang kau tahu, aku bisa melihat dan mengetahui apa yang terjadi di seluruh Magi dan hutan ini. Saat itu, keadaan semakin kacau. Aku melihat beberapa orang mulai merapal sihir terlarang di sekitar istana. Kekuatan jahat yang menjijikkan mulai memenuhi kerajaan. Aku segera memerintahkan pasukan untuk mundur."
Ratu Peri tampak menatap jauh ke depan, seperti mengingat momen-momen itu dengan jelas. "Kemudian, aku melihat seorang pria dengan tanda di lehernya yang sedang bertarung. Dia adalah pengguna sihir teleportasi. Pengguna sihir teleportasi memiliki energi sihir yang sangat besar. Untungnya, dia berada di pihak Raja. Aku memintanya untuk memindahkan seluruh rakyat yang sedang berlindung di bawah tanah Magi, dan membuka gerbang sihir di berbagai tempat sesuai dengan lokasi yang aku beri tahu."
"Dia mengeluarkan lingkaran sihir di berbagai tempat, memindahkan seluruh rakyat dan prajurit dari kota, desa, dan semua tempat di Magi. Lingkaran sihir itu muncul tepat di bawah orang-orang yang tepat, di seluruh negara Magi yang besar ini. Meski dia sangat lelah dan merasakan sakit akibat banyaknya energi yang dikeluarkan untuk menciptakan lingkaran teleportasi, dia terus bertahan. Hingga akhirnya, dia berhasil memindahkan seluruh rakyat."
Ratu Peri terdiam sejenak, mengenang kembali pengorbanan besar yang dilakukan oleh pria itu. "Kami para peri merasa tidak akan sempat terbang menjauh dari kota. Dengan tubuh yang sudah lemah, pengguna teleportasi itu menghabiskan seluruh energi sihirnya untuk memindahkan kami, para peri, termasuk aku. Setelah itu, dia terjatuh, dan kami semua tiba-tiba berada di hutan ini."
"Tak lama setelah itu, ledakan besar terjadi di seluruh Magi. Pohon-pohon besar di hutan ini melindungi kami dari dampak ledakan itu. Pengguna sihir teleportasi itu mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan kami semua. Tujuan Hill adalah mencari pengguna sihir teleportasi, tetapi sekarang, Magi sudah tidak memiliki pengguna sihir teleportasi lagi."
Setelah Ratu Peri selesai berbicara, Hill, Levia, dan Helix terdiam. Beberapa saat kemudian, Raja Van dan Ratu Peri mulai berdiri untuk pergi.
"Sekarang, kalian istirahat saja. Tempat ini sudah sangat aman. Kita akan berbicara lagi besok. Oh, satu hal lagi—jangan khawatir tentang unicorn-nya. Dia sedang tidur di sana," kata Ratu Peri, sambil melangkah pergi.
Waktu berlalu, dan mereka bertiga hanya berbaring dalam keheningan, masing-masing tenggelam dalam pikiran. Tidak ada satu pun yang tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Akhirnya, Levia memecah keheningan.
"Hill, apa yang akan kamu lakukan sekarang? Magi sudah tidak punya pengguna sihir teleportasi. Orang itu mengorbankan hidupnya demi semua orang di Magi. Aku… aku nggak bisa berpikir lagi," kata Levia dengan suara berat.
Hill menatap langit, seolah mencari jawaban. "Pengguna sihir teleportasi itu benar-benar mengorbankan dirinya dengan baik. Setelah aku mendengarkan cerita Ratu Peri dan melihat perjalanan kita, aku sadar banyak orang yang punya kekuatan untuk berbuat jahat," jawab Hill, lalu terdiam sejenak. "Tapi aku nggak merasa dendam."
Levia menoleh dengan terkejut. "Kamu nggak merasa dendam sama orang yang merenggut kebahagiaanmu?"
Hill menggelengkan kepala pelan. "Dendam nggak akan menyelesaikan masalah. Kalau aku berusaha mencari pembunuh ayahku dan membunuhnya, itu nggak akan membuatku bahagia. Ayahku nggak akan kembali, dan kebahagiaanku nggak akan seperti dulu. Bahkan mungkin orang yang aku bunuh punya keluarga, dan mereka akan membalas dendam. Akhirnya, rasa dendam cuma akan melahirkan dendam yang baru."
Helix yang mendengarkan dari samping tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. "Oi oi, Vangke! Aku nggak nyangka anak sekecil kamu bisa ngomongin hal-hal kayak gitu, masalah bunuh-membunuh, hahahaha!"
"Berisik, Helix. Kamu tidur saja," jawab levia, dengan nada sedikit kesal.
"Paman Helix benar, aku nggak seharusnya membicarakan hal ini," kata hill sambil mengalihkan pandangannya.
Helix tertawa lagi, lalu bertanya, "Lalu, Hill, apa yang akan kamu lakukan sekarang?"
Hill menatap Levia sejenak, lalu menghela napas. "Sekarang aku sudah tahu ibu ku masih hidup, dan dia baik-baik saja. Itu sudah membuatku senang."
Levia tersenyum tipis. "Kamu cepat sekali menjadi dewasa, Hill. Aku senang sekali… meskipun badanmu masih pendek sih," ujarnya dengan nada bercanda.
"Sudahlah, Levia. Kita harus tidur. Aku sudah lelah."
Mereka bertiga akhirnya menutup mata, membiarkan tidur menjemput mereka. Waktu terus berlalu, hingga pagi hari tiba. Hill terbangun lebih awal dan melihat Levia serta Helix masih tertidur pulas.
Sungguh, mereka masih tertidur. Aku harus segera pergi ke Kota Magi. Semoga ibuku ada di sana. Jika tidak ada, aku akan minta pengguna teleportasi itu untuk memindahkanku. Aku ingat pasukan Yidh menunduk di depan ibuku, aku tinggal bilang kalau aku anak dari wanita yang mereka tunduki. Pasti mereka akan bantu aku… pikir Hill dalam hati, lalu diam-diam bangkit dari tiduran.
Hill berjalan pelan menuju unicorn, berusaha agar tidak ada yang melihatnya. Syukurlah, nggak ada yang melihatku...
Tiba-tiba, suara seseorang terdengar dari belakang. "Sudah kuduga, kamu akan pergi sendirian."
"Hah? Paman Helix? Kenapa kamu ada di sini?" Hill kaget dan langsung menoleh.
"Aku mengikuti kamu. Aku tahu kamu sedang merencanakan sesuatu. Tadi sore kamu ribut ingin bertemu ibumu, tapi malam ini tiba-tiba kamu jadi tenang. Kamu mencoba membuat Levia lengah, tapi aku beda. Aku sudah lama jadi ayah, aku bisa ngerti apa yang ada di pikiran anak sepertimu," jawab Helix dengan senyum.
Hill sedikit frustasi. "Paman Helix, aku harus segera bertemu ibuku. Jangan menghalangiku!"
Helix tertawa, "Hahahaha, mau bagaimana lagi, sekarang aku sudah anggap kamu seperti anakku sendiri. Jadi, aku nggak bisa biarkan kamu pergi sendiri. Kita kan sudah jadi keluarga. Aku ikut dengan kamu."
"Paman Helix..." Hill tampak bingung, tapi tidak bisa menolak.
"Yuk, kita pergi," kata Helix, sambil tersenyum penuh arti.
Mereka berdua menaiki unicorn, siap untuk melanjutkan perjalanan.
"Hill, kamu yakin meninggalkan Levia?" tanya Helix saat mereka mulai berangkat.
"Dia pasti akan mencegahku," jawab Hill dengan suara pelan, sedikit ragu.
"Hahaha, awalnya aku juga ingin mencegahmu, tapi aku rasa kamu tetap akan keras kepala. Mau nggak mau, aku harus ikut mengawasi. Tapi ingat baik-baik, kalau keadaan mulai berbahaya, kita harus segera pergi. Kita bisa mendekati mereka, tapi jangan sampai kamu turun dari unicorn," ujar Helix dengan serius.
"Baiklah, Paman Helix," jawab Hill, meski dalam hatinya masih ada sedikit kecemasan.