Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 - Tidak Sesuai Ekspetasi
Ujian susulannya tidak bercanda, memang benar Zain memanggil Nadin untuk mengerjakan soal yang diujikan. Tidak ada perlakuan khusus, soal dan durasi waktu yang dia berikan sama seperti mahasiswa yang lain.
Hanya saja, mungkin tempatnya berbeda. Jika temannya di ruang kelas, Nadin mengerjakan tepat di hadapan Zain. Rasanya apakah sama? Jelas saja tidak, dia lebih gugup dan semakin tidak fokus mengerjakan soal dengan posisi berhadap-hadapan semacam ini.
Terlebih lagi, di dalam ruangan tersebut Zain tidak sendiri. Ada beberapa dosen lain yang juga mengenal Nadin di sana. Dia yang sejak dahulu dikenal sebagai mahasiswi berprestasi jelas saja diledek lantaran harus ikut ujian susulan segala.
Salah satunya Anggara, dosen muda beranak satu dan sempat terang-terangan melamar Nadin sebagai istri kedua. Siapa sangka, pria ternyata ternyata cukup dekat dengan Zain bahkan candaannya juga terdengar menggelikan di telinga Nadin.
"Jangan terlalu serius, Nadin, bilang aja mau nilai berapa ... biar saya yang urus," ucap Anggara kemudian mendekat dan memeriksa lembar jawaban Nadin.
Pria itu tampak membaca, sementara Zain terus memantau dengan wajah super datarnya. "Zain, ampuni yang satu ini ya, kasihan ... sesekali pakai hati, jangan menyulitkan langkahnya."
"Hm, pergilah, kau hanya mengganggu ketenangannya."
Tidak seperti Anggara yang terlihat bersahabat, Zain justru sebaliknya. Sama sekali tidak ada senyum di sana walau Anggara terus saja mengedipkan mata entah apa maksudnya, yang jelas di mata Zain pria itu ganjen, itu saja.
Dia juga bisa menyimpulkan jika Nadin terlihat tak nyaman, baru setelah Anggara tidak lagi mengawasinya wanita itu bisa sedikit lebih tenang. Tanpa sedikit pun bersuara, Zain benar-benar memberikan kesempatan untuk Nadin menyelesaikannya.
"Lima menit lagi."
Tidak pernah bicara, sekalinya bicara berhasil membuat jantung Nadin berdegup tak karu-karuan. Masih ada beberapa soal yang belum dia selesaikan, kehadiran Anggara yang sok care padanya benar-benar merusak konsentrasi.
Beruntung saja, Zain mengusir pria itu tanpa perlu Nadin minta. Di sisa-sisa waktunya, Nadin masih berusaha menyelesaikan soal yang tersisa. Sialnya, baru setengah jalan Zain memintanya berhenti dan tidak melakukan apa-apa, sudah pasti hal itu karena waktunya sudah habis.
"Belum seles_"
"Tidak apa, waktunya sudah habis, cepat berikan," pinta Zain tak terbantahkan.
Nadin yang tak lagi punya kesempatan terpaksa mengumpulkan lembar jawaban itu dengan perasaan tak rela. Pertama kali dalam hidup, Nadin merasa belajar kerasnya tak berguna.
Entah memang faktor tak fokus hingga otaknya terasa tumpul, atau memang dasar soalnya diluar nalar. Yang jelas, soal-soal yang diberikan membuat otak Nadin seolah dipaksa kerja keras hingga berasap.
Begitu diserahkan, Zain juga segera memeriksanya. Suasananya semakin lebih tegang, Nadin melihat dengan nyata bagaimana jawabannya dicoret-coret di depan sana.
Sudah seperti bimbingan skripsi, Nadin dibuat tertekan mana kala melihat tanda silang bertebaran di lembar jawaban. Semakin lama, jantung Nadin semakin berdetak tak karuan hingga di detik-detik terakhir Nadin dibuat tercengang kala melihat hasil akhirnya.
D, itulah nilai akhir Nadin dari ujian susulannya sore ini. Mata Nadin mengerjap pelan, mana tahu salah lihat. Hingga, ketika Zain serahkan dia sampai tidak bersedia menerimanya.
.
.
"D?"
"Hm, apa matamu rabun juga?"
Dada Nadin panas, dia menarik napas dalam-dalam dan mengepalkan tangan yang dia sembunyikan di balik meja. Dia tahu Zain memang terkenal pelit, tapi tidak dia sangka akan benar-benar sepelit ini.
"Apa tidak salah, Pak? D?"
"Tidak, nilaimu sedikit lebih baik dibanding teman-temanmu."
Dari kejadian ini Nadin simpulkan, bahwa nilai A dari Zain agaknya mustahil dia dapatkan. Terbukti, kedatangannya malam itu memang tak lebih dari sebuah kebodohan. Ya, Nadin berusaha lapang dada memasukan lembar jawaban dengan nilai jelek yang pertama kali dia dapatkan itu ke dalam tas, sudah pasti sembari menahan emosi.
Mengkhayal sekali dia dapat nilai A, bahkan plus-plus kalau kata Jihan. Nyatanya, jangankan dapat nilai A, B saja sangat jauh dari jangkauan. Agaknya dia terlalu lancang berekspetasi, jujur saja sewaktu pertama kali masuk Nadin berpikir jika Zain akan memberikan keistimewaan untuknya.
"Tahu begini mending aku traktir Jihan saja." Nadin membantin, penyesalannya bukan lagi perkara nekat mendatangi Zain waktu itu, tapi juga ikut ujian susulan sore ini.
Tak bisa dipungkiri, siapapun yang berasa di posisinya jelas saja patah. Wajahnya tak lagi murung, melainkan cemberut di hadapan Zain, sungguh dia tidak mampu untuk terlihat tenang-tenang saja di hadapan Zain.
"Kamu kenapa? Kurang puas nilainya segitu?"
Sebenarnya iya, tapi jika Nadin mengatakan kurang puas, maka besar kemungkinan Zain akan menawarkan ujian ulang. Dan, Nadin tidak ingin dibuat gila kedua kalinya. "Puas, Pak, mungkin memang segitu kemampuan saya ... next time saya akan berusaha lebih baik lagi."
Zain tersenyum tipis, agaknya Nadin tidak lagi berambisi kali ini. Bukan putus asa, tapi dia pasrah dan menerima saja, seperti slogan mereka mungkin inilah yang terbaik.
"Yakin? Padahal masih ada waktu andai mau mengulang lagi."
Tanpa keraguan, Nadin mengangguk mantap karena memang sama tidak ada niat sedikit pun untuk mengulang lagi, tidak ada. Saat ini, Nadin hanya ingin pulang karena dia merasa sudah telanjur lelah.
Tanpa menunggu persetujuan Zain, dia berlalu pergi dari ruangan itu. Berulang kali Nadin menyabarkan diri, tapi sepanjang perjalanan dia terus mengomel dan meratapi nasib buruknya.
"Woah, bisa-bisanya ... D? Ya, Tuhan, kepalaku sampai sakit, apa harus bisa mengendalikan air dulu baru dia kasih nilai A?"
Nadin Marah? Iya, baru kali ini dia ingin mengubur dirinya sendiri. Dengan langkah panjangnya, Nadin berjalan menelusuri trotoar hingga kepalanya semakin runyam berkat perpaduan klakson dari para pengendara yang berlalu di jalan raya.
Biasanya, kekesalannya akan hilang jika dibawa jalan-jalan, tapi sore ini semakin lama dia berlalu, dia semakin kesal dan ingin sekali meluapkan amarah.
"Tidak bisa dibiarkan, orang sepertinya tidak cocok jadi dosen ... udah galak, pelit, idup lagi!!"
Dia terus mengomel, Nadin sudah berjalan cukup jauh dan terhenti kala sebuah mobil hitam menepi dengan suara klakson yang membuat jantung Nadin seakan berpindah dari tempatnya.
Sejak tadi dia umpat, kini pria itu benar-benar ada di hadapannya, dan jelas Nadin tidak berani mengomel secara langsung. Masih dengan kacamata hitam yang bertengger di hitung bangirnya, Zain menatap Nadin seraya memerintahkannya untuk masuk segera.
"Masuklah, sore hari tidak begitu baik untuk jalan kaki."
"Duluan saja, aku mau jalan-jalan sebentar." Alasannya saja, dia masih kesal perkara nilai D dan belum ada niatan untuk duduk di samping Zain.
Begitu mendapat penolakan, Zain tiba-tiba turun hingga Nadin gelagapan dibuatnya. Tindakannya sungguh tak terbaca, Nadin yang takut jika dilempar ke tengah jalan raya memilih masuk tanpa menunggu diperintahkan untuk kedua kalinya. "Kenapa harus digiring dulu, dia sejenis itik atau bagaimana?"
.
.
- To Be Continued -