Widia Ningsih, gadis berusia 21 tahun itu kerap kali mendapatkan hinaan. Lontaran caci maki dari uanya sendiri yang bernama Henti, juga sepupunya Dela . Ia geram setiap kali mendapatkan perlakuan kasar dari mereka berdua . Apalagi jika sudah menyakiti hati orang tuanya. Widi pun bertekad kuat ingin bekerja keras untuk membahagiakan orang tuanya serta membeli mulut-mulut orang yang telah mencercanya selama ini. Widi, Ia tumbuh menjadi wanita karir yang sukses di usianya yang terbilang cukup muda. Sehingga orang-orang yang sebelumnya menatapnya hanya sebelah mata pun akan merasa malu karena perlakuan kasar mereka selama ini.
Penasaran dengan cerita nya yuk langsung aja kita baca....
Yuk ramaikan ....
Update setiap hari...
Selamat membaca....
Semoga suka dengan cerita nya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
"Maaf Mbak, apa Mbak Henti ada di rumah?" tanya Nia seraya menuju ke arah rumah Henti.
"Ada Bu, panggil saja orangnya di dalam."
"Baiklah Mbak, terima kasih. Maaf mengganggu waktunya," sahut Nia yang merasa tidak enak.
"Nggak apa-apa kok Bu, sama-sama."
Nia, Wendi dan Leon pun mengayunkan kakinya menuju rumah Henti yang tepat di sebelahnya.
Tok!
Tok!
Tok!
"Assalamualaikum," salam Nia memberanikan diri menggedor pintu rumah Henti.
Lama sudah mereka menunggu tidak ada jawaban, kurang lebih 5 baru terdengar suara jawaban dari dalam setelah beberapa kali Nia mengucapkan salam.
"Wa'alaikumsalam," terdengar langkah kaki Henti yang buru-buru keluar.
"Si-siapa?" ucapan Henti sedikit lemas begitu tahu siapa yang datang bertamu di rumahnya pagi hari, lidahnya pun keluh.
"Mbak Henti," panggil Nia dengan lembut, meskipun hatinya merasa sedikit takut dan gugup bertemu dengan Henti kembali setelah sekian lama.
"Ni-a! Ngapain kamu ke sini?" tanya Henti dengan terbata-bata.
"Apa kabar Mbak? Bisa bicara sebentar?"
"Nggak usah basa-basi Bu langsung saja, tu the point!" celetuk Wendi yang sudah muak melihat Henti.
"Wendi, Nia. Mbak minta maaf sama kalian berdua, aku menyesal sudah berbuat jahat sama kalian." isak Henti mengeluarkan air mata yang di anggap palsu oleh Wendi.
"Jangan pasang topeng kamu Mbak, aku sudah muak dengan perlakuan kamu selama ini. Dan sekarang dengan mudahnya kamu meminta maaf!" bentak Wendi yang sudah tidak kuat mengingat masa lalunya.
"Pak!"
"Keluarkan saja uneg-uneg Ibu selama ini, biar dia tahu betapa sakitnya kita dengan kejahatan dia dulu!"
Henti semakin menjadi mengeluarkan air matanya, reflek Nia memeluk erat kakaknya yang sedang bersedih. Ikatan batin saudara sangat kental, meskipun Henti sudah kejam dengannya. Nia membuang rasa egoisnya demi kedamaian dalam bersaudara, ia sangat yakin kakaknya meminta maaf dengan tulus dari hati.
"Gara-gara kamu, anak saya jadi bahan gosip semua orang!" bentak Wendi dengan emosi yang sangat tinggi, Henti langsung mendongakkan kepalanya. Ia tidak percaya dengan ucapan adik iparnya.
"Jangan asal menuduh anak saya!"
"Cih! Orang maling mana ada yang mau mengaku!"
.
.
.
Plak!
Plak!
Baru saja Dela pulang bekerja, mengucapkan salam ketika masuk ke dalam rumah. Henti langsung memberi hadiah sebuah tamparan pada Dela. Betapa terkejutnya Dela sebuah tamparan mendarat ke sebelah pipinya, seraya memegang pipinya yang memerah.
"Ada apa Mah? Kenapa langsung menampar aku, baru juga masuk?" tanya Dela yang meringis kesakitan.
"Apa kamu sudah gila, ha!" pekik Henti seperti orang kesurupan, ia mengepalkan kedua tangannya mencoba memukul Dela. Namun, hatinya masih melembut tidak ingin melukai anaknya lagi.
"Apa maksud Mamah, aku gak ngerti!" balas Dela dengan ucapan yang sedikit tinggi.
"Apa yang sudah kamu lakukan sehingga membuat Widi terus-terusan di kejar wartawan?" tanya Henti dengan mata melebar.
"Apa pedulinya Mamah sama Widi! Biasanya Mamah juga benci sama mereka," geram Dela secara tidak langsung Mamahnya berubah jadi peduli dengan keluarga Widi.
"Hei, apa kamu lupa!" Henti mendorong kepala Dela dengan jari telunjuknya.
"Mau kamu di bunuh sama Widi seperti psikopat, ha!" sambung Henti yang sudah kehabisan akal untuk membujuk anaknya.
"Psikopat ancaman Widi! Aku gak peduli, karna dia sudah merebut orang yang aku sukai!" berontak Dela bak kesurupan,
Henti pun bingung sejak kapan Widi merebut apa yang di sukai Dela.
"Memangnya Widi merebut apa dari kamu?" tanya Henti dengan nada yang melembut, ia juga ingin tahu apa masalahnya sehingga Dela berbuat nekat.
"Buat apa Mamah tanya, sedangkan pikiran Mamah hanya fokus pada Widi! Sejak kapan Mamah peduli sama mereka? Sampai-sampai Mamah rela menampar aku demi mereka." kesal Dela dengan Mamahnya.
Seketika Henti tersadar dengan ucapan Dela Ia terus meratapi tangannya yang sudah menampar anaknya, ia benar-benar sangat menyesal.
"Maafkan Mamah, nak." isak Henti yang ingin memeluk Dela. Namun Dela menghindar dari Mamahnya, dan berlalu masuk ke dalam kamar.
Brak!
.
.
.
Keesokan harinya ....
Widi yang hendak berangkat bekerja tiba-tiba saja Ibunya memanggil dari dalam.
"Widi!" Widi pun menoleh ke belakang terlihat Ibunya sedikit berlari.
"Ada apa Bu?" tanya Widi menatap heran.
"Ini, bekal kamu ketinggalan," ucap Nia menyerahkan kotak bekal Widi.
"Ibu, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Widi menutup Ibunya yang sedang gugup.
"Boleh sayang, kamu mau nanya apa?" balas Nia yang berusaha bersifat seperti biasa, terlihat Wendi berjalan menuju mereka.
"Apa Ibu dan bapak kemarin ke rumah ua Henti?" tanya Widi dengan tatapan berharap Ibunya menjawab dengan jujur.
"Tahu dari mana kamu?" sambung Wendi yang baru tiba berdiri di samping istrinya.
"Widi minta maaf karna gak bilang sama bapak dan Ibu terlebih dahulu, rumah lama Widi kontrakkan sama orang lain. Dari pada rumah itu hancur karena lama tidak di huni," sahut Widi merasa bersalah pada orang tuanya.
"Nggak apa-apa, bapak malah senang lihatnya," balas Wendi dengan sumringah, begitu juga dengan Nia.
"Tapi apa bapak dan Ibu mampir ke rumah ua Henti?" tanyanya lagi dengan tatapan yang penasaran.
"Sudah-sudah, nanti kamu terlambat ke kantornya."
"Iya, ini sudah jam 8 kurang. Buruan gih, gak enak kalo terlambat," seru Nia mendorong Widi hingga masuk ke dalam mobil.
Sesampainya di mobil, Widi masih termenung seperti ada yang disembunyikan oleh kedua orang tuanya.
"Sedang memikirkan apa, non?" tanya sopir pribadinya Dani.
Widi tertegun begitu Dani menanyakan padanya.
"Saya merasa Ibu dan bapak seperti menyembunyikan sesuatu," balas Widi yang tampak lesu.
"Jangan suudzon dulu non, barangkali Ibu dan bapak nona tidak ingin merepotkan anaknya lagi."
"Maksud bapak apa?" tanya Widi yang sedang di landa kebingungan.
"Ya, mungkin ada masalah yang tidak seharusnya nona Widi ketahui." ada benarnya juga ucapan Dani. Widi menganggukkan kepalanya.
Sesampainya di halaman kantor, Widi langsung masuk ke dalam dan menggunakan tombol absen dirinya. Widi bergegas masuk ke dalam ruangan kerja, ia penasaran apakah hari ini ada info penting.
Klek!
"Selamat pagi Bu Widi," sapa Dina dengan hormat begitu bosnya datang.
"Pagi Dina. Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Widi basa-basi.
"Insya Allah hari ini baik bu."
"Bagaimana, apa ada info penting pagi ini?" tanya Widi meletakkan tas mewahnya di atas meja dan duduk di kursi empuk.
"Nanti ada rapat dengan Pak Cakra, Bu."
"Jam berapa?"
"Sekitar jam 11 nanti Bu," Widi memijit pelipisnya mengingat masalah yang tak kunjung usai.
"Apa kamu sudah mendapatkan info tentang foto itu?" tanya Widi dengan mata terpejam yang sedang menikmati pijitannya sendiri.
"Belum Bu, masih di usahakan mencarinya."
"Kalo bisa selesaikan hari ini juga, aku pusing! Masalah tak kunjung usai." Widi mendengus kesal.
"Apa Ibu mau sesuatu, biar sedikit rileks." tawar Dina pada Widi.
"Boleh, pesankan saya cappucino sedikit gula." lirih Widi menyenderkan tubuhnya di kursi.
"Baik Bu." Dina langsung berlalu keluar dari ruangan Widi.
Huft!
"Apalagi ini ya Allah, kapan coba selesainya masalah yang engkau berikan pada aku. Tapi nggak apa-apa semoga aku kuat menghadapinya, bantu aku menyelesaikannya ya Allah," gumam Widi.