NovelToon NovelToon
Happy Story

Happy Story

Status: tamat
Genre:Tamat / Cinta Murni
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Riska Darmelia

Karya ini berisi kumpulan cerpenku yang bertema dewasa, tapi bukan tentang konten sensitif. Hanya temanya yang dewasa. Kata 'Happy' pada judul bisa berarti beragam dalam pengartian. Bisa satir, ironis mau pun benar-benar happy ending. Yah, aku hanya berharap kalian akan menikmatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riska Darmelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tetanggaku Menyatakan Perasaan part 1.

Seminggu lalu ada yang mengajakku pacaran. Bukan orang yang special, tapi terkenal dengan keramahannya di kampungku. Hari itu kami naik angkut yang sama sepulang sekolah dan setelah membayar ongkos, dia bilang ingin bicara denganku. Hati ke hati, empat mata.

“Aku suka kamu. Mau jadi pacarku?”tanyanya di pinggir jalan, ditengah hari saat matahari bersinar sangat terik.

Dia orang pertama yang menyatakan perasaan padaku. Aku tertarik untuk pacaran, sayangnya aku tidak ingin pacaran dengan orang asing. “Aku sibuk belajar. Nggak ada waktu buat pacaran. Maaf,”tolakku sopan.

Aku berjalan pergi meninggalkannya karena merasa semuanya sudah selesai, tapi ia meraih tanganku. Aku menepisnya, tentu saja. Aku tidak biasa bersentuhan dengan laki-laki.

“Kita bisa mencoba bersama. Aku mau jadi pasangan kamu,”katanya, membuat hatiku berdesir.

Aku berpikir lama. Rasanya tidak buruk juga kalau aku memulai sebuah hubungan. Tapi bagaimana caranya membuat semuanya terasa nyaman? Sebuah ide menghampiri otakku. “Oke,”kataku percaya diri. “Selama seminggu kita coba untuk pacaran. Kalo selama itu nggak ada yang menarik dari pacaran kita putus.”

“Nggak masalah. Asal kamu mau mencoba,”katanya.

Di siang yang terik itu kami sepakat untuk memulai sebuah hubungan. Hubungan yang dimataku alasannya terlalu main-main. Ada rasa, lanjut. Tidak ada rasa, putus. Dan akulah orang bodoh yang mengusulkan ide itu. Jujur, aku hanya ingin sedikit bermain-main.

Tapi dua hari menjalin hubungan bersamanya mulai membuatku berpikir kalau pacaran itu menyenangkan. Setiap malam dia datang ke rumahku dan kami mengobrol tentang banyak hal. Harinya, hariku. Temannya, temanku. Aku tidak pernah merasa bosan mengobrol dengannya walau malam yang larut membuatku ingin mengakhiri percakapan kami. Dia selalu menunggu diusir Ibuku.

Tidak ada rasa berdebar-debar di hatiku saat menatapnya. Aku hanya merasa obrolan kami menyenangkan dan aku jadi tidak kesepian lagi. Mungkin bisa bilang dari pada menganggapnya sebagai pacar, aku lebih menganggapnya sebagai teman yang menyenangkan.

“Aku takut kamu bakalan jadi benci aku,”katanya di hari ke-4 kami pacaran.

“Kenapa?”tanyaku bingung. Rasanya aku tidak pernah menunjukkan ketidaksukaanku padanya walau omongannya kadang membuatku merasa kami bersebrangan. Dia membuatku jadi seperti seseorang dengan cara pikir berbeda berada dalam kondisi harus menyetujui pikiran lawan bicaranya. Kadang aku juga terjebak dalam kondisi tidak tahu harus berkata apa dan juga kondisi ingin marah karena tersinggung dengan cara pikirnya. Tapi secara keseluruhan dia menyenangkan, karena itulah aku bisa menoleransinya.

“Biasanya nggak ada orang yang setuju sama pemikiranku, itu aja.”

Aku merasa harus jujur. “Kamu mau dengar pendapatku tentang kamu?”tanyaku.

“Iya.” Dia terlihat bingung. “Selama ini kamu belum bilang pendapatmu yang sebenarnya?”

“Belum,”kataku dengan nada tegas penuh keyakinan.

“Kalo gitu, ayo cerita,”katanya terdengar tertarik sekali mendengar omonganku. Dimataku ia terlihat seperti seseorang yang bersiap-siap mendengar pujian tentang dirinya sendiri. Aku berpikir aku harus membelai egonya dulu sebelum berkata sejujurnya agar ia tidak terlalu sakit hati. Meski pun sebagian kecil dari nuraniku berkata aku seperti membiarkannya makan kenyang sebelum di sembelih.

“Kamu orang yang ramah, punya wajah yang menarik dan pencerita yang baik.”

Dia tertawa, terlihat senang sekali mendengar penuturanku.

Aku tertawa di dalam hati, bersiap menyerangnya. “Sayangnya kamu terlalu idealis dan tidak realistis. Juga terlalu suka membanggakan lingkunganmu dan kelihatannya kamu terlalu optimis. Bukan hal yang buruk buat kamu mungkin, tapi rasanya nggak sesuai dengan pikiranku. Kita nggak cocok. Itu yang aku tau.” Puas sekali rasanya mengakhiri penuturanku.

Ia terdiam sangat lama dan aku cuma bisa menatapnya tanpa mencoba

menyembunyikan senyum. Dia akhirnya pamit sambil tertunduk, membuatku merasa sedikit menyesal karena telah berkata terlalu jujur. Aku khawatir besok dia tidak akan datang lagi. Aku masih suka mendengar suaranya yang dalam dan maskulin, hal yang lupa kusebutkan sebagai kelebihannya. Aku juga suka sekali mendengarnya bercerita tanpa berpendapat. Aku berharap dia masih mau datang.

Dia muncul di pintu rumahku sore ini, lebih cepat dari biasanya. Dengan sebuah kotak hadiah di tangannya, ia tersenyum padaku. “Hari ini aku ada urusan. Semoga hadiah dariku bisa mengisi malammu menggantikan aku dan obrolan kita.”

“Kamu nggak nggak tersinggung dengan omonganku semalam?”tanyaku lega.

Dia menggeleng. “Kamu bikin aku sadar dan berpikir ulang tentang diriku. Baru kamu orang yang bicara begitu tentang aku. Aku nggak senang tapi aku menghargai pendapatmu.” Ia mengulurkan kotak hadiah yang dia pegang padaku. “Semoga kamu suka.”

Aku mengambil kotak cantik itu dari tangannya. “Makasih,”kataku sambil tersenyum.

“Sama-sama. Sampai ketemu lagi.” Setelah berkata begitu, dia membalikkan badan dan pergi.

Aku menatap kepergiannya sampai ia hilang dikejauhan. Aku masuk ke kamarku lalu membuka kotak yang lumayan besar itu. Isinya sebuah jaket berwarna biru tua dan sebuah buku novel. Desain jaket itu kasual unisex, jenis jaket yangt belum pernah kupunya. Bahannya lembut dan hangat sekali. Aku rasa dia jenis orang yang pintar memilih barang.

Ada kartu yang di sertakan bersama jaket di dalam kotak hadiah yang kuterima. Dia menulis: Semoga jaket ini selalu berhasil menghangatkan kamu. Aku akan bahagia kalau kamu mau memakainya. Baca novelnya juga, ya.

Aku tersenyum. Dia benar-benar laki-laki yang berhati baik.

Dia tidak datang lagi ke rumahku, bahkan saat waktu yang ia minta berakhir. Aku juga tidak pernah melihat dia saat pergi sekolah lagi. Biasanya, walau jarang, kami akan naik angkot yang sama dan sibuk dengan diri kami sendiri sampai angkot berhenti di sekolah. Kami lalu akan berjalan bersama tanpa mengacuhkan satu sama lain. Saat itu kami belum jadi orang yang saling bicara maski kadang aku menyadari kalau dia sering menatap lama wajahku.

“Bang Nino nggak pernah ke rumah lagi, kak?”tanya adik kelasku yang bernama Vivi.

Kami sedang mengikuti ekskul catur. Pertanyaan Vivi semakin merusak mood-ku yang akhir-akhir ini memang sudah jelek karena Nino yang berhenti bertamu ke rumahku. Karena itu, aku diam saja.

“Marah, ya?”tanya Vivi dengan suara lembut dan manis.

“Kelihatan, kan?”

“Ih… kok gitu, sih? Aku kan cuma nanya,”protes Vivi.

“Kamu tau dari mana kalo Nino nggak ke rumahku lagi?”

Vivi tertawa. “Tuh, kan! Tebakanku bener, kan?”

“Iya,”jawabku malas. “Kok kamu tau?”

“Habisnya Kak Raya nggak ngomongin Bang Nino lagi. Kemarin-kemarin Kak Raya kan sering banget ngomongin dia. Makanya aku ngira gitu.”

“Tau, tuh, cowok aneh. Aku nggak tau maunya apa,”omelku.

“Kak Raya pasti patah hati, ya?”tanya Vivi dengan suara manis yang membuatku muak.

Aku mendelik, lalu berdiri dan berjalan keluar dari ruang ekskul catur. Pembimbing memanggil namaku tapi aku tetap meneruskan langkahku menuju toilet sekolah. Biasanya Vivi adalah orang yang menyenangkan, tapi kadang dia bisa menyebalkan juga.

Toilet sekolah yang cuma satu ruangan untuk semua siswi, pintunya terkunci. Aku mengetuk pintu dan penggunanya mengatakan kalau mereka sedang ganti baju. Aku pikir mereka mungkin siswi-siswi yang mengikuti ekskul olah raga. Karena aku pergi ke toilet cuma untuk menghindari omongan Vivi, aku mengganti tujuan menjadi kantin sekolah.

Kantin sekolah benar-benar kosong. Aku tidak menyangka, ternyata seluruh murid sekolahku benar-benar patuh mengikuti ekskul. Aku memilih memasuki kantin yang menjual mie rebus bakso. Pemilik kantin tersenyum padaku.

“Mau makan?”tanyanya.

“Iya. Porsi biasa, Bu,”kataku.

Sambil menunggu aku berniat mengeluarkan HP dari saku rok. Aku memasukkan tanganku dari saku rok, lalu menyadari kalau HP-ku sudah tidak ada di sana. Jantungku berdegup kencang karena panik. HP yang kupakai sebenarnya adalah HP ayahku. Kalau HP-itu hilang, hidupku bisa seperti berada di neraka.

“Bu, pesanan saya di simpan dulu, ya. Ini uangnya. Saya ada perlu sebentar,”kataku pada pemilik kantin.

“Iya. Nanti ke sini lagi, ya. Saya tutup setelah jam istirahat berakhir,”pesannya.

“Iya,”kataku sebelum pergi. Sambil berlari aku melirik jam tanganku. Jam istirahat ke dua di mulai kurang dari sepuluh menit lagi. Aku masih punya waktu untuk menyantap pesananku.

Aku berjalan secepat mungkin sambil mencari HP-ku di sepanjang jalan yang tadi kulewati. Saat berada di dekat sebuah gedung kelas, aku melihat HP-ku tergeletak manis di dekat sudut gedung. Aku meraihnya tanpa melihat jalan. Saat itulah sebuah kaki menginjak tanganku yang sedang memegang HP.

Aku menjerit kesakitan. Rasa kesal di hatiku semakin membara saat aku melihat wajah Nino yang ternganga.

“Sorry, aku nggak ngeliat kalo kamu lagi ada di situ tadi,”katanya.

Aku membersihkan tanganku yang terinjak kakinya. Setelah mendengus padanya aku berjalan untuk kembali ke kantin. Aku duduk di tempat yang aku duduki tadi lalu menyadari kalau Nino mengikutiku. Aku mencoba mengacukannya, tapi saat Nino duduk di sampingku dan memesan makanan juga, aku tidak bisa menahan kekesalanku.

“Kamu ngapain, sih?”tanyaku kesal.

“Makan. Kamu juga, kan?”katanya dengan wajah polos.

Aku ingin sekali mengusirnya, tapi aku tahu pemilik kantin butuh dagangannya habis. Aku tidak mungkin mengusir pembelinya. Jadi aku terpaksa menahan kekesalanku. Jadi aku mulai makan dan mengacuhkannya.

“Kamu apa kabar?”tanya Nino dengan suara ramah dan lembut, membuat hatiku luluh.

“Baik,”jawabku datar.

Nino mengangguk-angguk.

Aku merasa aku harus mencoba memberanikan diri untuk menanyakan hal yang mengganjal di hatiku. “Kenapa kemarin kamu nggak datang lagi setelah ngasih aku kado?”

Nino tersenyum, tapi tidak menjawab pertanyaanku. Aku mengalihkan mataku dari makananku ke wajahnya. Nino terlihat melamun. Mungkin ia sedang memikirkan sesuatu. Aku merasa kalau aku tidak boleh mendesaknya. Jadi aku berusaha tenang dan mulai menyantap makananku.

“Kamu keringetan,”kata Nino.

Aku mengambil tisu di meja untuk mengelap keringat di dahiku. “Aku kepanasan,”kilahku untuk menyembunyikan kegugupanku karena tidak punya pilihan lain.

“Di hari mendung kayak gini?”

Aku malu sekali. “Aku juga kepedasan.”

“Kamu bahkan makan mie tanpa sambal.”

Aku tertawa menyembunyikan rasa malu yang sudah bertumpuk. “Terserah deh,” kataku. Karena gugup aku mempermalukan diriku terlalu jauh.

Nino hanya tersenyum merespon tawaku. “Raya, aku masih boleh datang ke rumahmu untuk ngobrol?”

Aku menggeleng. “Aku punya kerjaan lain selain ngobrol. Maaf, No. Mending kamu cari cewek lain aja.”

“Aku suka ngobrol sama kamu. Kamu menyikapi omonganku dengan pintar. Tolong kasih aku kesempatan buat jadi temanmu lagi.”

“Maaf. Aku nggak bisa.”

“Aku mohon.”

Aku hanya mendiamkan Nino walau hatiku sudah menyuruhku untuk segera pergi. Aku tidak rela meninggalkan makananku yang masih banyak di mangkuk.

“Aku minta waktu seminggu lagi buat ngobrol sama kamu, Raya.”

“Nggak.” Aku tidak mau di tinggal lagi saat sudah berniat buka hati. Tapi aku tidak akan mengakui kalau aku berniat membuka hatiku untuk Nino. “Aku nggak mau berbagi cerita lagi sama kamu.”

Nino tidak menanggapi perkataanku. Keheningan mengapung di antara kami, membuatku tidak nyaman.

“Iya, aku ngerti. Maaf udah ganggu,”katanya sebelum bangkit bari kursi yang tadi dia duduki.

“Katanya mau makan,”ejekku.

Nino masih sempat tersenyum padaku. “Nanti aja.”

Setelah Nino pergi aku merasa sedikit munafik. Seharusnya aku tidak merajuk dan menerima tawaran pertemanan darinya. Karena sebenarnya aku juga merindukan obrolan kami.

1
𝕻𝖔𝖈𝖎𝕻𝖆𝖓 menuju Hiatus
Hai ka.....
gabung di cmb yu....
untuk belajar menulis bareng...
caranya mudah cukup kaka follow akun ak ini
maka br bs ak undang kaka di gc Cbm ku thank you ka
Riska Darmelia
〤twinkle゛
Terima kasih sudah menghibur! 😊
Riska Darmelia: sama-sama/Smile/
total 1 replies
Tiểu long nữ
Suka dengan gaya penulisnya
Riska Darmelia: makasih.
total 1 replies
🍧·🍨Kem tình yêu
Nggak kebayang akhirnya. 🤔
Riska Darmelia: terima kasih karena sudah membaca.😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!