Rasa bersalah karena sang adik membuat seorang pria kehilangan penglihatan, Airi rela menikahi pria buta tersebut dan menjadi mata untuknya. Menjalani hari yang tidak mudah karena pernikahan tersebut tak didasari oleh cinta.
Jangan pernah berharap aku akan memperlakukanmu seperti istri, karena bagiku, kau hanya mata pengganti disaat aku buta - White.
Andai saja bisa, aku rela memberikan mataku untukmu - Airi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
Tak seperti pengantin baru lainnya, baik White maupun Airi sama-sama diam saat keduanya berada dikamar pengantin. Tak ada hiasan apapun disana, bahkan sekuntum mawarpun tak terlihat, apalagi taburan kelopak bunga dan lilin. Tapi buat apa juga membuang uang untuk dekorasi kamar pengantin, toh si pengantin pria tak bisa melihat.
Melihat White yang melepas jas lalu meletakkan disebelahnya, Airi segera mendekati dan berniat membantu.
"Bolehkan aku membantumu?" Airi meminta izin lebih dulu.
"Aku hanya buta, bukan tak punya tangan," sahut White ketus.
Airi paham maksud kalimat tersebut, itu artinya, White tak butuh bantuannya. Dia kembali ketempatnya semula, duduk dikursi rias sambil menatap White. Memperhatikan suaminya yang melepaskan satu persatu kancing bajunya lalu melepas dan melempar baju tersebut kesembarang arah.
Meski masih mengenakan kaos dalam, dada bidang serta perut rata White terlihat jelas. Pria dihadapannya itu sungguh sempurna, batin Airi. Wajah tampan, tubuh atletis, serta karier yang cemerlang, tapi sayang, dia harus mengalami kebutaan sebab Abian. Setiap ingat itu, Airi merasa sangat bersalah.
Airi mengambil kemeja putih milik White lalu menaruhnya dikeranjang cucian.
"Apa kau mau sesuatu, aku bisa mengambilkannya. Atau mungkin mau mandi, biar aku siapkan airnya," tawar Airi.
"Apa kau tahu posisimu disini?" tanya White.
"Maksudnya?"
"Ingat, aku menikahimu bukan untuk menjadikanmu istri, tapi menjadikanmu mata untukku. Jadi jangan pernah bermimpi aku akan memperlakukanmu dengan baik. Kau hanya mata, perawat, sekaligus pembantu untukku," tekannya.
"Ya, aku tahu." Airi sama sekali tak sakit hati mendengar ucapan kasar White barusan. Sebelum menikah, dia sudah menyiapkan mental karena dia tahu, kemungkinan besar apa yang akan terjadi dalam rumah tangganya.
"Bagus. Dan satu lagi, jangan menyentuhku tanpa aku minta."
"Ya," sahut Airi pelan.
"Aku mau mandi, atur suhu air di shower, aku tak suka berendam."
"Baiklah, tunggu sebentar." Airi harus selalu menjawab semua ucapan White karena pria itu tak akan tahu jika dia hanya mengangguk ataupun menggeleng saja.
Airi ke kamar mandi untuk mengatur suhu air manjadi hangat. Dia juga menyiapkan handuk, sabun, sampo serta sikat gigi yang sudah diberi odol. Meletakkan sumua benda itu kedekat shower. Setelah semua siap, dia kembali kekamar untuk memanggil White.
"Apa perlu aku bantu ke kamar mandi?" tawar Airi.
"Tidak perlu." White berdiri, berjalan pelan sambil meraba-raba sekitaran. Kemarin saat keluar dari rumah sakit, mama Nuri menawarkan tongkat, tapi ego White yang tinggi, membuat dia menolak tongkat tersebut. Dia tak mau terlihat seperti orang buta yang menyedihkan dengan berjalan memakai tongkat.
Sebenarnya White agak takut juga berjalan sambil meraba seperti ini. Apalagi ini bukan kamarnya yang dulu, dia tak begitu familiar dengan letak barang-barang disini. Dia terpaksa pindah kelantai bawah karena tak mungkin menaiki tangga menuju kamarnya yang sebelumnya.
"Peganglah tanganku, aku antar ke kamar mandi," Airi tak bosan-bosan menawarkan bantuan.
"Aku bilang tidak perlu," bentak White. Pria itu lanjut berjalan, tangannya terus meraba raba agar tak sampai menabrak sesuatu.
"Awas!" pekik Airi.
Dug
"Awww...." White mengaduh kesakitan saat kakinya tersandung sebuah meja.
"Apa sakit? Biar aku lihat." Airi berjongkok didepan White lalu memeriksa kaki pria itu. Sedikit memar, tapi tak terlalu parah.
"Minggir, aku mau jalan," White malah menggunakan kesempatan itu untuk menendang Airi hingga terjengkang.
"Awww.." Airi meringis saat pantatnya mencium lantai yang keras.
"Sakit?" tanya White sambil tersenyum miring. "Itu tak seberapa dibanding adikmu yang telah membuatku buta."
Airi hanya diam. Betul yang dikatana White, ini tak seberapa dan mungkin masih permulaan. Daripada mengeluh, lebih baik dia menyiapkan mental serta kesabaran ekstra.
White lanjut berjalan sampai akhirnya dia berhasil masuk ke kamar mandi. Kembali dia meraba hingga menemukan letak shower.
"Semua peralatan mandi sudah aku letakkan disebelah kanan shower," teriak Airi dari balik pintu.
White mulai mengguyur tubuhnya yang terasa lengket. Saat tangannya meraba kesebelah kanan, benar, semua yang dia butuhkan ada disitu. Tapi saat hendak sikat gigi, benda itu malah jatuh. Dia menunduk, meraba-raba untuk mencari sikat giginya. Tapi terlalu menjijikkan jika harus memakai sikat yang jatuh dilantai.
"Airi," teriak White.
"Iya, sebentar." Airi tergopoh gopoh masuk kedalam kamar mandi. Dia takut terjadi sesuatu dengan White, bagaimana kalau dia terpeleset dan jatuh.
Bagitu masuk kamar mandi, Airi terperangah melihat White yang tak memakai apa-apa. Segera dia mengalihkan pandangan karena malu sendiri.
"Ai, Airi," panggil White. Tadi dia mendengar pintu dibuka, itu artinya, Airi sudah ada didalam kamar mandi.
"I, iya," sahut Airi gugup. Bagaimana tak gugup, ini kali pertama dia melihat pria dewasa dalam keadaan polos tanpa sehelai benangpun.
"Kenapa dengan suaramu? Ck, kau pasti sedang memperhatikan tubuhku, sampai salah tingkah seperti ini." ledek White.
"Ti-tidak, aku melihat kearah lain."
"Ck, penipu," ketus White. "Sikat gigiku tadi jatuh, ganti dengan yang baru dan sekalian beri pasta gigi."
"Ba-baik."
Astaga Airi, kenapa jadi salting gini. Harusnya dia yang malu, bukan kamu.
Airi mengambil sikat gigi baru, mencucinya lebih dulu lalu memberikan odol.
"Ini," Airi menyodorkan tepat kedepan White. Tapi karena tak bisa melihat, White harus meraba lebih dulu.
"Keluarlah," usir White setelah dia mendapatkan apa yang dia mau.
Selesai mandi, White keluar dengan hanya memakai handuk kimono. Sekali lagi, dia merasa kesulitan untuk menjangkau ranjang.
Sedangkan didalam kamar, Airi sudah menyiapkan piyama untuknya.
Jedug
Airi yang sedang membukakan kancing piyama kaget mendengar suara barusan. Ternyata White kejedug tembok.
"Apa kau sedang menertawakanku?" ujar White sambil mengusap dahinya yang sedikit benjol.
"Tidak sama sekali." Airi mendekati White lalu melingkarkan tangan pada lengan pria itu.
"Lepas," White menarik kasar lengannya.
"Apa kau baru mau aku bantu setelah seluruh tubuhmu memar?" ujar Airi dengan nada sedikit ti nggi. Pria dihadapannya itu sangat keras kepala, dan dia juga harus bisa mengimbanginya. "Bukankah kau bilang tadi jika aku adalah mata, perawat, sekiligus pembantumu. Jadi biarkan aku melakukan tugasku. Aku akan menuntunmu." Airi kembali memeluk lengan White.
Untuk kali ini, White tak lagi menolak. Dia berjalan mengikuti langkah Airi. Dan dia juga diam saja saat Airi membantunya memakai baju. Wanita itu adalah mata sekaligus pembantunya, lalu buat apa dia susah sendiri. White tak lagi mau menolak bantuan Airi.
"Aku tidak mau kita tidur seranjang," ujar White.
"Tidak masalah, aku bisa tidur disofa."
"Bagus kalau kau sadar diri."
"Aku sangat sadar."
/Whimper//Whimper/
ai semoga selalu di beru kuatan
semangat ai