Jatuh cinta sejak masih remaja. Sayangnya, pria yang ia cintai malah tidak membalas perasaannya hingga menikah dengan wanita lain. Namun takdir, memang sangat suka mempermainkan hati. Saat sang pria sudah menduda, dia dipersatukan kembali dengan pria tersebut. Sayang, takdir masih belum memihak. Ia menikah, namun tetap tidak dianggap ada oleh pria yang ia cintai. Hingga akhirnya, rasa lelah itu datang. Ditambah, sebuah fitnah menghampiri. Dia pada akhirnya memilih menyerah, lalu menutup hati rapat-rapat. Membunuh rasa cinta yang ada dalam hatinya dengan sedemikian rupa.
Lalu, apa yang akan terjadi setelah dia menutup hati? Takdir memang tidak bisa ditebak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Part 29
"Kenapa dengan bunga itu? Apa pentingnya kamu tahu aku dapatnya dari mana?"
Saga tidak menjawab dengan kata-kata. Sebaliknya, dia berjalan cepat mendekati Lusi. Sontak, tanpa aba-aba, kedua tangannya langsung mencengkram pundak Lusi. Meski cengkraman itu terkesan pelan, tapi tetap saja, Lusi dibuat terkejut akan ulah Saga yang tiba-tiba.
"Saga!"
"Katakan, Si! Dapat dari mana kamu dua pot bunga tulip hidup itu?"
Saga benar-benar terlihat sedang kehilangan kendali. Tapi Lusi bukan perempuan lemah. Saga nge-gas, dia juga ikutan melakukan hal yang sama. Ditambah pula dengan hatinya yang sudah mati rasa. Apapun ekspresi Saga tidak ada artinya buat hati Lusi.
"Apa-apaan sih? Dapat dari mana aku bunganya juga tidak ada hubungannya dengan kamu. Siapa kamu yang harus tahu apa yang terjadi dalam hidupku."
"Aku suami kamu, Lusiana!"
Menggelegar suara Saga memenuhi gendang telinga Lusi. Seketika, ucapan itu membuat Lusi terdiam. Dirinya cukup syok dengan pengakuan Saga barusan. Untuk pertama kalinya dia diakui sebagai istri oleh orang yang sudah susah payah dia kejar selama bertahun-tahun. Bagaimana hatinya tidak guncang sekarang, coba?
Tapi tidak. Ketika hati yang sudah mati tersentuh, efeknya tidak akan terasa lebih lama. Seperti menjatuhkan air di atas daun keladi saja. Hanya numpang lewat tanpa meninggalkan bekas. Begitulah perasaan Lusi saat ini. Hanya syok sesaat. Setelahnya, dia malah masih beranggapan kalau ucapan Saga seolah candaan belaka.
"Sagara. Jangan berlebihan."
"Lusi."
"Kenyataannya memang aku suami kamu."
"Tunggu! Apa bunga itu dari seorang pria?"
"Apa gara-gara dia sikapmu padaku berubah?"
Saga malah tersenyum kini. cengkraman tangannya pada pundak Lusi dia lepaskan. Anggukan pelan dia perlihatkan seolah dia kini baru memahami situasi yang terjadi dengan sangat baik.
"Ya. Aku paham sekarang. Kau sudah punya pria lain dalam hatimu, karena itu kamu memilih menyerah padaku. Benar begitu, bukan?"
Kesal hati bukan kepalang, Lusi kini tidak bisa menahan diri lagi. Langsung saja, plak! Satu tamparan mendarat lagi di pipi Saga. Pipi putih itu kembali tertoleh akibat pukulan keras dari wanita yang sedang merasakan emosi yang memuncak.
"Jangan sembarangan bicara, Saga. Jangan pernah melimpahkan kesalahan hanya pada diriku saja. Jangan lupa, yang menolak aku adalah kamu."
"Ketika aku berusaha keras untuk membuat kamu jatuh cinta, kau abaikan aku dengan sesuka hati. Tapi saat aku sudah menyerah karena hatiku sudah mati rasa, kau malah menyalahkan aku dengan dalih kehadiran orang lain dalam hatiku. Aku tidak terima akan hal itu. Karena yang menginginkan aku pergi dari dirimu bukan aku, melainkan dirimu sendiri."
Saga terdiam. Ucapan Lusi cukup mengena dihatinya. Sementara itu, Lusi malah seakan tidak cukup dengan apa yang baru saja dia katakan. Dia lipat tangan ke atas perut.
"Tapi, Sagara. Jika pun aku jatuh cinta pada pria lain itu tidak ada urusannya dengan mu. Karena kamu tidak pernah menganggap aku sebagai istri."
"Si-- "
Gegas Lusi mengangkat tangannya untuk mencegah Saga bicara. "Up, jangan beralasan. Karena yang aku katakan barusan itu adalah kenyataan. Sadarlah! Yang tidak menginginkan aku itu dirimu. Jadi sekarang, jangan jadi manusia naif yang suka menjilat ludah sendiri, oke?"
"Lusiana-- "
"Keluar sekarang!"
Saga langsung melepas napas berat. Dia masih belum beranjak dari tempat di mana dia berada sebelumnya. Dia alihkan pandangan dari Lusi.
"Tulip."
"Jadi kamu suka tulip, Lusi?" Saga berucap sambil melihat sekeliling.
Saat ini dia baru sadar kalau ruangan yang bernuansa serba hijau itu bermotifkan bunga tulip. Dari seprei hingga ke gorden. Bahkan, wallpaper dindingnya juga bunga tulip.
Saat melihat seisi kamar tersebut, Saga baru sadar kalau dirinya terlalu tidak peka akan keadaan. Dia sangat menyesali akan sikapnya itu. Sementara itu, seakan tidak ingin ambil pusing akan apa yang sedang terjadi, Lusi malah mengacuhkan pertanyaan Saga barusan. Sampai, si suami harus mengulang kembali pertanyaan itu untuk yang kedua kalinya.
"Kamu suka tulip, Lusi?"
"Bukan urusan kamu, Ga."
"Mau aku suka tulip, mawar, melati, cempaka, kenanga, atau yang lain sebagainya. Tidak ada urusannya lagi dengan kamu. Karena waktu ku untuk kamu sudah selesai."
"Lusi. Aku-- "
"Keluarlah! Aku ingin istirahat."
Saga hanya bisa memberikan anggukan pasrah. Meski sejujurnya, hatinya sangat amat enggan untui meninggalkan istrinya itu.
"Baiklah. Aku akan keluar. Aku tunggu kamu di meja makan nanti untuk makan bersama."
"Gak perlu. Kamu bisa makan sendiri saja."
"Kita masih suami istri, Si. Izinkan aku untuk mencoba memperbaiki hubungan ini."
"Kamu pikir apa yang telah rusak itu mudah untuk diperbaiki lagi, Ga? Jangan salah, sebagian hal yang telah rusak bahkan tidak bisa diperbaiki lagi."
"Tapi aku akan tetap mencoba meski aku tahu itu sulit. Aku tunggu kamu di meja makan. Mulai dari malam ini, kita akan makan malam bersama. Seterusnya, kita akan sarapan bersama."
"A-- "
Lusi ingin membantah, tapi Saga sudah beranjak tanpa menunggu Lusi menjawab. Sungguh, perubahan demi perubahan yang Saga perlihatkan sangat amat mengesalkan buat Lusi yang kini sudah memilih untuk menyerah. Semakin Lusi ingin menyerah, Saga malah semakin berulah.
Waktu berlalu, saat makan malam, Saga menunaikan apa yang dia katakan. Ketika dia turun duluan, dia malah meminta bi Rina untuk memanggil Lusi hingga istrinya itu tidak punya pilihan untuk menolak.
"Makan, Si." Saga berucap sambil menyediakan lauk ke dalam piring Lusi.
"Jangan sok baik. Aku bisa sendiri melakukan hal itu."
"Jangan bicara begitu, aku sedang berusaha."
"Jangan gila."
"Biarlah. Aku sedang berusaha. Mau dibilang gila atau apapun, terserah. Aku akan mencoba melakukan apa yang sebelumnya kamu lakukan padaku. Karena sepertinya, hal itu cukup memberikan efek buat diri ini."
Lusi pun kini bingung mau menjawab dengan kata-kata apa. Sebab, dulunya dia juga melakukan hal yang saat Saga menolak. Dia bahkan lebih keras dari Saga saat ini.
"Ayo makan."
Lusi tidak menjawab. Dia hanya memberikan tatapan tajam pada Saga. Sebaliknya, yang di tatap malah tersenyum manis. Seolah tidak ada rasa kesal sedikitpun.
Pada akhirnya, mereka makan dengan tenang. Sesekali, Saga bicara. Tapi Lusi lebih memilih diam. Tapi Saga tetap tidak ingin ambil pusing. Dia bahkan bicara lebih banyak lagi.
"Aku sudah kenyang," ucap Lusi sambil bangun dari duduknya.
"Lho, tapi. Makanan mu belum habis. Habiskan dulu makanan nya baru pergi."
"Jangan paksa aku makan saat aku bilang sudah kenyang. Mau kamu aku mun" tahkan makanan itu nantinya."
Saga malah nyengir kuda.
"Ya ... ya jangan."
"Mm ... ya udah kalo gitu. Ah, iya hampir lupa. Aku ganti bunganya besok ya, Si."
"Apa?" Lusi langsung menoleh untuk memperlihatkan wajah bingungnya.
Tapi thank's ya thor buat tulisannya. tetep semangat menulis
. q tunggu cerita br nya🥰
sebenernya masih kurang sih... he he..
tpi kalau emang kk author lelah, y udh berhenti aja jngn dipaksakan...🥰🥰🥰
ditunggu karya barunya..🥰😍
pdahal blm puas... he he... effort saga buat deketin lusi masoh kurang...😢
dan satu... kmu menghukum saga aja bsa knp kmu gak bsa mnghukung org yg telah mmfitnah menantu mu itu... ayooookkk begerak cepat papa... jgn mw kalah ma cewek2 ular itu