Gilsa tak percaya ada orang yang tulus menjalin hubungan dengannya, dan Altheo terlalu sederhana untuk mengerti kerunyaman hidup Gilsa. Meski berjalan di takdir yang sama, Gilsa dan Altheo tak bisa mengerti perasaan satu sama lain.
Sebuah benang merah menarik mereka dalam hubungan yang manis. Disaat semuanya terlanjur indah, tiba-tiba takdir bergerak kearah berlawanan, menghancurkan hubungan mereka, menguak suatu fakta di balik penderitaan keduanya.
Seandainya Gilsa tak pernah mengenal Altheo, akankah semuanya menjadi lebih baik?
Sebuah kisah klise cinta remaja SMA yang dipenuhi alur dramatis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bibilena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Flashback
"Sidang apa? Apa kau dirugikan lagi kali ini?"
Ayahnya berbicara dengan nada yang sangat dingin. Jangankan meraih surat yang Gilsa simpan di dekat dokumen yang pria itu kerjakan, dia bahkan tak melihat anaknya sendiri. Menghadapi ini perasaan hambar karena kekecewaan mendalam terus Gilsa rasakan, seolah dia ingin merasa sakit hati tapi apa yang terjadi sudah melampaui hanya sekadar sakit. Gadis itu merasa dikhianati habis-habisan hingga kehilangan rasa menghormati.
Ayahnya seperti telah membunuhnya di hari itu.
"Kenapa? Apa karena tidak ada keuntungannya menolongku kali ini?"
"Apa maksudmu soal keuntungan? Aku akan menolongmu jika kau dalam masalah mau ada atau tidak."
"Lalu kenapa Ayah meringankan tuntutan Kevin?"
"Dia memberitahumu?" Meski bertanya begitu Ayahnya tidak menatap Gilsa sama sekali. "Tentu saja itu juga hukuman, Gilsa, apa kau bodoh? Inilah alasan aku sulit melimpahkan beban bisnis padamu. Ayahnya mengorbankan bisnis besar untuk menutupi perbuatan memalukan anaknya. Kau pikir keluarganya hanya akan diam? Dan yang lebih penting di sini kita mendapatkan kompensasi yang sepadan. Berpikirlah dengan bijak."
Gilsa melupakannya untuk sekejap. Ayahnya adalah pria yang memiliki pemikiran pembisnis yang kental. Saat dia lebih mengunggulkan anak laki-laki daripada perempuan harusnya Gilsa sudah tahu akan seperti apa bentuk hubungan yang pria itu pikirkan. Ayahnya berpikir hanya dari logika, padahal masalah dalam keseharian manusia juga melibatkan perasaan alih-alih keuntungan.
"Aku lebih suka dia dikeluarkan."
"Membuat dia dikeluarkan hanya akan menghasilkan dendam, lagipula apa kau benar-benar dirugikan sebanyak itu?"
Gilsa mengernyit. "Aku memang hanya mendapatkan luka kecil, tapi seseorang dilecehkan sampai mentalnya terguncang, Ayah."
"Apakah seseorang itu kamu?"
"Apa?"
"Apa seseorang itu kamu?" Sekali lagi Ayahnya bertanya hal yang sama. Gilsa sangat tertegun.
"Ayah, dia temanku."
"Aku tak peduli kau berteman dengan siapa, aku membebaskannya." Ayahnya akhirnya menatapnya.
"Tapi kau juga harus bisa berpikir, jika dia teman yang baik kau tidak akan berkorban untuk melindungi hidupnya. Dia juga manusia dan punya keluarga, seharusnya dia bisa melindungi diri sendiri. Jika dia bahkan tidak bisa melakukannya, bukankah dia tak pantas kau bela? Kau juga harus tahu bahwa bukan tanggung jawabmu melindungi dan menjaga hidup orang lain."
Gilsa terdiam, dia tak bisa membalas argumen itu. Baginya Prima sudah seperti keluarga, jauh lebih akrab dari sang Ayah sehingga ketika gadis itu dalam masalah Gilsa merasa keluarganya juga sedang dalam terancam. Dia bertindak impulsif. Ayahnya benar, Prima juga bisa melindungi diri sendiri karena dia manusia dan punya orang tua.
Namun itu terasa tak benar bagi Gilsa. Dia tak bisa hanya diam saja melihat temannya dilukai.
"Tapi aku temannya, aku tidak bisa hanya diam. Apa Ayah tak tahu perasaan ini? Dia teman yang baik, aku juga percaya dia akan melakukan ini jika posisi kita sebaliknya."
Mata Ayahnya berubah menjadi lebih santai. Dia bersandar dan menatap anaknya sambil menghela napas.
"Inilah sebabnya aku sulit menerima wanita menjadi pemimpin."
"Lagi-lagi Ayah membicarakan bisnis! Ini bukan soal itu!"
"Jika di masa depan rekanmu orang yang baik tapi tidak kompeten dalam bekerja apa kau akan terus mempertahankannya meskipun itu artinya perusahaan akan merugi?"
Gilsa diam kembali.
"Kau belum cukup dewasa bahkan di usia 17 tahun. Semua yang kau jadikan argumen untuk membantahku tadi adalah ilusi, bagaimana kau bisa yakin dia akan berbuat sama jika posisi kalian sebaliknya? Apa ada buktinya? Apa perasaanmu menghasilkan keuntungan untuk dirimu sendiri?"
Sampai akhir Gilsa tak bisa menjawab Ayahnya.
"Di masa depan jika kau terus menerus tak bisa melindungi diri sendiri seperti sekarang, Ayah juga tak akan berhenti melindungimu."
•••
Gilsa sangat memahami ucapan ayahnya kemarin. Pada dasarnya dunia adalah tempat yang menganut hukum rimba, dimana yang lemah tak akan bisa bertahan hidup di dunia yang hanya yang kuat lah yang bisa bertahan, dan jika yang kuat membantu yang lemah untuk hidup, mereka akan sama-sama mati alih-alih hidup bersama. Itu alasannya selalu ada orang yeng berusaha menjatuhkan keluarga mereka meskipun mereka tak menganggu siapapun.
Akan tetapi, kali ini Gilsa memilih keras kepala, dia tak memedulikan hal itu karena apapun alasannya saat ini pertemanan dia dan Prima adalah yang terpenting. Gilsa tak merasa Prima adalah pihak yang lemah, gadis itu hidup dengan sangat baik. Karena menurutnya mau dia seseorang yang kuat ataupun bukan jika dilecehkan pasti akan bereaksi seperti Prima, mau siapapun itu.
"Korban menolak bersaksi dan mencabut laporan."
Akan tetapi Gilsa tak tahu dia akan dikhianati seperti itu.
Pagi ini ketika dia datang ke ruang konseling dan memberikan surat undangan, Bu Rani menolak mentah-mentah dan menyuruhnya keluar. Katanya hari ini Prima tak akan masuk dan orang tuanya telah mengkonfirmasi bahwa laporan yang kemarin mereka lakukan adalah kesalahpahaman. Jangankan memanggil pihak Kevin, sidang bahkan tak bisa diadakan jika seperti ini.
"Kalau begitu sidangnya bisa diundur dan dilakukan oleh siswa saja kan, Bu?"
"Tidak, kita anggap clear masalah ini."
"Lho, Bu jika kejahatan diketahui bisa dibuktikan bukankah sidang harus tetap dijalankan? Sejak kapan laporan bullying bisa dicabut tanpa validasi?"
Bu Rani menatap gadis itu dengan lebih tajam.
"Kamu menggurui saya?"
"Tapi Bu, murid Ibu--"
"Apa yang harus disidangkan jika tak ada korban?"
Gilsa diam. Bukan karena terpojok tapi dia kehilangan kata-kata karena perkataan gurunya itu.
"Bu, bukankah itu tugas Ibu untuk membantu korban mau ambil suara soal kejadian buruk yang dia alami?"
Bu Rani tertawa.
"Tak ada validasi yang cukup Gilsa, oke Prima korban, tapi siapa pelakunya? Kalau dari bukti yang kamu sertakan pelakunya itu kamu, Gilsa. Apa kamu lebih suka jika saya mensidak kamu sebagai pelaku?"
Gilsa benar-benar merasa gila hanya dengan berdiri di sana.
•••