Ajeng harus pergi dari desa untuk menyembuhkan hatinya yang terluka, sebab calon suaminya harus menikahi sang sepupu karena Elis sudah hamil duluan.
Bibiknya memberi pekerjaan untuk menjadi pengasuh seorang bocah 6 tahun dari keluarga kaya raya di Jakarta.
Ajeng iya iya saja, tidak tahu jika dia adalah pengasuh ke 100 dari bocah licik itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 - Perlahan Mulai Memudar
Sean masih menunggu beberapa saat, mungkin saja ibunya akan segera menyelesaikan urusannya dan kembali menghampiri dia.
Tapi sekitar 15 menit Sean menunggu, nyatanya sang ibu tetap sibuk pada urusannya sendiri.
Mana Mona hilir mudik dengan sambungan telepon yang masih terhubung. Membicarakan beberapa sketsa yang sudah dikirim pada penjahit.
Semalam mereka tidur saling memeluk erat, mama Mona juga mengatakan bahwa hari ini mereka akan banyak menghabiskan waktu bersama.
Tapi kenapa? pagi ini Sean seperti melihat sisi lain dari sang ibu.
Mama Mona yang malah terlihat lebih mirip dengan sang ayah, yang selalu sibuk sendiri dengan pekerjaannya.
Lagi, Sean melihat jam dinding di kamar itu, waktu sudah menunjukkan jam 6 lewat 20 menit. Dia yang tak suka tubuhnya kotor pun langsung beranjak keluar dan mencari sang pengasuh.
"Mbak Ajeng!" panggil Sean dengan suara yang cukup tinggi. Ajeng yang berada di dapur pun langsung berlari menghampiri.
"Kenapa Sen?" tanya Ajeng, dia sudah berada di hadapan Sean, bahkan berjongkok untuk mensejajarkan tinggi tubuh mereka. Padahal tidak perlu seperti itu, karena tubuh Ajeng pun pendek.
"Mandi."
"Mbak Ajeng kira mandi sama mama."
"Mama sedang telepon rekan kerjanya."
"Oh, jadi mau mandi dimana?"
"Kamar mbak Ajeng saja, aku ambil baju dulu."
"Oke."
Jam 7 lewat Sean baru terlihat rapi, padahal biasanya di jam seperti ini Sean sudah duduk di meja makan dan menyantap sarapannya.
Dan saat Ajeng sedang menyisir rambut sang anak asuh, terdengar jelas suara perut Sean yang krucuk-krucuk ...
Ajeng tersenyum lebar, sementara Sean yang malu langsung mencubit pipi mbak Ajeng kiri dan kanan.
"Eh.. ada yang laper," goda Ajeng.
"Cepet sisir rambutnya!!"
Ajeng tertawa, bercanda dengan Sean seperti ini sedikit menghapus kesedihan yang sejak semalam bersarang di dalam hatinya.
Bentakan papa Reza, perlakuan kasar, dan tatapan dingin itu memang begitu sulit untuk Ajeng lupakan.
Tapi dengan adanya Sean, dia seperti bisa melewati semuanya.
Lagi pula yang aku asuh kan Sean, bukan papa Reza. Jadi jangan takut lagi. Selalu itu yang Ajeng ucapkan di dalam hatinya.
Meski selalu takut juga dengan ucapan papa Reza semalam, tentang Mama Mona yang mungkin saja bisa menyakiti Sean.
Ingat kalimat itu Ajeng seperti tidak percaya, apalagi sejak pertama kali bertemu dengan Mama Mona Ajeng sudah bisa merasakan jika wanita tersebut memiliki hati yang sangat baik, mama Mona juga sangat menyayangi Sean.
"Udah kok, tapi sebelum ke meja makan panggil Mama Mona dulu ya?" pinta Ajeng dan Sean mengangguk.
Bocah kecil itu lantas berlari menuju kamar mamanya.
masuk begitu saja ke dalam kamar itu karena pintunya tidak dikunci.
Namun sungguh, sikap Sean yang seperti itu berhasil membuat Mona terkejut. Apalagi selama ini dia tidak pernah terbiasa dengan adanya anak-anak di dalam apartemennya.
Alat make up yang sedang dipegang oleh Mona sampai jatuh ke lantai dan pecah.
Pyar!!
"Astaga Sean!! kamu membuat Mama terkejut!" pekik Mona tanpa sadar. dia malah sibuk sendiri untuk mengambil alat make up-nya yang jatuh, tidak melihat wajah keterkejutan sang anak yang terkejut mendengar suara tingginya.
Sean membeku, bagaimana bisa mamanya lebih peduli pada alat make up itu dibanding dirinya sendiri.
"Ma," panggil Sean lirih.
Mona menoleh dan melihat sang anak yang wajahnya nampak pias. Seketika Mona baru sadar jika dia telah salah.
Buru-buru Mona bangkit dari duduknya dan menghampiri sang anak.
"Maafkan mama Sean, mama tidak bermaksud membentakmu. Mama hanya terkejut, lain kali, jangan berlari-lari seperti itu lagi ya?" pinta mama Mona pula.
Dan Sean hanya bisa mengangguk.
Namun apa yang selama ini dia yakini, perlahan mulai memudar. ternyata Mama Mona sama saja seperti papa Reza, di antara mereka berdua tidak ada yang menginginkan dia.
Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing.