NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28

Pertama kali masuk setelah dua hari mengalami kekosongan ternyata tetap saja tidak ada perbedaan yang mengejutkan.

Dua puluh lima murid-murid terpilih sibuk berkegiatan sendiri. Berisik sudah kedamaian yang akan ditangkap Gita selama bersama mereka.

Lantas pindah mengamati dedaunan, dan apa saja yang dipandang melalui jendela kelas, Gita merenung lama. Kesejukan angin membawa rasa tenang, hati sejuk tidak bergejolak lagi. Bukit-bukit tinggi melindungi, mengelilingi persawahan, dan bangunan yang dibuat oleh campur tangan manusia. Dari tempat Gita berada di atas, perhatiannya justru telah melirik kepada manusia bertopi kerucut. Kaki mereka tercelup lumpur pertanian, keriput mereka telah terbentuk, tetapi semangat dari dalam diri tidak akan pernah luntur. 

Membungkuk, dan terus membungkuk menanam bibit unggul tanaman padi selalu dikerjakan. Lelah, mereka tidak tunjukkan dalam status media sosial. Mereka duduk menepi, menyapa siapa saja yang melintas. Jika lapar, sudah dipastikan akan membawa makan siang sendiri sembari menikmati indahnya kekayaan alam yang dibuat oleh tuhan. Syahdu, bukan? Nikmat sederhana. 

Karena sejak tadi penglihatan Gita selalu teralihkan dunia luar, pada sebelah Gita, Salma asyik menepuk ulang pundak Gita. Tangannya selalu aktif jika dia selalu gundah hatinya. Tidak nyaman bila dibiarkan lama. 

"Sedang lihat apa, Git?" Salma yang penasaran, lantas memajukan kursi. Digeret hingga menyentuh kursi milik Gita.

"Orang-orang di luar," kata Gita, pelan setelah menjelaskan apa yang direnungi sebelum topik onrolan ini dimulai.

"Oh, pantas saja kamu suka melihat di luar. Wah, ternyata para petani rupanya." Anak perempuan yang di cap sebagai anak rajin, dan pintar. Tidak salah Salma diberikan gelar itu, aktif berdiri, dengan perhatian yang tertuju pada pemandangan persawahan yang membentang luas. Seperti yang dilihat Gita. 

Salma diam. Gita lebih diam lagi karena jendela itu telah dipakai temannya, dan sekarang tidak tau harus melakukan apa. 

Beberapa jam setelah kegiatan pengamatan Salma dilakukan, bel dibunyikan. Pertanda pelajaran pertama hendak dimulai, Salma mulai menjauhi area jendela. Duduk, membereskan diri sendiri... Menggeser kursi yang sebelumnya telah tergeser terkena Gita. Mengambil buku untuk dibaca, ditulis. Alat tulis digerakkan naik dari dalam laci kosong.

"Lengkap juga, ya, barang-barangmu itu, Sal." Gita mendekati bangku Salma.

"Pastinya, Git. Harus selalu siap, jadi langsung mudah belajarnya."

"Wah, jadi kalau semisal temanmu ini tidak bawa... Jadi, boleh pinjam dong."

Tampak mata berbinar-binar ketika Gita memandang mata Salma. Salma menjauhi kepala dari temannya yang semakin mendekat. Melihatnya karena ada rasa risih. Mungkin ingin merayu Salma. Anak pendiam, dan selalu bermain dengan Gita.

"Apa maksudmu, Git?" Salma tidak paham. Menyipit mata karena memiliki perasaan aneh. Seperti ada kecurigaan yang mungkin benda kesayangan miliknya sebentar lagi akan hilang. Seperti barang yang disiapkan tadi. 

"Umm... Begini, sekarang di dalam tas, alat tulisku tidak ada. Jadi... Boleh pinjam?" 

Salma berhenti bicara. Firasat kecurigaan memang benar terjadi. "Sudah tentu kamu akan seperti itu, Git. Selalu ceroboh." Salma menunduk diri setengah badan, mengambil alat tulis lain pada laci pribadi. "Ini. Jangan sampai rusak." 

Murid berambut terikat mengambil pelan, sedikit tertawa pendek. "Nanti setelah pulang sekolah benda ini akan ada padamu. Tenang saja."

Salma mengangguk paham. Dia mempercayai perkataan yang dibawa perempuan yang pernah menolongnya waktu itu. "Tapi kamu janji, kan, Git? Bolpoint itu sangat berharga. Jangan sampai hilang, lho."

"Janji." Gita menaikkan jari telunjuk. Ditunjukkan menghadap Salma. 

...***...

Hari pertama pelajaran telah dibuka dengan membaca materi. Setiap anak ditugaskan mengerjakan beberapa soal yang sudah ditentukan sejak lama. Sejak persiapan guru-guru muda di rumah mereka masing-masing di malam hari.

Antusias pembelajaran selalu diarahkan membaca kalimat, dan kalimat persoalan. Nantinya jika sudah dijawab, maka ditumpuk menuju meja untuk dinilaikan oleh guru yang bersangkutan.

Setiap celah-celah ruangan, setiap benda-benda yang dititipkan dalam ruang kelas ini menjadi tempat menemani anak-anak pelajar dalam sesi kegiatan mempelajari ilmu. Kipas angin yang berputar memberi rasa nyaman agar mereka fokus meresapi semua bidang keilmuan yang dimiliki sejak lama. Lukisan yang dipajang menjadi hiasan agar yang melihat tidak selalu bosan dengan huruf, dan huruf dalam buku tebal. 

Gita menggaruk rambut. Sejak tadi kesusahan menjawab soal. Bertanya kepada teman terutama anak rajin, dan pintar, sudah dipastikan dia tidak akan memberi jawaban asli. Sangat rahasia. Teman sendiri pun tidak ingin diberikan jawaban.

Gita menelan ludah, memijat kening, berusaha sendiri maksimal. 

Guru pengajar berjalan pelan, melihat pekerjaan anak didiknya secara teliti. Membawa spidol, digerakkan di belakang punggung bersama kedua tangan yang dilipat. 

Kami diawasi. Menegangkan, tidak bisa berkutik.

"Yang sudah selesai, silahkan dikumpulkan. Ibu akan menunggu kalian." Guru Bahasa Inggris menyoraki siapa saja yang mendengar. Melanjutkan dimana guru itu berdiri di dekat kami, bergerak aktif kepalanya.

Tepat bel berbunyi, guru kami berhenti berjalan. "Baik, semuanya kumpulkan. Silahkan dikumpulkan." 

Kami mendengarkan. Sesuai aturan darinya, satu per satu anak berdiri membawa buku paket. Mengumpul bertumpuk tinggi. Setelahnya kembali menuju bangku mereka, mempersiapkan pelajaran lain selanjutnya. 

Melihat kawan-kawannya berdiri, dan kembali, sedangkan Gita merenungi nasib tiga soal yang belum diisi...menjadi frustasi. "Hei, Sal, pinjam bukumu. Sebentar saja." 

Salma menoleh sebentar, dikembalikan melanjutkan menulis. "Kamu kerjakan sendiri, Git. Pasti bisa. Jangan mencontek terus." 

Hilang rasa semangat untuk mendapatkan jawaban baru. Tidak mudah mendapatkan sesuatu dari anak sekolah yang memiliki nilai akademik bagus, suka membaca, memiliki teman itu-itu saja. Ingin mencontek pun salah. Seperti quotes di sosial media, "jangan berharap kepada manusia."

Guru bahasa inggris turut mendatangi meja. Menepuk buku yang tertumpuk. 

"Cepat, Git. Sebentar lagi akan pergi gurunya," desak Salma setelah berdiri membawa buku yang diisi.

Gerakan menulis tangan terpaksa dicepatkan. Menulis sekiranya memang paham, dan benar. Tidak peduli benar, atau salah. Paling utama adalah berhasil menumpuk buku sebelum semakin menjauh.

"Bolpoint nya jangan sampai rusak." Salma memperingati bagaimana jari-jari Gita yang selalu menggerakkan bolpoint itu.

Gesekan demi gesekan diperlihatkan.

"Iya. Jangan membuat berisik, Sal." Gita memangkas ucapan Salma.

Kami diam. Salma menunggu sabar, sedangkan Gita sibuk pada lembaran buku untuk dijawab.

"Ini, Sal!" Diserahkan buku Gita, diterima oleh Salma.

Duduk kembali, merasakan kelegaan bagi Gita karena berhasil menuntaskan misi mengerjakan soal. 

Mulai berisik setelah guru bahasa inggris mengakhir pelajaran, dan bergegas keluar menuju pintu kelas di kejauhan, sekarang berganti, bersilih menghadapi anak-anak paling menjengkelkan yang harus didengarkan selama menunggu pergantian guru selanjutnya. 

Mereka berdua duduk bersama. Mengobrol berdua di tengah-tengah berisiknya, dan larian anak-anak muda di kejauhan. 

"Bolpoint itu, kamu masih membawanya, kan?"

Gita menunjukkan agar tidak terjadi keresahan. 

"Baguslah. Jadi bisa sedikit tenang."

"Memangnya apa yang membuat bolpoint ini spesial? Sampai-sampai kau selalu bertanya tentang alat tulis ini."

"Bolpoint ini memang murah dari segi desainnya, dan nilai harga jualnya. Tetapi ada bagian yang spesial. Semua orang tidak tau tentang ini."

"Spesial? Apa spesialnya?"

"Kalau kuberitahu, pasti kamu akan memberitahu ke orang itu, Git."

"Eh, tidak. Itu bukan bagian pekerjaanku. Ayolah, jadi semakin penasaran ini."

"Apa setelah ini kamu tidak akan membocorkan rahasia ini, Git?" 

"Ah, soal itu, tidak akan. Pasti tidak akan membocorkan rahasia ini."

"Benarkah?" Salma memberikan ekspresi tidak menyenangkan. Satu alis dinaikkan sebagai bukti bahwa dia sedikit curiga. Tetapi dari sisi lain, ada keyakinan bahwa dia harus memberitahukan ke temannya.

"Benar! Pastinya."

Embusan napas dikeluarkan cukup berat. Sepertinya kali ini dia akan meluapkan cerita yang dipendam lama.

"Seseorang memberikan bolpoint ini secara gratis. Saat itu aku tidak membawa uang, dan ada satu murid sengaja membelikan benda itu padaku. Kamu tau siapa yang memberikan?"

"Tidak. Siapa orang itu?" Gita menggeleng penasaran.

"Bian. Teman kita."

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!