Semua bermula dari CINTA TERLARANG.!!!
Diselimuti ego, obsesi dan dendam, mereka tidak sadar jika semua perasaan itu yang telah menciptakan kehancuran dalam kehidupan mereka.
Kebahagiaan terenggut, mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah di sekitar mereka. Banyak hati yang terluka, bahkan mereka yang melukai hatinya sendiri.
Seandainya saja bisa mengesampingkan ego, membuang obsesi dan menghapus dendam, mungkin kehancuran ini tidak akan mereka alami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
"Zio, Zia,, kado untuk nenek jangan sampai lupa." Seru Liana di depan pintu kamar anak-anaknya.
"Iya Mamah,," Dia keluar lebih dulu sambil memeluk kado pilihannya sendiri untuk diberikan pada Neneknya. Tak berselang lama, Zio juga keluar dari kamar dan menenteng paper bag.
"Ayo berangkat, Papa sudah menunggu di mobil." Liana merangkul kedua anaknya keluar rumah.
"Taksinya sudah datang sayang, hati-hati di jalan ya." Ucap Alan melalui sambungan telfonnya. Pria itu terkejut ketika kaca mobilnya di gedor-gedor oleh Zia. Dia buru-buru mematikan ponselnya dan menyimpannya di bawah kursi kemudi.
Alan lantas menekan tombol untuk membuka kunci pintu mobilnya. Anak-anak segera masuk di jok belakang.
"Papa kenapa dikunci pintunya,," Seloroh Zia. Cuma Zia yang sadar kalau pintu mobilnya terkunci, sebab Mama dan kakaknya masih ada di belakangnya saat Zia mencoba membuka pintu mobil.
"Maaf sayang, Papa nggak sadar kunci pintu." Jawab Alan sekenanya. Padahal dia sengaja mengunci pintu karna harus menghubungi Sinta. Dia memesankan taksi untuk Sinta tanpa diminta. Sebab ingin memastikan Sinta sampai di rumah Mama Heni dengan aman dan selamat.
"Ayo jalan sayang,,," Ujar Liana. Dia memangku cake yang tadi di bawa duluan oleh Alan dan diletakkan di kursi samping kemudi.
Alan hanya berdehem dan segera melajukan mobilnya.
...******...
Alan memarkirkan mobilnya di tempat yang sudah di arahkan oleh Galang. Mobilnya sengaja tidak diparkir di depan rumah agar Mama Heni tidak menyadari keberadaan anak, menantu dan cucunya.
Sinta sampai di sana tak lama setelah Alan kembali dari memarkirkan mobil. Keduanya bertemu di teras rumah. Sementara itu, anak-anak dan Liana sudah bersembunyi di dalam rumah. Menunggu Mama Heni yang sedang di ajak berkeliling oleh Galang dengan Alan membeli makan siang.
"Mba Liana sama anak-anak mana Mas.?" Tanya Sinta, sebab dia hanya melihat Alan.
"Sudah di dalam. Ayo masuk, sendalnya jangan lupa di bawa juga." Ajak Alan. Sinta mengangguk dan melepaskan sendalnya. Alan reflek menunduk untuk membawakan sendalnya milik Sinta, namun kalah cepat dengan Sinta.
"Sebaiknya kita jaga jarak selama disini, Sinta takut Mas Alan reflek perhatian ke Sinta kaya tadi." Tegur Sinta pelan.
Ini yang Sinta khawatir jika harus kumpul bersama keluarga dan ada Alan di sana. Selama ini Alan sudah terbiasa perhatian dan memperlakukannya layaknya pasangan jika sedang berdua, Sinta khawatir Alan melakukannya tanpa sadar di depan orang-orang.
"Mas nggak sadar, maaf ya." Lirih Alan.
Sinta mengangguk kecil dan duluan masuk ke dalam rumah. Alan mengekorinya dengan jarak beberapa langkah.
"Tante, Papa,, cepetan sembunyi di sini." Kedua di sambut oleh Zio. Kepala bocah itu menyembul dibalik pintu kamar.
Sinta dan Alan bergegas masuk ke kamar itu. Keduanya tampak bingung karna hanya ada Zio di dalam.
"Kak, Mama sama Adek dimana.?" Tanya Alan.
Zio menyengir kuda. "Dikamar depan Pah." Jawabnya.
Sinta kelihatan panik. Liana bisa kesal kalau Alan bersembunyi disini bersamanya.
"Terus kita ngapain disini.? Ayo ke kamar depan saja, kuenya kan di pengang Mama." Ujar Sinta pada Zio.
Zio dengan santainya terkekeh dan langsung lari ke kamar depan.
"Anak itu benar-benar," Keluh Alan seraya keluar dari kamar itu juga, namun baru dua langkah, dia mendengar suara Galang di luar. Seketika Alan reflek berbaik badan dan mendorong Sinta yang tadi ada di belakangnya. Alhasil keduanya bertubrukan. Satu tangan Alan menahan pinggang Sinta, satu lagi mendorong pintu dan menutupnya. Untung saja Sinta bisa menahan diri untuk tidak berteriak.
"Di luar sudah ada Mama dan Galang, kalau kita pindah ke kamar depan, bisa gagal surprisenya." Bisik Alan.
Sinta jadi makin panik saja. Pasalnya dia hanya berdua dengan Alan di kamar itu.
"Terus kita gimana Mas.?" Tanyanya tanpa bisa menyembunyikan kekhawatiran.
"Kamu maunya gimana.? Waktunya terbatas, paling cuma bisa kissing." Jawab Alan santai.
Mata Sinta melotot tajam dan memukul pelan lengan Alan. "Aku serius.!" Gerutunya.
Alan terkekeh kecil. "Mas juga nggak bercanda. Kita belum kissing sejak 6 hari yang lalu." Alan mencondongkan badannya, membuat Sinta reflek mundur sampai mentok di pintu.
"Mas jangan cari masalah.!" Tegur Sinta pelan. Dia mendorong dada Alan agar menyingkir. Tapi tidak semudah itu bisa mencegah keinginan Alan.
"Nggak ada yang liat sayang, lagipula hanya kissing. Sebentar aja, please." Desak Alan dengan wajah memelas. Kalau Alan sudah begini, Sinta bisa apa selain patuh.
Pagutan bibir keduanya tidak bisa dihindari. Alan menciumnya dengan lembut, meluapkan rindu yang tertahan selama 6 hari. Sinta mengikuti alur hingga menikmatinya.
...******...
"Zio kamu nggak boleh jahil begitu sama Papa dan Tante." Tegur Liana setelah mendengar penuturan Zio.
"Ssttt,, Nenek sama Om sudah masuk Mah." Kata Zia yang sempat mengintip keluar dari jendela kamar.
Liana akhirnya berhenti menegur Zio dan bersiap menyalakan lilin di bantu oleh Zio.
Sementara itu, Galang sengaja menahan Mama Heni di ruang tamu. Setelah itu dia mengirim pesan di grup keluarga sebagai kode.
Sinta, Liana dan Alan yang merasakan ponselnya bergetar, segera keluar dari persembunyiannya.
"Happy birthday nenek,,,!!" Seru Zia dan Zio. Keduanya muncul dari balik punggung Liana dan menghambur ke pelukan Mama Heni.
Alan dan Sinta yang keluar dari kamar sebelah, seketika menarik perhatian Galang. Pria itu sampai bertanya-tanya dalam hati. Apalagi raut wajahnya keduanya seperti menahan sesuatu.
Suasana menjadi heboh dan hari sampai Alan dan Sinta tidak menyadari tatapan curiga itu. Keduanya langsung bergabung dengan semua orang dan mengucapkan selamat pada Mama Heni.
Tangis wanita patuh aya itu pecah. Sebuah tangis bahagia karna masih diberi umur panjang dan kesehatan. Yang paling penting, semua anak-anak dan cucu-cucunya hidup rukun dan bahagia.
Mama Heni diminta berdoa sebelum meniup lilin. Dia hanya memanjatkan doa untuk kebahagiaan keluarganya.
"Terimakasih cucu nenek yang cantik dan ganteng." Ucap Mama Heni sambil menerima kado dari kedua cucunya.
Sinta, Galang dan Alan juga menyodorkan hadiah mereka. Terakhir, Liana mengeluarkan dua kotak persegi panjang berukuran kecil.
"Aku punya kado untuk Mama dan Alan." Ucapnya dengan mata berbinar.
Liana kemudian memberikan masing-masing kotak persegi itu pada Alan dan Mama Heni. Kening Alan dipenuhi kerutan alus saat menerima kotak itu.
"Kalian buka bareng ya, tunggu hitungan ke tiga." Ujar Liana memberi instruksi.
"Satu,, dua,, tiga,,,"
Meski bingung, Alan ikut membuka kotak di tangannya seperti yang dilakukan Mama mertuanya.
Raut wajah kedua berubah ketika kotak itu berhasil di buka. Mata Mama Heni berkaca-kaca. Semburat bahagia terukir diwajahnya yang tak lagi muda.
Ekspresi itu berbanding terbalik dengan Alan. Bukannya senang, sorot mata Alan justru dipenuhi kekesalan.
"Kamu hamil Nak.?" Ucap Mama Heni.
Liana dengan wajah bahagia mengangguk cepat.
"Mama hamil.? Zia mau punya adik.?" Seloroh Zia.
"Iya sayang,," Sahut Liana.
"Yeay,, Zia punya adik." Serunya senang.
Liana melirik Alan yang tidak bereaksi. Dia segera menghambur ke pelukan Alan. "Kamu pasti senang kan sayang.? setelah ini kita pergi ke dokter ya, kita lihat sudah berapa minggu usianya." Lirih Liana di telinga Alan. Buliran bening menetes dari sudut matanya. Itu adalah air mata bahagia.
Sementara itu, Sinta hanya bisa ikut tersenyum dan menunjukkan kebahagiaannya meski dalam hatinya diselimuti perasaan aneh.
mngkin clara orang kaya jd cuma mnfaatin galang kisah galang dimulai
alan beranak lg