Rumah tangga Nada Almahira bersama sang suami Pandu Baskara yang harmonis berubah menjadi panas ketika ibu mertua Nada datang.
Semua yang dilakukan Nada selalu salah di mata sang mertua. Pandu selalu tutup mata, dia tidak pernah membela istrinya.
Setelah kelahiran putrinya, rumah tangga mereka semakin memanas. Hingga Nada ingin menyerah.
Akankah rumah tangga mereka langgeng? Atau justru akan berakhir di pengadilan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Budy alifah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
"Katakan siapa orangnya?" Pandu memegang kedua pundak Eva.
"Ibumu. Jadi jangan terus menyalahkan istrimu," geram Eva. "Semua orang tidak akan pernah bertahan lama jika ibumu tidak merubah sikapnya."
"Eva, maaf ibuku. Aku tidak tahu kalau ibuku telah menyinggungmu." Pandu hendak memegang tangan Eva.
Namun, gadis itu langsung menyembunyikan tangannya di belakang punggungnya.
"Kita itu hanya sebatas teman biasa, jadi kita berhubungan sewajarnya saja." Eva meninggalkan Pandu yang terpaku karena ucapan Eva.
Sedangkan Eva merasa bersyukur ditunjukan dengan jelas sebelum dia terjerumus terlalu dalam. Berhubungan dengan lelaki yang pelit dan keluarga yang rumit.
"Kenapa dia bisa berubah drastis begitu?" tanya Jimmy sembari merangkul Pandu.
"Coba kau tanya dia, apa yang sebenarnya terjadi," pinta Pandu. Eva sangat terbuka dengan Jimmy, dia pasti akan mengatakan semua dengan jujur yang dirasakannya.
Pandu mulai menyukai Eva, dia menemukan orang yang cocok menurutnya. Melayaninya dengan sepenuh hati, bisa menjadi ibu rumah tangga yang penurut.
Jimmy pergi mengejar Eva seperti permintaan Pandu. Jimmy duduk di samping Eva yang sedang menikmati makananya di kafe dekat kantor.
"Kamu mau makan juga?" Eva memandang Jimmy sekilas.
"Eva, aku cuma mau ngobrol saja," ujarnya to the point.
"Masalah?" Eva menghentikan makannya ketika wajah Jimmy berubah serius. "Katakan, jangan membuatku penasaran."
"Kenapa mendadak kau menghindari Pandu?" ucapnya masih dengan tatapan lekat.
Eva mendengus, dia pikir masalah yang sangat penting. Nyatanya cuma masalah Pandu.
"Kan aku sudah bilang, aku sadar yang kemarin itu salah. Seandainya Pandu masih lajang pun aku lebih baik mundur," ujarnya dengan kembali makan.
"Kenapa? Bukankah dia tampan, pekerjaan mapan," kata Jimmy. Perempuan mana yang menolak lelaki yang mapan dan tampan.
"Kaya buat apa kalau pelit sama istri," jawan Eva dengan enteng.
"Masa pelit?" Jimmy tidak percaya Pandu sangat royal dengan teman dan keluarganya. Jimmy merasa Eva sudah termakan hasutan istri Pandu. "Kau terhasut?"
"Jimmy, yang dikatakan istrinya kemarin itu benar." Eva mencoba meyakinkan Jimmy. "Istrinya Pandu hebat, jika aku sudah tidak sanggup memiliki suami dan mertua model mereka." Eva bergidik mengingat tatapan dan ucapan dari Wina.
"Sejahat itu?" Jimmy masih tidak percaya.
Eva mengangguk, "Mulutnya jahat, ibu Pandu sudah menyiapkan calon lagi buatnya."
"Aku tidak mau menggantikan penderitaan Mbak Nada," imbuh Eva, dia benar-benar takut tidak bisa hidup bebas.
Jimmy mengganggukan kepala, ia tidak tahu dalamnya keluarga Pandu yang mengerikan untuk kaum perempuan yang hendak masuk ke dalam hidupnya.
"Jim, bagaimana?" tanya Pandu setelah dia kembali.
"Lebih baik kau lupakan saja Eva, dan kembali lah ke istrimu," kata Jimmy.
Setelah mendengar cerita kehebatan Nada untuk mempertahankan hubungan rumah tangganya. Penderitaan selama bersama Pandu dan keluarga toxicnya membuat Jimmy tertampar.
Dia merasa bersalah mengajarkan nakal pada Pandu. Nada sudah cukup menderita ternyata selama ini, tapi dia justru menambah luka dengan mengajak suaminya nakal.
"Kenapa? Bukannya kau bilang Eva hanya cemilan?" ujar Pandu menirukan Jimmy ketika dia meminta mendekati perempuan lain.
"Dulu aku salah, istrimu sangat hebat jangan sampai kau kehilangan." Jimmy menepuk pundak Pandu.
...----------------...
"Ada apa kau datang ke mari?" tanya Wina melihat menantunya datang ke rumahnya.
"Nada mau bertemu dengan Mas Pandu," jawabnya.
"Mau apa lagi kau bertemu dengan Pandu, ah, mau meminta jatah bulanan?" ejeknya. "Di mana Nada yang hebat itu. Yang sudah tidak membutuhkan anakku," nyinyirnya.
Wina mengira kedatangan menantunya itu untuk meminta uang kepada anak laki-lakinya.
"Nada tidak menginginkan uang Mas Pandu lagi. Hanya mau mengobrol sebentar saja," kata Nada dengan tenang.
Perempuan itu tidak tersulut emosi sama sekali, dia sangat tenang tapi membuat ibu mertuanya ketar-ketir.
"Apa Mas Pandu ada?" Nada sedikit memiringkan kepalanya untuk melihat wajah mertuanya yang sejak tadi enggan menatapnya.
Wina masuk lebih dulu tanpa mengatakan Nada boleh masuk. Tapi, dia tetap mengekor ibu mertuanya.
"Masih berani datang ke mari, belum puas mempermalukanku?!" Ayu berkacak pinggang dengan pandangan mata yang tajam.
"Apa kamu belum sadar juga, tingkahmu itu telah menghancurkan keluarga kecilku?" Nada tersenyum lalu duduk di sofa.
Ayu meradang dia ingin menyerang Nada, tapi di tahan oleh ibunya. Dia ingin tahu yang ingin dibicarakan oleh menantunya.
"Katakan apa yang kau inginkan dari anakku?" tanya Wina sembari duduk di depan Nada.
"Pasti dia mau minta uang, apa lagi?" cibir Ayu dengan memainkan bola matanya.
"Meminta uang itu memang hakku, kalian yang tidak tahu diri merampas uang Shanum," jawab Nada. Dia tidak pernah kehabisan kata untuk menjawab cibiran, cacian dari mertua dan adik iparnya.
"Nada!" teriak Wina ingin melempar toples kecil ke wajah Nada.
"Ibu!" Pandu menahan sebelum toples itu melayang ke Nada. "Ibu, taruh toplesnya," pinta Pandu.
"Mas, biarkan saja. Mbak Nada sudah kurang ajar sama ibu," adu Ayu.
"Mas, aku datang ke sini baik-baik. Aku hanya mau ngobrol sebentar sama kamu. Tapi, ibu sama Ayu terus menyerangku." Nada balik mengadu meskipun dia tahu jika tidak akan di mendapat pembelaan.
Pandu duduk di samping Ayu, membuat Nada semakin yakin dengan jalan yang akan dia ambil. Nada memberikan kertas putih di hadapan Pandu.
"Apa ini?" tanya Pandu belum mau mengambil kertas pemberian Nada.
"Baca saja, kamu pasti akan senang membacanya," katanya dengan mengangkat kertas agar diterima oleh Pandu.
Mata Pandu mendelik membaca kalimat pertama di kertas itu.
"Nada, apa kamu gila?" Pandu tidak membaca semuanya. Dia melempar membanting kertas di meja.
Wina langsung mengambilnya reaksinya berbeda dengan anak lelakinya. Dia justru bahagia dengan keputusan yang dilakukan oleh Nada.
"Apanya yang gila, lihat ibu dan adikmu saja sangat bahagia. Dengan kita pisah uangmu tidak akan terpotong untuk orang lain," katanya dengan menatap Wina dan Ayu yang wajahnya berseri.
Pandu pun ikut memandang ibu dan adiknya, dan benar mereka tampak bahagia.
"Aku pamit pulang dulu, Mas. Kamu tinggal menunggu panggilan ke pengadilan." Nada bangkit dari kursinya lalu mencium tangan Pandu lalu mertuanya.
Namun, Wina tidak menerimanya. Dia menyembunyikan tangannya di belakang punggungnya.
Nada tersenyum lalu melangkahkan pergi, senyumnya memudar saat keluar dari rumah itu. Sudah mendekati tahun ke empat pernikahan, tapi dia tidak bisa mempertahankannya.
Dia tidak pernah menyangka pernikahannya harus kandas. Dia sudah sekuat tenaga menahan segala luka yang datang agar tetap bersama.
Namun, hanya dia sendiri yang berjuang. Sampai surat cerai datang, suaminya masih tidak menghalanginya untuk tetap bertahan.
Nada berhenti di depan pintu mobil, "Bahkan, kamu tidak berusaha membujukku Mas."