Max membawa temannya yang bernama Ian untuk pertama kalinya ke rumah, dan hari itu aku menyadari bahwa aku jatuh cinta padanya.
Mungkinkah dia bisa menjadi milikku meski usia kami terpaut jauh?
note: novel ini dilutis dengan latar belakang luar negeri. Mohon maklumi gaya bahasanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 1
Pagi itu terasa rumit. Tahun terakhir kuliah benar-benar berdampak buruk buatku. Aku hampir tidak bisa makan apa pun di kafetaria karena gugup memikirkan revisi skripsi. Alhamdulillah, semua usahaku tidak sia-sia. Skripsiku ternyata sempurna, dan sekarang aku harus bersiap untuk mempresentasikannya dalam lima bulan ke depan. Aku punya waktu lima bulan untuk mempelajari dua ratus enam puluh tujuh halaman, seru banget!
Sesampainya di rumah, ibu dengan semangat sedang menyiapkan makan siang. Aku mulai berfantasi, berpikir kalau mungkin dia mengundang seseorang untuk makan siang, mungkin seorang pelamar atau semacamnya. Sudah tiga tahun sejak Ayah meninggal karena serangan jantung, dan meskipun ibu tidak pernah mengakui, aku tahu dia merasa kesepian.
"Halo, Bu." Aku mencium pipinya. "Wah, harum banget! Ada apa nih sampai masak yang enak begini?" Bukan karena masakan ibu biasanya tidak enak, tapi dia jarang masak. Biasanya, dia membeli makanan di luar setelah pulang kerja atau hanya memanaskan makanan siap saji di microwave. Tapi hari ini, rasanya dia sengaja pulang lebih awal untuk menyiapkan makan siang. Aneh, sangat aneh.
"Halo, sayang. Max tadi kirim pesan, minta aku menyiapkan makan siang buat dia dan guru barunya," katanya dengan antusias, membuatku hanya bisa mengerutkan kening.
"Oh ya? Lalu?"
"Itu loh, cowok yang selalu diceritain Max!" katanya hampir membuat telingaku berdengung. "Yang punya IPK terbaik di sekolah, jenius dalam hitungan, dan juga atlet. Akan bagus banget kalau kakakmu bisa akrab sama dia."
"Tunggu! Jadi kamu masak semua ini buat anak kutu buku yang belajar bareng Max?"
"Kamu tahu kan kalau kakakmu ambisius. Dia fokus banget sama kredit tambahan dan rata-ratanya supaya bisa masuk Oxford. Nah, dia agak kesulitan di kelas statistik, dan tampaknya anak ini yang terbaik di kelasnya. Dia akan bantu Max."
Berbeda dengan anggapan banyak orang, kakakku, Max, sebenarnya anak yang pendiam dan sangat tekun belajar. Sementara aku, dulu selalu jadi gadis yang suka pesta dan sering kabur dari kelas demi nongkrong bareng teman-teman. Setelah Ayah meninggal, itu benar-benar jadi peringatan buatku. Sejak saat itu, aku memutuskan untuk mulai serius. Ibu sudah terlalu banyak menderita, dan aku tidak ingin menambah beban mentalnya lagi.
“Dia pasti akan berhasil, Bu. Kamu tahu kan, dia nggak akan menyerah sampai tujuannya tercapai,” kataku sambil tersenyum dan mencium pipi Ibu. “Sekarang aku mau naik ke atas buat mandi dan istirahat sebentar. Nanti kabarin kalau makanannya sudah siap ya, aku sudah nggak sabar nih.”
Aku senang banget Ibu memutuskan untuk masak hari ini. Dulu, masak adalah sesuatu yang sangat ia nikmati. Tapi sejak Ayah meninggal tiga tahun lalu, memasak jadi seperti hal yang nggak penting lagi buatnya. Kurasa itu karena masak mengingatkan dia pada Ayah. Ayah adalah penggemar nomor satu semua resep Ibu. Mereka berdua sangat bahagia, meskipun sudah lebih dari dua puluh tahun bersama. Ayah meninggal mendadak karena serangan jantung, membuat kami semua kaget dan patah hati. Aku dan Max berusaha menerima kenyataan ini, sementara Ibu masih berjuang dengan prosesnya.
Aku mandi sebentar, pakai pakaian yang nyaman, lalu berbaring di tempat tidur sambil membuka laptop.
Tiba-tiba teriakan Ibu membangunkanku dan membuatku terjatuh dari tempat tidur. Aku tertidur saat membaca skripsi. Aku buru-buru menutup laptop, mengambil ponsel, dan menuruni tangga. Perutku lapar banget, rasanya bisa makan satu ekor gajah.
Sesampainya di ruang makan, Max sudah pulang. Di sebelahnya, ada teman belajarnya... atau siapa? Yang kulihat jauh dari kesan kutu buku yang kubayangkan. Apa benar dia anak laki-laki umur tujuh belas tahun? Apa benar dia kutu buku? Mata kami bertemu, dan aku nggak bisa mengalihkan pandanganku. Matanya hijau zaitun dengan bulu mata yang panjang, sampai menyentuh alisnya. Dia berdiri untuk menyapa, dan aku makin terkejut dengan tinggi badannya. Kalau aku nggak tahu dia masih sekolah bareng Max, aku pasti sudah mengira dia berumur lebih dari dua puluh tahun.
Max berdeham, membuyarkan lamunanku.
"Megan, ini tutor kalkulusku sekaligus temanku, Ian. Ian, ini adikku, Megan."
Ian mengulurkan tangannya, dan aku menyambutnya sambil memperkenalkan diri. Saat dia menatapku, semuanya terasa aneh. Aku masih terkesan dengan betapa tingginya dia, dan dia jelas-jelas nggak seperti kutu buku pada umumnya. Waktu aku masih sekolah, kutu buku nggak kayak gitu.
Selama makan siang, aku sempat memergoki dia menatapku. Wajahnya jadi merah, dan Max langsung melirikku dengan tatapan seolah-olah itu salahku. Setelah makan siang dan Ibu mulai bercanda lagi, aku pamit. Aku harus pergi magang, dan rasanya aku membuat teman Max merasa nggak nyaman.
"Sampai jumpa, Ian. Senang kenalan sama kamu," kataku sambil mengulurkan tangan.
Dia menjabat tanganku dan meremasnya pelan.
Ini makin aneh. Menurutku, anak laki-laki ini nggak terlihat pemalu sama sekali.
"Senang kenalan sama kamu juga, Megan," katanya. Suaranya lembut tapi dalam. Apa benar dia baru tujuh belas tahun?
Saat itu, ponselku berdering, memberi kesempatan bagus untuk kabur.
“Mereka sudah nunggu di luar. Dadah, Bu, dadah semuanya!” Aku benar-benar kabur.
Sepanjang sore aku menghabiskan waktu di tempat magang, memotong kain dan mengukur pola. Tapi pikiranku sesekali melayang kembali ke sosok anak laki-laki bermata hijau dan setinggi itu. Kurasa dia anak yang beruntung, tinggi, tampan, dan pintar. Masa depannya pasti cerah. Kecantikan dan kecerdasan selalu membuka banyak kemungkinan.
***
Ian semakin sering muncul di rumah. Setiap kali dia datang, dia belajar bersama Max. Anak itu selalu membawa sesuatu untuk Ibu dan aku. Dia sangat sopan dan baik. Tentu saja aku nggak bodoh, aku langsung sadar cara dia memandangku. Anak itu, sepertinya, sedang jatuh cinta.