Liu Wei, sang kultivator bayangan, bangkit dari abu klannya yang dibantai dengan Pedang Penyerap Jiwa di tangannya. Dibimbing oleh dendam dan ambisi akan kekuatan absolut, dia mengarungi dunia kultivasi yang kejam untuk mengungkap konspirasi di balik pembantaian keluarganya. Teknik-teknik terlarang yang dia kuasai memberinya kekuatan tak terbayangkan, namun dengan harga kemanusiaannya sendiri. Di tengah pertarungan antara takdir dan ambisi, Liu Wei harus memilih: apakah membalas dendam dan mencapai keabadian lebih penting daripada mempertahankan sisa-sisa jiwa manusianya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pralam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia dalam Darah
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Liu Wei meninggalkan reruntuhan Sekte Awan Hitam. Jubah hitamnya, yang kini bernoda darah, melambai pelan ditiup angin pagi yang dingin. Pedang Penyerap Jiwa di punggungnya berdenyut dengan energi kehidupan baru - ratusan jiwa yang dia kumpulkan semalam.
Di kejauhan, lonceng alarm mulai berdentang. Berita tentang kehancuran Sekte Awan Hitam akan segera menyebar ke seluruh dunia kultivasi. Liu Wei tersenyum tipis. Biar saja mereka tahu - biar ketakutan merayap dalam hati setiap kultivator yang pernah berurusan dengan Sekte Awan Hitam.
Namun ada yang mengganggu pikirannya. Lao Tianwei, sang Ketua Sekte yang dia cari, tidak ada di kompleks sekte semalam.
"Pelarian yang sia-sia," gumam Liu Wei. Tangannya bergerak ke kalung jade di lehernya, merasakan denyut samar energi kuno dari pecahan gulungan yang tersimpan di dalamnya.
Setelah lima belas tahun, dia akhirnya bisa menguraikan sebagian kecil rahasia dalam gulungan itu. Teknik Melangkah Seribu Li hanyalah permulaan. Ada teknik yang jauh lebih kuat, lebih berbahaya - teknik yang membutuhkan "bahan" khusus untuk disempurnakan.
Liu Wei mengeluarkan sebuah botol jade dari balik jubahnya. Di dalamnya, darah para elit Sekte Awan Hitam yang dia kumpulkan semalam berkilau dengan cahaya spiritual yang kuat.
"Saatnya untuk langkah berikutnya."
Dengan gerakan cepat, dia menggigit ujung jarinya sendiri, membiarkan setetes darahnya jatuh ke dalam botol. Seketika, darah dalam botol bergolak, berubah warna dari merah menjadi ungu gelap.
Liu Wei memejamkan mata, mulai membacakan mantra kuno dalam bahasa yang telah lama dilupakan dunia:
"Dalam kegelapan, cahaya terlarang.
Di antara bayangan, kekuatan tersembunyi.
Dengan darah sebagai saksi, dengan jiwa sebagai tumbal,
Aku memanggil pengetahuan yang terkubur dalam daging."
Botol jade itu meledak, cairan ungu di dalamnya berubah menjadi kabut yang menyelimuti tubuh Liu Wei. Setiap tetes yang menyentuh kulitnya terserap, membawa bersamanya ingatan dan pengetahuan dari para kultivator yang telah dia bunuh.
Rasa sakit yang luar biasa menyerang setiap sel dalam tubuhnya. Liu Wei menggertakkan gigi, memaksakan diri untuk tetap berdiri sementara tubuhnya menyerap dan mengolah informasi yang dia dapatkan.
Di tengah rasa sakit itu, sebuah ingatan muncul - percakapan antara Lao Tianwei dengan seseorang yang tidak dia kenal:
"Bagian terakhir gulungan itu ada pada anak itu?"
"Ya, Tetua Agung. Tapi kami kehilangan jejaknya malam itu."
"Bodoh! Lima belas tahun dan kalian masih belum menemukannya?"
"Maafkan kami. Tapi teknik dalam gulungan itu... bahkan dengan dua bagian yang kita miliki, kita masih belum bisa..."
"Aku tidak butuh alasanmu! Temukan anak itu. Dan ketika kalian menemukannya, bawa dia ke Menara Iblis Putih."
Liu Wei membuka mata, nafasnya terengah. Menara Iblis Putih - sebuah tempat yang bahkan para immortal enggan mendekati. Apa hubungan antara Lao Tianwei dengan tempat terkutuk itu?
Tiba-tiba, indranya yang tajam menangkap gerakan di kejauhan. Tiga sosok bergerak cepat ke arahnya - kultivator tingkat tinggi, melihat dari aura spiritual mereka.
"Cepat juga," Liu Wei menyeringai. Tangannya bergerak ke gagang Pedang Penyerap Jiwa.
Ketiga kultivator itu berhenti beberapa langkah darinya. Mata mereka melebar saat melihat kondisi Liu Wei - kulitnya yang pucat kini memiliki semburat ungu, dan matanya... matanya telah berubah menjadi kolam kegelapan tanpa pupil.
"Siapa kau?" tanya salah satu dari mereka, seorang pria tua dengan jenggot panjang. "Apa yang kau lakukan pada Sekte Awan Hitam?"
Liu Wei tidak menjawab. Dalam sekejap mata, dia telah berada di belakang sang penanya. Pedang Penyerap Jiwa bergerak dalam tarian maut yang indah.
"Teknik Bayangan Berdarah!" kultivator kedua berteriak, mengenali gerakan Liu Wei. "Hati-hati! Dia-"
Terlambat. Liu Wei telah menciptakan tiga bayangan dirinya, masing-masing bergerak dengan kecepatan yang sama. Para kultivator itu, meski berpengalaman, kewalahan menghadapi serangan dari empat arah.
Liu Wei yang asli menghunus Pedang Penyerap Jiwa, sementara ketiga bayangannya menciptakan segel-segel rumit dengan tangan mereka. Udara di sekitar mereka menjadi berat, dipenuhi energi spiritual yang mematikan.
"Teknik Rahasia: Penjara Seribu Bayangan!"
Ketiga kultivator itu tiba-tiba menemukan diri mereka terperangkap dalam kurungan energi ungu gelap. Setiap kali mereka mencoba menghancurkan dinding energi itu, bayangan Liu Wei yang baru akan muncul, menciptakan lapisan pelindung tambahan.
"Kalian ingin tahu siapa aku?" Liu Wei akhirnya berbicara, suaranya bergema dalam kesunyian pagi. "Aku adalah bayangan yang kalian ciptakan lima belas tahun lalu. Aku adalah dendam yang kalian pikir telah kalian kubur. Dan hari ini... aku adalah kematian kalian."
Dengan satu tebasan Pedang Penyerap Jiwa, Liu Wei mengakhiri pertarungan. Tiga jiwa baru bergabung dalam koleksinya, tiga tubuh tanpa nyawa jatuh ke tanah dengan lembut.
Saat Liu Wei melangkah pergi, dia meninggalkan pesan yang terukir dengan darah di sebuah batu besar:
"Lao Tianwei, aku datang untukmu."
Di kejauhan, matahari akhirnya merangkak naik, menyinari medan pertempuran singkat itu. Namun cahayanya tak mampu menghalau kegelapan yang kini semakin dalam merasuki jiwa Liu Wei.
Karena untuk mengalahkan iblis, terkadang kita harus menjadi iblis yang lebih besar.