“Bapak… selain mesum, juga nyebelin, ngeselin, rese, arogan dan sudah tua -- dewasa --. Pokoknya semua Bapak borong,” teriak Ajeng.
“Tambahkan, tampan dan membuat kamu jatuh cinta,” sahut Gentala.
Ajeng berada di dalam situasi disukai oleh rekan kerjanya yang playboy, berusaha seprofesional mungkin karena dia membutuhkan pekerjaan ini. Siapa sangka, Gentala – GM baru – yang membuat Ajeng kesal setengah hidup sejak pertama bertemu berhasil menolong gadis itu dari perangkap cinta sang playboy.
Namun, aksi heroik Gentala malah berubah menjadi bencana ...!
===
IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 29 ~ SAH
Saat ini aku sudah berada di coffee shop. Sengaja aku memilih meja yang jelas terlihat oleh CCTV. Mungkin terlalu berlebihan, tapi aku teringat kasus kopi sianida. Jaga-jaga kalau wanita di hadapanku ini berniat jahat.
Seorang pelayan menghampiri meja kami.
“Matcha milk tea,” ujarku.
Para pekerja di Go Tv sudah tidak asing melihat artis atau tokoh terkenal wara wiri, termasuk wanita di hadapanku ini. Kalau aku lihat-lihat, dia sebenarnya cantik tapi kenapa harus jadi murahan dengan menempel pada Fabian dan tidak tahu malu pada Gentala.
“Jadi, mau bicara apa?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Aku dengar kamu akan menikah dengan Gentala.”
“Sepertinya begitu,” sahutku tanpa memandangnya.
“Kamu yakin?”
Aku menghela nafas kesal, bukan karena pertanyaan bunga bangkai di hadapanku tapi karena gayanya yang sok asyik. Dia bersandar sambil bersedekap membuat bagian depan tubuhnya semakin membentuk.
“Memang kenapa kalau aku menikah dengan Pak Genta?” tanyaku balik.
“Karena kalian tidak cocok. Mulai dari usia, status sosial dan … apa kamu yakin bisa mendampingi Gentala. Dia bukan orang sembarangan.”
“Lalu siapa yang cocok, kamu?” tanyaku sambil terkekeh.
Natasha tidak membalasku karena pelayan mengantarkan pesanan kami. Aku langsung menikmati minuman yang aku pesan.
“Kamu tidak tahu Gentala. Aku dan Gentala sudah pernah ….”
“Cukup!” ujarku menyela ucapan Natasha. “Apa pun yang akan kamu katakan, tidak akan mempengaruhiku apalagi membatalkan rencana pernikahan aku dan Pak Genta. Urusanmu dan Pak Genta adalah masa lalu dan aku masa depannya.”
Rasanya aku ingin terbahak karena bisa mengatakan hal seserius ini. Padahal, apa iya Pak Gentala akan menganggap aku masa depannya.
Brak.
“Jangan main-main denganku. Seharusnya kamu bercermin, siapa dirimu bisa mendapatkan Gentala. Kalau hanya ingin hidup enak, jadi sugar baby dari pria lain. Aku rasa Fabian berani membayar tubuhmu, tawarkan saja padanya.”
Aku berusaha untuk tidak terprovokasi, dia masih terus mengoceh dengan menahan suaranya agar tidak terdengar oleh pengunjung lain.
“Oke, sudah sepuluh menit. Terima kasih informasinya, akan aku ingat baik-baik dan jangan sampai tidak hadir di pernikahan kami. Oh iya, jangan lupa bayar ya. Masa aku yang traktir.”
Aku beranjak meninggalkan Natasha sambil terkekeh. Kembali ke lobby ternyata Pak Reno sudah menunggu dan … ada Pak Gentala di sana.
“Itu Mbak Ajeng.”
Pak Gentala menoleh ke arahku dengan tatapan menghunus. Perasaan aku tidak berbuat salah, tapi pandangan pria itu seakan aku sudah melakukan kejahatan.
“Ponsel kamu masih berfungsi?”
“Masih.”
Aku mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menyadari banyak panggilan tak terjawab salah satunya dari pria ini.
“Hehe, masih mode senyap.”
“Kalau tidak ingat janjiku pada Mami, sudah aku seret kamu dan kita akan berakhir di apartemenku,” ujar Gentala lirih.
“Mulai deh, omes.”
“Omes?”
“Otak mesum,” ujarku. “Pak Reno, ayo pulang. Keburu ada yang kerasukan setan.” Aku bergegas masuk ke dalam mobil.
“Makin lama dekat Pak Gentala, makin berbahaya.”
...***...
“Wah, cantiknya. Pantes aja Mas Genta kecantol.”
Aku hanya bisa tersenyum mendengar Mbak Indah – istri adik Gentala -- memuji penampilanku. Hari ini adalah hari di mana aku dan Gentala akan melangsungkan akad nikah dan tentu saja resepsi. Sejak semalam aku sudah berada di hotel tempat acara berlangsung.
Keluargaku juga sudah di sini, tapi aku belum menemui mereka. sejak kejadian dengan Tony, aku tidak tinggal di rumah itu lagi tapi keluarga Pak Gentala yang mengatur tempat tinggalku.
“Mbak bisa aja.”
“Beneran loh. Ayo kita keluar, acara sudah mau dimulai.”
Aku didampingi Mbak Indah dan salah seorang panitia dari pihak WO keluar dari ruang make up. Tentu saja rasanya tidak karuan, apalagi semua mata kini memandang ke arahku. Aku melihat Ayah berada di meja yang sudah dihias indah, berhadapan dengan pria yang duduk membelakangi arahku. Tentu saja pria itu Gentala Radinka Yasa, pria yang akan menikahiku.
Psk Krisna dan Tante Malea duduk tidak jauh dari Pak Gentala. Mereka tersenyum, bukan senyum terpaksa atau pura-pura. Namun, senyum bahagia.
Aku juga melihat Ibu, Vina dan Gio. Mbak Indah mengarahkan aku agar duduk di samping Pak Gentala. Ayah menatapku dengan raut wajah sendu. Entah karena haru putrinya akan menikah atau berada dalam tekanan atau bahkan sedih karena tidak bisa lagi menekanku untuk membantunya.
“Sudah siap ya?” tanya seorang pria paruh baya yang duduk di samping Ayah dan berhadapan denganku. “Pasti siap dong, malah ingin segera selesai ya?”
Terdengar tawa pelan karena ucapan pria ini yang ternyata seorang penghulu. Beliau membacakan identitas aku dan Pak Gentala dan menanyakan mahar pernikahan kami.
Tante Malea sempat menanyakan apa yang aku minta untuk mahar pernikahan, saat itu aku tidak mengatakan apapun hanya menjawab terserah Pak Gentala.
Pak Gentala dan Ayah berjabat tangan, kemudian keduanya bergantian mengucapkan kalimat sakti yang merubah status aku dan Pak Gentala menjadi suami istri yang “SAH”.
Rasanya masih tidak percaya kalau aku sudah menjadi istri, pria di sampingku juga dengan mahar yang diucapkan saat ijab qabul. Pak Gentala bukan hanya memberikan satu perangkat perhiasan, sebuah villa, tapi juga saham yang pernah Pak Krisna janjikan.
“Diajeng,” panggil Tante Malea sambil mengusap punggungku. Wanita itu tahu kalau aku melamun.
“I-iya Tante.”
“Mami,” bisiknya.
Kami diarahkan untuk menandatangani surat nikah lalu aku mencium tangan Pak Gentala untuk pertama kalinya dan dia mencium keningku. Blitz kamera, sorak dan siulan dari beberapa tamu yang hadir ikut meramaikan suasana.
“Kamu cantik,” bisik Pak Gentala. Wajahku sudah terpoles make up, jika tidak pasti akan terlihat jelas kalau aku merona mendengar pujian dari suamiku.
Setelah sesi foto keluarga, aku memilih duduk di sofa yang sudah disiapkan. Kebaya dan kain yang digunakan membuat langkahku terbatas, sedangkan Gentala sedang berbaur di anggota keluarganya. Proses akad barusan memang tertutup, hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat.
“Sepertinya kamu sangat bahagia.”
Vina sudah berada di dekatku, ucapannya barusan agak tidak nyaman didengar. Rasanya ingin aku balas ucapannya barusan tapi aku tahan. Aku terlihat menyedihkan kalau di hari pernikahanku malah berakhir saling jambak dengan perempuan yang sedang hamil, meskipun dia adalah kakakku sendiri.
“Tentu saja, aku menikah masa tidak bahagia.”
“Jangan sombong, kamu menikah karena kepergok tidur bersama om itu ‘kan?”
Kejutan, sepertinya kalian sudah tahu alasan aku menikah dengan Gentala dan aku tidak peduli dengan ucapan Vina karena aku dan Pak Gentala akan berusaha menjalani pernikahan ini dengan baik.
“Kak Vina, sebaiknya kembali ke kursimu. Kelamaan berdiri tidak baik untuk bayimu dan kita bisa kembali berseteru. Kamu lihat suamimu, jangan sampai dia melirik wanita yang lebih cantik darimu,” ujarku sambil menunjuk ke arah Gio dengan tatapan.
Vina mengernyitkan dahi memandang ke arah Gio lalu menghampiri pria itu.
“Drama queen,” gumamku.
“Ada masalah?”
Aku merasakan hembusan nafas di telinga dan telapak tangan berada di pinggangku.
“Ada,” jawabku sambil menatapnya. “Ini serius kita sudah menikah?”
“Ayo, kita buktikan kalau kamu memang istriku.”
Gentala menggenggam tanganku lalu berjalan meninggalkan ruangan ini.
“Eh, Pak Genta. Maksud saya ….”
Langkah kami terhenti karena berpapasan dengan Fabian. pria itu menatap genggaman tangan aku dan Gentala lalu menatapku.
ato jangan-jangan .....