Revisi
Ada beberapa hal yang dirasa kurang memuaskan, jadi diputuskan untuk merevisi bagian awal cerita.
Petugas kepolisian Sektor K menemukan mayat di sebuah villa terpencil. Di samping mayat ada sosok perempuan cantik misterius. Kasus penemuan mayat itu nyatanya hanya sebuah awal dari rentetan kejadian aneh dan membingungkan di wilayah kepolisian resort kota T.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemalangan petugas jaga villa
Jam setengah enam pagi, Andre yang baru saja mencuci muka menerima panggilan telpon dari Lilis. Dia cukup terkejut dengan berita yang disampaikan oleh petugas perempuan manis itu. Setelah berpamitan pada Bi Irah, Andre bergegas menuju ke kantor kepolisian resort kota. Jarak dengan rumah sakit umum daerah hanya sekitar 500 meter saja.
"Bagaimana caranya bisa datang secepat ini? Kamu ngebut?" tanya Lilis saat Andre sudah sampai di kantor padahal baru lima menit telepon dimatikan.
"Sebenarnya Bunda ku dirawat di Rumah Sakit Umum. Aku menginap disana," jawab Andre singkat.
"Hah? Sakit apa?" tanya Lilis terkejut. Bola matanya terlihat membulat.
"Soal itu kita bahas nanti saja. Bukankah ada yang urgent saat ini soal villa?" sela Andre. Lilis mengangguk.
"Ikut aku," ajak Lilis.
Andre dan Lilis berjalan menyusuri lorong kantor kepolisian yang sempit. Jalan menuju ruangan investigasi memang di design sempit dengan pencahayaan yang temaram. Ditambah sirkulasi udara yang terasa kurang karena sedikit ventilasi yang tersedia menciptakan kesan sesak dan mengintimidasi.
Mengekor di belakang Lilis, Andre sampai di sebuah ruangan dengan sekat-sekat yang menjadi pemisah beberapa bilik. Tampak dua orang yang terpisah oleh dinding kaca. Satu orang melompat-lompat sambil tertawa. Dan satunya lagi terdiam menunduk sembari menggigiti kuku jari tangannya.
"Semalam ada tiga orang yang berjaga di villa," ucap Lilis setengah berbisik. Beberapa petugas jaga tampak berdiri di depan pintu bilik kaca.
"Orang pertama bernama Hartono. Dia yang paling senior. Subuh tadi saat waktunya pergantian jaga, keadaannya aneh. Melompat-lompat di pelataran villa. Dengan kulit kacang berserakan di sekitarnya." Lilis menunjuk laki-laki yang melompat-lompat di dalam bilik.
"Mirip seekor kera," gumam Andre. Dia menggenggam liontin akik di lehernya.
"Bagian kesehatan sudah menghubungi dokter kejiwaan untuk memeriksanya," sambung Lilis.
"Lalu yang di sebelahnya?" tanya Andre mengarahkan pandangan pada laki-laki yang tertunduk menggigiti kuku tangan.
"Rekan dari Hartono, namanya Fudin. Ditemukan bersembunyi di semak-semak dengan kondisi syok seperti itu. Sejak tadi dia hanya mengucap satu kalimat, desa iblis," jelas Lilis.
"Lalu petugas jaga yang ketiga? Apakah kamu mendapat informasi penting darinya?" Andre terus bertanya tak sabar. Ada rasa takut dan penasaran yang besar di waktu yang sama.
"Petugas ketiga bernama Priyo. Awalnya dia belum ditemukan. Semua berpikir Priyo kabur dan bisa menjelaskan semua yang sudah terjadi. Namun sekitar lima belas menit yang lalu, petugas yang menyisir desa menemukan tubuh Priyo mengambang di sungai. Dia meninggal, tenggelam tanpa busana. Di tubuhnya tidak ada sedikitpun tanda-tanda kekerasan," pungkas Lilis menghela napas.
Andre diam tertegun. Kasus yang ditanganinya semakin rumit. Benang kusut yang seharusnya bisa terurai, malah semakin semrawut kini.
"Setelah informasi ini sampai ke kepolisian daerah, aku yakin paling lambat sore nanti tim reskrim dari daerah akan turun. Kasus akan diambil alih. Apalagi yang ditunjuk sebagai penanggungjawab tidak bisa dihubungi sejak semalam," ucap Lilis dengan raut wajah pasrah.
"Maksudmu Pak Dhe Tabah? Putrinya sakit, dan aku menyarankannya untuk pergi ke dukun. Kurasa tidak ada sinyal di tempat dukun kenalanku itu," sambung Andre. Lilis menoleh dan melotot.
"Apa yang kalian lakukan di saat seperti ini? Biar bagaimanapun, kasus kali ini juga menjadi tolak ukur bagaimana unit reskrim kita bekerja," protes Lilis.
"Hidup ini bukan hanya soal karier. Lagipula dengan semua yang telah terjadi seharusnya kamu sadar, musuh yang kita hadapi berbeda. Bahkan aku tidak yakin kepolisian daerah bisa menyelesaikannya," sergah Andre tidak mau kalah.
Lilis menarik lengan Andre. Mereka berdua berjalan keluar dari kantor kepolisian. Lilis mengajak Andre duduk di taman belakang.
"Kamu tidak bisa dan tidak boleh memiliki sikap pesimis terhadap kasus yang sedang ditangani. Bahkan jikalau pun benar lawan kita bukan sesuatu yang bisa dikalahkan dengan logika manusia, kamu salah jika membuang ideologi dari instansi tempatmu bekerja." Lilis memarahi Andre. Perempuan itu memang tegas dan keras, tapi terasa percuma bagi Andre. Kenyataannya, semua yang terjadi di luar nalar.
"Lalu menurutmu, apa yang bisa kita lakukan sekarang? Bukankah pergi ke dukun juga merupakan salah satu jalan?" sergah Andre.
"Kutegaskan sekali lagi Ndre. Aku dibesarkan oleh Ayah yang seorang pengusaha dengan segala guru dukunnya. Aku percaya dengan keberadaan mereka. Namun mereka tidak bisa menyakiti kita jika kita tidak punya sebuah kesalahan. Urip iku ngundhuh wohing pakarti. Kamu tentu tidak asing dengan kalimat itu bukan? Lalu sekarang, kita perlu mencari tahu apa yang sebenarnya salah? Dimulai dari mayat Hendra, kemudian Totok, dan Priyo. Apa kesalahan mereka? Penyelidikan kita dipusatkan pada bagian itu saja," jelas Lilis serius.
Andre semakin kagum dengan pemikiran Lilis. Dia menunjukkan sikap yang pantang menyerah, meski Andre tadi sempat melihat ekspresi pasrah dari perempuan itu.
"Menurutmu apa kesamaan dari ketiga korban?" tanya Lilis lagi. Andre diam menopang dagu.
"Hendra merupakan warga pindahan dari desa Karang. Mengubur kepala kerbau di pelataran rumahnya. Totok merupakan BKTM desa Karang. Lalu Priyo, petugas jaga villa. Semuanya berhubungan dengan desa. Kematian ketiganya pun tidak wajar. Hendra tewas dengan darah mengering, Totok tergantung terbalik, dan Priyo tenggelam di sungai," gumam Andre mengingat-ingat detail kasus.
"Pada intinya dari ucapanmu barusan, semua sumber kejahatan adalah Desa Karang. Bukankah begitu?" tanya Lilis meyakinkan.
"Ya, tapi ada yang aneh." Andre mengernyitkan dahi.
"Apanya?"
"Salah satu rekan di kantor kepolisian Sektor K adalah mantan BKTM desa Karang. Namanya Pak Wariman. Dia tidak mengalami sesuatu yang mengganggu hidupnya. Bahkan Pak Wariman tidak pernah bercerita soal keanehan villa, juga soal desa." Andre menghela napas.
Pada saat itu, handphone Andre bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bi Irah. Andre langsung berdiri dari duduknya.
"Ada apa?" tanya Lilis penuh selidik.
"Bunda sudah bangun dan mencariku. Aku harus ke rumah sakit sebentar," ucap Andre.
"Aku ikut," sergah Lilis. Andre diam sejenak, kemudian mengangguk setuju. Tidak masalah rasanya mengajak serta seorang teman. Lagipula jarak kantor ke rumah sakit umum tidak jauh.
Andre dan Lilis bergegas menuju parkiran. Mereka melewati ruangan tempat Melati tinggal sementara. Terlihat perempuan itu duduk termenung di sebuah kursi besi. Andre berhenti sejenak karena teringat sesuatu.
"Melati?" panggil Andre pelan. Melati menatap Andre sekejap kemudian mengalihkan pandangan pada Lilis.
"Bagaimana kabarmu hari ini? Bisakah nanti kita bicara?" tanya Andre sambil tersenyum. Lilis menjauh, bersandar pada dinding.
"Hanya berdua? Kita bisa bicara berdua?" Melati balik bertanya.
"Boleh saja. Asalkan kamu mau memberi penjelasan padaku tentang villa, tentang mayat Hendra. Kapanpun kamu mau bicara, aku siap mendengarkan," rayu Andre kalem.
"Nanti jam 10. Pokoknya ndak lewat tengah hari," balas Melati. Kini dia membuang muka. Andre mengangguk mengiyakan. Sedangkan Lilis mengamati Melati dengan bola mata yang berkilat, seperti hewan buas.