Di tengah gelapnya kota, Adira dan Ricardo dipertemukan oleh takdir yang pahit.
Ricardo, pria dengan masa lalu penuh luka dan mata biru sedingin es, tak pernah percaya lagi pada cinta setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang seharusnya menyayanginya.
Sementara Adira, seorang wanita yang kehilangan harapan, berusaha mencari arti baru dalam hidupnya.
Mereka berdua berjuang melewati masa lalu yang penuh derita, namun di setiap persimpangan yang mereka temui, ada api gairah yang tak bisa diabaikan.
Bisakah cinta menyembuhkan luka-luka terdalam mereka? Atau justru membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan?
Ketika jalan hidup penuh luka bertemu dengan gairah yang tak terhindarkan, hanya waktu yang bisa menjawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Selina Navy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ruangan yang hangat
Dengan kepala yang masih terasa berat, Adira memandangi sosok pria yang kini berjalan di depannya. Bahu lebar yang membentang seakan menandakan kekuatan fisik nya, sementara punggungnya yang berotot menunjukkan bahwa tubuh itu ditempa dengan keras.
"Mau kemana lagi ini? Apa aku bakal selamat dari orang ini? Tubuh nya ngeri, dari otot - otot nya aja udah keliatan seseram apa dia." batin Adira.
Suara langkah kaki mereka di sepanjang jalan lorong yang panjang dan sempit itu terasa seperti irama yang memekakkan telinga.
Dinding lorong nya terbuat dari batu bata yang kini telah kusam, beberapa bagian terlihat retak, seolah menandakan tempat ini telah lama menjadi markas yang tersembunyi dari hiruk-pikuk dunia luar.
"Bangunan ini benar-benar besar, untuk keluar dari sini, sepertinya aku butuh orang dalam."
Adira melirik ke seseorang yang memapahnya, berharap menemukan secuil kebaikan di wajahnya, tapi yang terlihat hanyalah ekspresi datar tanpa emosi, seolah tugasnya hanyalah memastikan Adira tetap berjalan hingga sampai ke tujuan mereka.
"Orang ini kok dingin banget sih..padahal dari matanya keliatan orang baik-baik, tapi kayaknya dia setia sama bos nya, gak mungkin dia mau bantu aku keluar dari sini. "
Akhirnya, Adira dan rombongan kecil itu tiba di depan sebuah pintu besar berwarna cokelat tua berukiran khas Meksiko di permukaannya, pintu itu pun perlahan terbuka.
Adira terkejut melihat isi ruangan tersebut, vibes nya benar - benar berbanding terbalik dengan lorong - lorong dan ruangan tempat dia disekap tadi.
"Haaa? Kok ? Bagus?." teriak nya dalam hati.
Ruangan tersebut tampak mewah namun hangat, lantai nya dihiasi dengan karpet tebal.
Ada sofa kulit yang nyaman di salah satu sudut, dihiasi dengan bantal-bantal yang berwarna senada.
Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja besar dari kayu mahoni, penuh dengan kertas dan dokumen. Dan disamping meja itu, ada jendela besar yang mendominasi salah satu dinding.
"Ini ruangan apa? Besar nya.. mau disebut ruang kerja tapi ada kasur, malahan lebih cocok disebut apartment sih ini, "
batin Adira merasakan campuran antara kagum dan bingung saat memandang ke sekeliling.
Si ajudan pun membawa Adira masuk,
dengan satu tatapan tajam dari pemimpinnya, ajudan itu langsung mengerti apa yang diinginkan.
Tanpa membuang waktu, dia menundukkan kepala dengan hormat, berbalik, dan berjalan keluar dari ruangan itu.
Pintu besar itu tertutup dengan pelan, meninggalkan suara yang terdengar berat di telinga Adira. Kini, Adira hanya tinggal berdua dengan kepala mafia di ruangan besar tersebut.
"Habis lah sudah.. "
Adira membatin, berdiri kaku, tubuhnya terasa semakin kecil di hadapan sosok yang begitu besar, baik secara fisik maupun kekuasaan.
Dengan gerakan lambat dan hati-hati, tangan besar pria itu terulur ke arah wajahnya.
"Hhhmmmpptt!!" teriak Adira sambil menutup matanya.
Namun, alih-alih menyakitinya, tangan itu dengan lembut mulai menyentuh ikatan kain yang membungkam mulutnya.
Jari-jarinya yang besar namun terampil menarik ikatan itu perlahan, seolah dia sangat berhati-hati agar tidak melukai Adira dan kain hitam itu pun terlepas,
"Haahh" Adira membuang napas panjang.
Kemudian dengan cekatan ia melepaskan ikatan tali di pergelangan tangan Adira.
Adira menatap pria itu dengan kebingungan, tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia telah siap menghadapi yang terburuk, namun apa yang dia alami sekarang jauh dari perkiraannya.
Kepala mafia itu belum mengatakan sepatah kata pun, tapi tatapan biru gelapnya yang terus menatap Adira membuat jantungnya berdetak semakin kencang.
Fokus matanya tertuju pada tahi lalat kecil di bawah mata kiri Adira, seolah-olah detail itu memegang makna yang dalam baginya.
Setelah beberapa saat dalam keheningan, dia tiba-tiba berbicara, suaranya rendah namun tegas.
"Kamu bisa tinggal di sini. Anggap saja ini rumahmu," katanya tanpa sedikit pun perubahan emosi di wajahnya.
"Apa maksudnya dengan 'anggap saja ini rumahmu'?" Adira membisu, tak mengerti.
Setelah itu, tanpa sepatah kata pun, pria itu berjalan menuju sebuah pintu di sudut ruangan,lalu kembali membawa sebuah kaos berlengan panjang berwarna gelap di tangannya.
Langkahnya mantap, tetapi kali ini ada sesuatu yang lebih tenang dan terkontrol dalam gerakannya.
Lalu, dengan suara yang rendah namun penuh perintah, dia berbicara,
"Pakai ini."
Tangan besarnya mengulurkan kaos lengan panjang itu ke arah Adira.
"Kamar mandi ada di sana,"
ujarnya sambil menunjuk dengan dagunya ke arah ruangan yang sama dari mana ia membawa kaos tersebut.
Adira menatap kaos yang dipegang pria itu, lalu mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamar mandi yang ditunjukkan. Napasnya tersengal sejenak, kebingungan dan ketakutan masih menguasainya, tapi dalam keadaan ini, Adira tahu dia tidak punya pilihan selain menurut.
Tangan Adira yang gemetar perlahan meraih kaos itu dari tangan pria tersebut dan dengan ragu Adira berjalan melangkah ke kamar mandi itu. Pria itu tetap berdiri, matanya mengikuti setiap langkah Adira.
Setelah sedikit cukup lama di dalam kamar mandi, Adira akhirnya melangkah keluar dengan mengenakan kaos lengan panjang yang jauh lebih besar dari tubuhnya yang kecil.
Tapi entah mengapa Adira merasakan kenyamanan, meskipun rasa cemas masih menggelayuti pikirannya.
Di depan Adira, pria itu terlihat duduk di meja makan yang besar di tengah ruangan, membelakangi Adira.
Pria itu pun menolehkan kepalanya, seolah menyadari kehadiran Adira. Lalu melihat Adira sejenak, menilai penampilannya yang kini lebih kasual dengan kaos yang menutupi tubuh hingga ke lututnya.
Tanpa bicara, pria itu menarik kursi di sebelahnya, memberikan isyarat bahwa dia ingin Adira bergabung bersamanya di meja makan. Gerakan itu, meskipun tampak sederhana, terasa seperti perintah yang halus namun tegas.
Di meja yang luas, telah terhidang berbagai hidangan mewah yang tersaji dengan rapi, penuh dengan makanan khas Meksiko. Para pelayan pria itu yang telah menyajikannya, ketika Adira tadi masih di dalam kamar mandi
Adira melangkah ragu menuju meja, merasa seperti seorang tamu di dunia yang asing.
Kini Adira tepat disamping pria itu, mata Adira melirik ke arah hidangan yang tampak menggugah selera, tetapi dia tidak bisa sepenuhnya menikmati pemandangan itu karena sangking tegangnya.
Pria itu memandangnya dengan tatapan yang lebih lembut, tetapi tetap tak terbaca.
" Duduklah"
Adira pun akhirnya duduk di kursi yang disediakan, jantungnya berdegup kencang.
Di dalam pikirannya, beragam pertanyaan berputar.
"Kenapa? Apa kau tak suka makanan Meksiko? " tanya pria tersebut.
"Oh, bukan begitu," jawab Adira kebingungan.
" Jadi? " pria itu lanjut bertanya, masih dengan tatapan yang lembut.
Adira tertunduk, tak berani menatap mata pria itu lebih lama lagi.
"Makanlah, kau pasti lapar"
lanjut pria itu berkata sambil meraih sendok, ia memulai untuk makan.
Dan makan malam itu pun berlangsung dalam keheningan yang menegangkan.
(ehemmm/Shhh//Shy/)